Part 266 ~ Lepaskan Aku
Part 266 ~ Lepaskan Aku
Dila pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia kembali keramas karena habis bercinta. Ia mengambil sabun dan shampoo lalu membilaskan pada tubuh dan rambutnya. Seusai mandi Dila mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Bara terlelap setelah bercinta. Perjalanan Jakarta-Padang sangat melelahkan lalu sesampainya di rumah bercinta dengan sang istri. Cukup menguras tenaga Bara sehingga ia kelelahan.
Dila menggotong koper lalu mendekati Bara yang terlelap tidur. Dila menyentuh pipi sang suami.
"Maafkan aku pergi. Aku ingin sendiri dan menenangkan diri. Ini terlalu berat untukku," ucap Dila sebelum pergi.
Dila berpapasan dengan Herman ketika keluar dari kamar, "Pa, aku pergi. Bara kelelahan dia sedang tidur," ucapnya berusaha tersenyum dalam kesakitannya. Semarah apa pun pada Herman, laki-laki itu tetaplah orang tua yang harus dihormati.
"Kamu mau kemana?"
"Ke suatu tempat agar aku tenang."
"Dila pergilah tapi untuk kembali. Anakku membutuhkanmu. Kalian sebenarnya saling mencintai tapi tak menyadarinya."
"Pa, aku pergi," kata Dila berpamitan tanpa menghiraukan ucapan Herman.
Dila menyetir mobil sendiri. Mobilnya tinggal di Danau Teduh sehingga ia memakai mobil Bara. Dila kembali ke rumah Danau Teduh lalu mengganti mobil Bara dengan mobilnya. Tak lupa Dila mengirimkan pesan pada Bara
'Mobilmu aku pinjam karena mobilku ada di Danau Teduh. Aku sudah mengambil mobilku dan memarkir mobilmu di garasi. Terima kasih. Selamat tinggal.'
Bara kaget bangun tidur tak melihat istrinya. Dila meninggalkannya ketika ia terlelap tidur. Bara mengambil smartphone dan melihat pesan Dila. Bara berteriak frustasi lalu menelpon istrinya karena panik.
"Dila apa maksudnya dengan selamat tinggal?" Tanya Bara dengan napas terengah-engah.
Dila diam tak membalas ucapan Bara. Hanya air mata yang menjadi jawabannya.
"Dila jawab aku," pekik Bara frustasi."Kamu masih mendengar aku bukan? Sayang jangan tinggalkan aku. Pleaseee Dila jangan tinggalkan aku."
"Beri aku waktu," ucap Dila pada akhirnya.
"Waktu untuk?"
"Untuk menyendiri dan menenangkan diri. Aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Tak mudah untukku Bara. Terlalu pahit dan sakit yang aku rasakan."
"Aku berjanji dan bersumpah demi mama tidak akan menyakiti kamu. Aku akan membahagiakan kamu."
"Jangan bawa mama dalam masalah kita. Biarkan mama tenang."
"Ingatkah janji kamu pada mama saat-saat terakhirnya?"
"Aku tahu," potong Dila cepat.
"Lalu kenapa kamu tinggalkan aku?"
"Aku hanya butuh waktu Bara. Kenapa kamu tidak mengerti?" Dila menghardik Bara dengan suara keras dan beruraian air mata.
"Kamu itu egois Bara. Hanya memikirkan diri kamu. Hanya kamu yang boleh didengar dan hanya kehendakmu yang berlaku. Aku tidak bisa diperlakukan begini. Aku punya hak atas hidupku. Aku yang menentukan hidupku bukan kamu."
"Aku hanya takut kehilangan kamu."
"Lepaskan aku," pinta Dila pada akhirnya.
"Aku tidak akan melepaskan kamu. Selamanya kamu akan menjadi istriku."
"Maka kamu akan kehilangan aku," jawab Dila mengultimatum.
"Apa?" Bara semakin shock. Ia lalu mengganti panggilan telepon dengan video call. Terlihat di layar smartphone Dila beruraian air mata duduk di dalam mobil. Dila parkir di jalan. Bara mengusap wajah Dila dari layar smartphone.
"Kenapa Dil?" Bara beruraian air mata. Terlalu sakit untuknya dan sakitnya tak bisa diungkap dengan kata-kata. Sakit ditusuk pisau malah lebih baik daripada sakit yang ia rasakan saat ini.
"Aku kecewa, merasa dijebak dan dipermainkan."
"Aku tidak pernah melakukannya Dila."
"Papamu."
"Aku malah berterima kasih pada papa. Jika papa tak melakukannya mungkin kita tidak akan sejauh ini."
"Terlalu sulit untuk aku maafkan."
"Apa yang bisa aku lakukan agar kamu tidak marah lagi pada papa?"
"Tidak ada yang bisa kamu lakukan. Akhiri kepalsuan ini."
"Cintaku padamu bukan kepalsuan tapi sebuah kebenaran. Apa perlu kita lakukan tes kebohongan agar kamu tahu jika aku berkata jujur."
"Tidak perlu."
"Aku akan mencari kamu."
"Jika kamu mencariku maka aku akan pergi jauh. Aku bersumpah kamu tak akan menemukanku."
"Kenapa?"
"Kenapa kamu tak juga mengerti jika aku ingin sendiri?"
"Kenapa harus pergi Dila? Kita masih bisa bicara baik-baik."
"Lepaskan aku. Melepaskan ialah menyerahkan segalanya pada Tuhan, dan membiarkan Semesta bekerja dengan cara-Nya. Melepaskan ialah bentuk keyakinan kita terhadap Tuhan, yang Maha Mengetahui segala-galanya. Karena Tuhan selalu punya banyak cara, karena Semesta tak akan pernah berdusta. Maka manusia hanya mampu berusaha sesuai porsisnya, sisanya biarkan Tuhan yang menyelesaikannya."
"Bagaimana aku bisa melepaskan jika Tuhan mengatakan kita harus berusaha?"
"Ada banyak cara untuk berusaha. Karena berusaha tidak melulu tentang mengejar. Tidak melulu soal mengumbar. Karena setiap orang memilah dan memilih caranya sendiri untuk berusaha. Buatku, berusaha adalah dengan memantaskan diri dan menyiapkan diri. Mengapa? Jodoh tidak akan sampai bila kita tidak pantas dan tidak siap."
"Memantaskan diri dengan terus bertumbuh dan berkembang. Memperbaiki diri dari berbagai cela yang pernah ada. Terus menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Menyiapkan diri dengan belajar apapun, dari manapun. Menyiapkan diri dengan ilmu, pengalaman, pelajaran. Memantaskan dan menyiapkan dari berbagai hal; fisik, emosional, finansial, pengetahuan, spiritual, dari semua aspek yang selalu bisa dipelajari, digali, dan ditumbuh-kembangkan."
"Memantaskan dan menyiapkan diri hingga benar-benar bisa berdiri di atas kaki sendiri. Karena hubungan adalah dua orang berbeda yang berjalan beriringan. Bila kita belum mampu menopang diri sendiri, bagaimana akan menghadapi banyak tantangan berdua? Karena pasangan adalah cerminan diri. Jadilah yang baik, maka kamu akan mendapatkan yang baik."
"Apakah aku mempertahankan kamu bukan cara yang terbaik?" Tanya Bara berusaha tegar.
"Kamu terlalu khawatir. Terlalu cemas. Terlalu gundah dan gelisah. Ingin mendekap erat yang dicintai, ingin mengikat yang dekat. Kamu terlalu takut kehilangan sesuatu yang bahkan tidak bisa dimiliki. Tetapi, apakah kita benar-benar memiliki? Karena sesungguhnya diri kita sendiri bukanlah milik kita sendiri, bahkan diriku bukanlah mutlak milikmu, lantas apa yang ingin kita miliki? Bahkan kita yang sudah menjadi suami atau istri, apakah berarti aku sudah menjadi milikmu? Bahkan Ibu yang mengandungku 9 bulan, mencintai dan mengasuhku seumur hidup, tidak pernah benar-benar memilikiku sepenuhnya."
"Bukankah kamu menjadi terlalu egois dan angkuh bila kamu ingin memiliki aku, orang yang kamu cintai? Barangkali, keinginan untuk memilikinyalah yang membuatmu terluka. Keinginanmu yang akhirnya menyakiti dirimu sendiri. Biarkan aku lepas, biarkan aku bebas. Karena yang mengikat adalah komitmen, bukan kepemilikan. Komitmen dan janji dari hati nurani, bukan hasrat ingin memiliki dari hawa nafsu. Karena yang ada di dunia hanya persinggahan, segalanya hanya pinjaman. Lantas, apa yang bisa kita miliki bila segalanya di dunia akan kembali? Segala sesuatu akan kembali pada Tuhan, bukan?"