Part 264 ~ Alasan Mempertahankan
Part 264 ~ Alasan Mempertahankan
"Terbaik untuk anak papa bukan untukku."
"Dil. Jangan pernah meninggalkan Bara. Dia baru akan sembuh. Dia masih terombang-ambing dan butuh bimbingan kamu. Papa mohon." Herman berlutut pada Dila.
Dila membantu Herman bangkit. "Papa tak perlu berlutut padaku. Apa pun yang papa katakan aku tidak bisa memenuhinya lagi. Aku orang menepati janji. Waktu itu aku berjanji akan meninggalkan Bara jika dia telah straight. Sekarang dia sudah sembuh. Aku sudah pastikan Egi tidak akan mengganggu dia lagi."
"Egi?" Herman membulatkan mata termasuk Bara yang sedang mengintip.
"Apa yang kamu lakukan pada Egi?"
"Egi akan bertaubat karena dia sudah ketahuan keluarganya. Aku menjebaknya sehingga dia sendiri bercerita penyimpangannya sampai didengar oleh tantenya. Dia diusir dan akan diterima kembali jika telah straight. Aku pun sudah mewanti Clara untuk menolongnya. Sebelum aku meninggalkan anak papa aku telah membuat persiapan. Bara tidak akan gamang lagi dan Egi tidak akan mengusiknya. Aku juga telah mengancam dia. Jika dia masih mendekati Bara aku akan melaporkan dia atas kasus pembunuhan berencana pada mama."
Herman terhenyak dan tak menduga jika Dila telah melakukan persiapan sebelum meninggalkan Bara.
"Apa tidak ada cinta untuk Bara?" Herman menanyakan perasaan Dila.
"Tidak," jawab Dila tanpa keraguan. Bara merasa kecewa dan terluka mendengarnya. Hatinya sangat sakit ternyata sang istri tak memiliki cinta untuknya.
"Selama ini aku hanya menjalani kewajiban sebagai istri dan menunaikan janji papa. Sekarang saatnya aku pergi. Aku akan mengurus perceraian kami." Dila meninggalkan Herman.
"Kamu sudah berjanji pada almarhumah mama akan mendampingi Bara apa pun yang terjadi," kata Herman sembari menghapus air mata.
Langkah Dila terhenti mendengarkan ucapan Herman. Hatinya gamang dan bimbang. Pesan orang meninggal adalah amanah yang harus ditepati. Namun Dila berusaha tidak rapuh dan goyah. Dila berbalik menatap Herman.
"Beda ceritanya pa. Aku telah dijebak. Papa menyelidikiku pasti papa juga tahu siapakah suami yang aku rindukan." Dila menatap sinis pada sang mertua. Mulai detik ini Dila bersunpah tidak boleh lemah dan tak boleh tersentuh dengan ucapan Herman.
"Mungkin jika ayah tahu telah dibohongi mungkin persahabatan papa dan ayah akan hancur. Ayah berbalik membenci papa. Papa telah menghancurkan kehidupan putri sahabat papa."
"Kenapa hati kamu sekeras batu Dil?"
"Terlalu banyak disakiti membuat aku menjadi keras pa."
"Dila jika tak ada campur tangan Tuhan mana mungkin kamu dan Bara menikah dan sudah sampai sejauh ini."
"Aku tidak akan terpengaruh dengan omongan papa." Dila pergi dari ruang tengah namun kaget melihat Bara.
"Baguslah jika kamu sudah mendengar semuanya."
Tak memperdulikan kedatangan suaminya Dila pergi begitu saja tanpa menghiraukan reaksi Bara atas ucapannya. Dila pergi ke kamar Bara membereskan barang-barangnya.
Dila memutuskan mandi karena badannya keringatan. Dila mengedarkan pandangan dalam kamar mandi di kamar Bara.
"Semua sudah berakhir sekarang." Gumam Dila memperhatikan pantulan wajahnya di cermin wastafel. Dila melepaskan pakaiannya dan hanya memakai handuk. Dila meraba wajahnya. Menangis tersedu-sedu menyalahkan takdir yang begitu kejam padanya.
"Maafkan aku mama jika tak bisa menepati janji." Dila berkata seolah-olah Ranti bisa mendengarnya.
Dila mandi dibawah guyuran shower. Dia membasahi rambut dan tubuhnya. Dila menangis sesenggukan dibawah guyuran air. Dila sakit hati dan kecewa karena telah dibohongi. Kebohongan Herman telah mempertaruhkan hidupnya. Dia telah menjadi korban keegoisan Herman. Untung saja Bara bisa berubah straight. Andai Bara tidak straight mungkin akan semakin lama ia akan menghabisi sisa hidup bersama Bara dan tentu akan membuatnya semakin menderita.
Bara mendengar tangisan Dila dari balik pintu. Awalnya ingin mengetuk pintu kamar mandi namun diurungkan ketika mendengar isak tangis sang istri. Bara memberikan waktu untuk sang istri menumpahkan perasaannya. Dila hanya butuh ketenangan dan ingin sendiri. Bara berharap Dila mengubah keputusannya.
Dila keluar dari kamar mandi. Tanpa menyadari Bara telah duduk di atas ranjang ia melepaskan pakaiannya. Saat ia bercermin baru menyadari kehadiran Bara dalam pantulan cermin. Dila segera mengambil handuk yang tergeletak di lantai dan melilitkan ke tubuhnya.
"Buat apa ditutupi jika aku telah melihat semuanya," kata Bara menyindir. Melihat Dila dalam kondisi telanjang memancing hasrat kelelakiannya. Ingin bercinta dengan Dila namun waktunya tidak tepat.
Dila memakai pakaiannya dengan cepat. Bara bangkit dari ranjang dan mendekati Dila.
"Kita harus bicara," ucap Bara merapikan rambut Dila namun tangannya dicekal.
"Jangan menyentuhku!" Dila melarang dengan nada ketus.
"Biasanya kamu tidak menolaknya jika aku melakukannya." Bara bermuka tebal berusaha mengambil hati istrinya.
"Itu dulu."
"Apa bedanya dengan sekarang?"
"Berbeda karena aku ingin berpisah denganmu. Ingat perjanjian kita? Aku akan meninggalkan kamu jika kamu telah straight. Sekarang saatnya aku pergi."
"Apa kamu akan kembali dengan Fatih?" Bara emosi dan cemburu.
"Kamu pikir aku dan Fatih selingkuh?"
"Aku tidak mengatakannya. Kamu saja yang berpikiran kesana."
"Kau keterlaluan." Dila memukul dada Bara dengan seluruh kekuatannya.
"Aku hanya bertanya padamu. Kamu tinggal menjawabnya."
Dila menangis sesenggukan. Dila merasa dititik terendah dalam hidupnya. Seumur hidupnya tak ada yang lebih menyakitkan dari yang sekarang. Permasalahan rumah tangga mengganggu pikiran dan fokusnya dalam bekerja. Dila hanya bisa menangis dan meratapi takdirnya.
"Aku ingin bercerai," ucap Dila mantap tanpa keraguan.
"Tarik kembali ucapanmu." Bara menatap Dila mengintimidasi.
"Tidak.��
"Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan kamu. Kamu akan jadi istriku selamanya dan melahirkan anak-anakku." Bara mulai egosi mempertahankan miliknya,
"Dalam mimpimu."
"Ini bukan mimpi." Bara mencuri satu ciuman dari bibir Dila.
"Kita telah berjanji Bara. Tepatilah janjimu."
"Aku hanya mengiyakan saja waktu itu agar kamu tidak meninggalkan aku."
"Lepaskan aku." Dila berteriak di telinga Bara.
"Aku tidak akan melepaskan kamu sampai kapan pun. Hanya kematianlah yang dapat memisahkan kita."
"Apa alasanmu menahanku disisimu? Sesuatu yang dimulai dengan kebohongan tak akan pernah berhasil."
"Aku tidak pernah membohongi kamu."
"Kau lupa?"
"Lupa apa?"
"Jika kau jujur dari awal kau gay mungkin kita tidak akan menikah."
"Jika aku jujur saat itu maka mama sudah meninggal kala itu," jawab Bara emosional.
"Kau." Dila berdecak kesal. Dila membereskan barang-barangnya dan siap untuk pergi dari rumah Bara.
"Kamu tidak boleh pergi dari sini. Aku suamimu dan dengarkan ucapan suami. Jangan jadi istri durhaka!" Bara mengultimatum. "Dalam agama kita haram hukumnya istri keluar dari rumah tanpa seijin suaminya."
"Kau." Dila mendesis.
"Aku benar bukan? Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan kamu. Kamu selamanya jadi istriku melahirkan anak-anakku."
"Ingat perjanjian kita."
"Aku tidak benar-benar berjanji saat itu."
"Kau curang."
"Biarkan. Asal aku tetap memilikimu."
"Jangan bilang jika kau tak ingin reputasimu rusak karena perceraian."
"Tidak pernah aku memikirkan itu."
"Jika tidak, lepaskan aku."
"Tidak sampai kapan pun kau akan tetap jadi nyonya Aldebaran."
"Aku tidak mau." Dila menolak mentah-mentah. "Beri aku satu alasan kenapa kau mempertahankan pernikahan kita."
"Karena aku mencintaimu."