Jodoh Tak Pernah Salah

Part 244 ~ Ketakutan Herman



Part 244 ~ Ketakutan Herman

"Ulangi lagi."     

"Ulangi apa?"     

"Panggil aku suamiku."     

"Suamiku." Dila merona merah ketika mengucapkannya.     

"Terima kasih untuk semuanya Dila. Kamu telah mendukungku untuk kembali ke kodrat. Maaf beberapa hari ini mengacuhkan dan mengabaikan kamu."     

"Sudahlah. Tidak perlu dibahas. Lupakan yang telah lalu. Bukankah kita sudah berbaikan sekarang?"     

"Aku merasa seorang biseksual sekarang."     

"Cukup! Jangan katakan kamu biseksual. Ingatlah perkataanku mindset kita menentukan takdir kita. Jika mindset kamu mengatakan kamu lelaki normal maka kamu akan normal. Perkataan adalah doa. Sugesti diri kamu bahwa kamu laki-laki normal, gay menjijikkan, gay haram dan dilaknat. Tanamkan dalam hati kamu. Jika kamu sudah lakukan itu maka kamu akan normal. Perubahan itu perlahan-lahan tidak bisa instan." Dila kembali mengingatkan.     

Bara terharu mendengarkan nasehat sang istri. Bara kembali merengkuh sang istri dan melumat bibirnya. Agak lama menghisap Bara melepaskannya. Jika kembali melanjutkannya Bara kasihan dengan Dila yang harus kembali melayaninya padahal Dila sudah mandi wajib. Kasihan jika Dila terus-terusan mandi.     

Dering ponsel membuyarkan kemesraan mereka. Herman menghubungi Bara.     

"Assalamualaikum papa," ucap Bara dengan hormat. Herman bicara di telpon.     

"Apa?" Bara shock dan wajahnya pucat. "Baiklah pa. Aku segera datang."     

"Ada apa?" Dila kaget melihat perubahan sang suami menjadi panik dan pucat.     

"Mama dirawat di rumah sakit. Jantungnya kumat. Aku akan pergi ke rumah sakit."     

"Aku ikut."     

Bara gelisah selama dalam mobil. Dila pun menggantikan sang suami untuk membawa mobil. Ranti dilarikan ke rumah sakit Harmoni. Perjalanan ini terasa sangat lama untuk Bara. Tinggal di Danau Teduh yang jauh dari pusat kota membuat mereka lama sampai.     

"Dila cepatlah bawa mobil. Ngebut." Bara tak sabaran ingin melihat sang mama. Bara sangat kaget dan terkejut mendengar mamanya di rawat bahkan di rawat di ruangan ICCU. Kondisi jantung mamanya sangat tidak baik, begitu kata Herman di telepon.     

"Sabar suamiku. Ambil napas dan buang. Kamu harus rilek. Mama akan baik-baik saja. Kamu berpikiran positif saja. Jika itu yang kamu lakukan mama akan baik-baik saja."     

"Aku takut Dila." Bara mulai menangis. Jika sudah menyangkut Ranti, Bara menjadi cengeng dan lemah.     

"Jangan takut sayang." Dila terpaksa mengajak Bara mengobrol untuk menghilangkan rasa panik Bara. Pandangan Dila lurus ke depan.     

"Aku takut terjadi sesuatu pada mama."     

"Mama akan baik-baik saja. Kemarin ini baru ditemani uni Naura untuk kontrol bukan?"     

"Iya."     

Setelah Bara sedikit tenang Dila menambah kecepatan mobil. Untung saja jalanan sepi sehingga mereka bisa tiba lebih cepat dari perkiraan. Bara segera berlari ke kamar perawatan Ranti ketika baru sampai rumah sakit meninggalkan Dila.     

Dila memahami kekhawatiran sang suami. Dila tak marah dan mengerti dengan kondisi psikis sang suami. Udara malam begitu dingin. Untung saja Dila menggunakan sweater tebal sehingga tubuhnya terasa hangat.     

"Pa bagaimana keadaan mama?" Tanya Bara panik.     

Herman melepas kacamatanya dan menghapus air matanya. "Mama koma Bara."     

Brukkkkk....Bara tumbang dan terduduk di lantai. "Kenapa bisa pa?"     

Tatapan mata Bara kosong. Ia sangat menyayangi mamanya dan tak siap jika kehilangan. Bara melongo bak orang frustasi. Bara bahkan lupa jika ia datang bersama Bara.     

Dila merunduk membantu sang suami untuk bangun. Wajah shock Bara terlihat jelas oleh Dila. Ia memeluk sang suami memberikan ketenangan.     

"Bagaimana kondisi mama, pa?" Dila menatap Herman yang terlihat kelelahan.     

"Mama koma?"     

"Apa?" Dila kaget dan matanya melotot. Pantas saja suaminya begitu terpukul karena Ranti dalam kondisi koma.     

"Kok bisa pa?"     

"Mama memang sakit jantung Dila."     

"Aku tahu pa, tapi kenapa mama bisa koma seperti ini? Pasti ada pemicunya."     

"Papa tidak tahu Dila. Tadi para ART di rumah menelpon papa mengabarkan mama pingsan dan mereka membawa mama ke IGD. Saat di periksa dokter kondisi mama drop. Mama koma. Papa belum sempat tanyakan sama orang-orang di rumah." Herman menangis sangat takut kehilangan sang istri yang telah menemaninya selama empat puluh tahun, Herman belum siap dengan kemungkinan terburuk.     

Bara teringat sesuatu ketika mendengar cerita Herman. Bara mengambil ponsel dan menghubungi Dian.     

"Malam bos," sapa Dian ramah.     

"Bagaimana pencarian kamu?"     

"Egi tidak menginap di hotel tempat dia memberikan pelatihan. Sepertinya dia pindah hotel bos. Besok aku akan mencarinya lagi bos. Kemungkinan Egi sudah kembali ke Jakarta."     

"Mamaku masuk rumah sakit Dian. Mama koma." Bara menghapus air matanya.     

"Apa?" Dian shock mendengar berita tentang Ranti. "Bagaimana kondisi Ibuk? Apa baik-baik saja bos?"     

"Mama koma Dian."     

"Apa?"     

"Iya. Aku takut Dian. Aku tidak ingin mama kenapa-napa. Aku takut kehilangan mama."     

"Bos berpikir positif saja. Ibuk orang yang kuat pasti bisa melawan penyakitnya. Anaknya saja kuat pasti ibunya lebih kuat." Dian menyemangati sang bos yang sedang putus asa.     

"Aku curiga dengan Egi. Cari dia sampai dapat. Jika ini perbuatan Egi aku bersumpah akan membunuh dia dengan tanganku sendiri. Aku tak akan membiarkan dia hidup tenang setelah mengusik mama."     

"Bos tenanglah. Jangan pikirkan Egi. Aku akan mengurus si bencong itu. Fokuskan kesembuhan Ibuk."     

Klik!!! Telepon terputus.     

"Menelpon siapa?" Dila bertanya pada sang suami."     

"Dian."     

"Kenapa?"     

"Mengabarkan kondisi mama. Aku curiga ini perbuatan Egi. Clara pernah menelpon mengingatkan aku."     

"Suamiku. Sekarang kita fokus pada kondisi mama. Nanti saja kita cari tahu tentang Egi. Kita tak boleh berburuk sangka."     

******     

Egi dan Zico janjian di sebuah klub malam di kota Padang. Mereka mengobrol seru seraya meneguk wine. Mereka dua manusia yang suka clubbing sehingga kuat minum alkohol dalam jumlah yang banyak.     

"Kenapa senang sekali bro? Dari tadi lo udah minum tiga gelas. Nanti lo teler." Zico mengingatkan Egi agar tidak minum banyak.     

"Gue udah biasa minum bro. Jadi gue enggak bakal tumbang." Egi tertawa terbahak-bahak.     

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Kenapa lo terlihat senang sekali?"     

"Gue." Belum melanjutkan bicaranya Egi sudah tertawa terbahak-bahak.     

"Gue apa?" Zico diliputi rasa penasaran.     

"Gue berhasil balas dendam sama mantan gue. Seenaknya saja mencampakkan gue setelah dia menikahi wanita itu. Bahkan dia hampir punya anak dengan wanita itu."     

"Jadi lo gay?" Zico menarik kesimpulan.     

"Iya gue gay. Lo takut sama gue? Takut gue goda?" Egi menantang Zico.     

Zico tertawa terbahak-bahak, "Tidak. Ngapain gue takut. Dulunya gue malah seorang biseksual. Sekarang gue udah normal Gi."     

"Kenapa lo bisa normal?"     

"Pengen berubah saja."     

"Jika boleh tahu bagaimana lo balas dendam sama mantan lo itu?"     

"Gue datang ke rumah orang tua dia dan memberi tahu mamanya jika anaknya seorang gay dan gue kekasihnya. Gue tahu mamanya sakit jantung. Biar tahu rasa dia. Seenaknya mencampakkan gue."     

"Kenapa lo membalas dendam melalui mamanya? Kenapa bukan pada dia langsung?"     

"Karena kelemahannya dia adalah mamanya. Dia rela memberikan seluruh dunia asal mamanya baik-baik saja. Aku ingin membuat dia terpukul. Mungkin sekarang mamanya dirawat di rumah sakit. Dia harus merasakan kesakitan dan kehilangan seperti yang gue rasakan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.