Part 226 ~ Tangisan Dian ( 3 )
Part 226 ~ Tangisan Dian ( 3 )
"Apa ini yang datang Kyai?"
"Tidak," jawan Kyai Saleh tanpa keraguan.
"Alvin meminta bantuan orang lain untuk menjadi Dona. Sudah liat dampak buruk kelakukan kamu Dian?" Tanya Fatih seakan menghakimi Dian.
"Kamu liat Dian?" Asti memukul bahu Dian. "Akibat perbuatan kamu memberikan dampak buruk sama Alvin. Puas kamu merusak mental Alvin dan dia membohongi kita semua?"
"Bu sabar." Rahman melerai Asti untuk memukul Dian.
"Apakah Dian sering membentak Alvin?" Fatih bertanya pada Dian. Tak ada jawaban hanya ada air mata.
Untuk pertama kalinya Dian meneteskan air mata untuk Alvin. Batinnya berontak, hatinya gerimis mengetahui efek buruk sikapnya.
"Dampak negatif dari sering membentak anak. Menghambat perkembangan pola pikir anak.
Ketika masih anak-anak, sel otak mereka dibiarkan untuk tumbuh dan berkembang. Namun, akan berbeda jika pada akhirnya anak berada di lingkungan atau pola asuh yang salah. Perilaku membentak anak ketika mereka melakukan kesalahan sangat berdampak untuk diri mereka. Akan ada banyak miliaran sel otak anak yang bisa rusak. Dengan kata lain bisa menghambat perkembangan kognitif dan tidak berkembang sebagaimana mestinya. Kecerdasan anak juga bisa terganggu tanpa disadari. Anak jadi kurang nyaman. Ketika sering dibentak, respon setiap anak pasti berbeda-beda. Ada yang merasa hal itu harus diterimanya karena memang ia berbuat salah, ada juga yang tidak terima karena terus-terusan diperlakukan seperti itu. Hal ini membuat anak kurang nyaman dengan orang tua. Selain itu anak akan merasa kalau orang tua mereka tidak mencintainya, tidak menghargainya atau bahkan membenci orang tua mereka sendiri. Ketidaknyamanan iniah yang membuat hubungan anak dan orang tua menjadi rusak."
"Kehilangan percaya diri. Anak-anak yang biasanya punya kepercayaan diri yang rendah atau bahkan kehilangan kepercayaan diri ternyata bisa disebabkan dari orang tua. Kepercayaan diri ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan anak, tapi juga bagaimana anak mengembangkan inisiatifnya. Anak bisa saja tumbuh menjadi anak yang pemalu, gugup, dan takut saat berada di lingkungan sosial."
"Kurangnya pengendalian emosi. Suara bentakan kita ketika memarahi anak pasti memberikan memori yang buruk untuknya. Hal ini berdampak hingga ia dewasa. Ketika anak sering dibentak, pengendalian emosi anak menjadi tidak stabil di dalam dirinya. Hasilnya, anak akan memiliki emosi yang cenderung meledak-ledak. Nah, ini bisa berdampak ketika anak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya."
"Lebih rentan memiliki gangguan kejiwaan. Salah satu faktor seseorang memiliki gangguan kejiwaan juga dikarenakan oleh lingkungan keluarga mereka. Sering membentak anak ternyata lebih rentan membuat anak memiliki gangguan kejiwaan. Anak yang suka dibentak ternyata membuatnya lebih rentan mengalami depresi atau gangguan kecemasan. Kalau sudah terlanjur seperti ini anak akan membutuhkan terapi psikologis secara berkala."
"Tidak. Aku tidak mau Alvin seperti itu." Dian berteriak nyaring dan bersikap bak orang gila. Dian menangis tersedu-sedu mendengarkan penjelasan Fatih.
"Dian bisakah kamu menceritakan padaku kenapa bersikap seperti itu pada Alvin?" Fatih menatap iba. Sebagai seorang sarjana psikologi Fatih memahami ada yang melatar belakangi Dian bersikap seperti itu pada Alvin. Itulah yang ingin Fatih gali saat ini.
"Kak." Suara Dian tercekat. Tenggorokannya kering tak mampu untuk berkata-kata.
"Kak bisakah kita hanya bicara empat mata?" Dian menatap Kyai Saleh seolah meminta izin.
"Baiklah saya akan meninggalkan Dian dengan ustad Fatih. Bapak, Ibu mari ikut saya melihat perlombaan. Kebetulan sedang ada lomba kreativitas anak-anak pesantren. Sayang jika Bapak dan Ibu tidak menontonya." Kyai Saleh mengajak Rahman dan Asti keluar.
Tinggal di ruangan itu hanya Dian dan Fatih. Pintu sengaja dibuka lebar agar tak menimbulkan fitnah karena mereka berduaan.
"Dian bisa bicara padaku? Ini demi kebaikan Alvin dan kamu. Aku tahu kamu bersikap tidak adil dan membentak Alvin pasti ada sebabnya. Bisakah kamu ceritakan padaku? Jika kamu cerita setidaknya beban dihatimu akan berkurang. Kedua aku bisa tahu terapi apa yang akan diberikan pada Alvin agar kelakuannya lebih baik dan tidak anti sosial."
Dian mengambil minuman kemasan yang terhidang di atas meja. Dian meminumnya dalam satu kali teguk. Dian bahkan bergumam untuk menetralkan perasaannya.
"Alvin adalah anakku," jawab Dian dengan bibir gemetar.
"Apa?" Fatih tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya. Mana mungkin Dian yang masih berusia tiga puluh tahun memiliki anak remaja berusia empat belas tahun. Apakah Dian menikah di usia dini?
"Lalu mana ayahnya?"
"Dia tidak punya ayah."
"Tidak mungkin Alvin lahir jika tidak punya ayah?"
"Alvin anak yang lahir dari pemerkosaan. Aku diperkosa saat berumur lima belas tahun. Aku diculik dan dijadikan budak seks bajingan itu selama empat hari. Alvin anak yang terlahir dari hasil pemerkosaan. Aku tak pernah menginginkan dia." Dian berteriak dengan wajah menahan amarah. Matanya sembab karena menangis.
"Astagfirullah Dian. Aku tak menyangka kamu mengalami hal berat seperti ini." Fatih shock tak dapat menyembunyikan rasa kaget.
"Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Maafkan aku telah memaksa kamu mengatakannya." Hati Fatih bergerimis. Tanpa disadari bulir air mata keluar dari pelupuk matanya.
"Gadis lima belas tahun yang belum tahu apa-apa dihadapkan dalam masalah pelik yang telah merusak masa depannya. Akibat pemerkosaan itu aku mengalami trauma dan gangguan mental. Aku bahkan dirawat berbulan-bulan di rumah sakit jiwa untuk memulihkan mentalku. Aku pernah bunuh diri karena tak sanggup menerima kenyataan. Andai Bara tak menyelamatkan aku kala itu mungkin aku sudah mati dan tak perlu melahirkan Alvin ke dunia ini. Remaja lima belas tahun yang harusnya menikmati masa remaja pergi ngemall dengan teman sebaya malah dihadapkan pada permasalahan berat. Aku diperkosa dan hamil. Aku tahu hamil ketika kandunganku sudah lima bulan dan sudah tak bisa lagi dilakukan aborsi. Selama ini mereka sibuk mengobati mentalku hingga tak menyadari perubahan fisikku." Dian menangis tersedu-sedu.
"Tapi tak seharusnya Alvin menjadi pelampiasan kamu."
"Bagaimana aku tak melampiaskannya pada Alvin? Jika wajah dia sangat mirip dengan bajingan yang memperkosaku. Melihat wajah Alvin mengingatkan aku dengan si pemerkosa itu kak. Melihat Alvin aku ketakutan. Dia mirip sekali dengan bajingan itu. Alvin versi mini si bajingan itu. Makanya aku menjauhkan Alvin dari keluarga. Aku sekolahkan dia sedari kecil di pesantren supaya dia punya akhlak yang baik dan tidak bejat seperti ayah biologisnya. Hanya ada rasa tertekan dan ketakutan ketika melihat Alvin. Aku menghilangkan ketakutanku dengan membentak dan memarahinya. Aku tidak pernah menginginkan anak itu kak. Kelahiran dia suatu kesalahan kak. Aku tidak pernah menginginkan dia. Aku tidak pernah punya anak." Dian seperti orang frustasi menceritkan masa lalunya. Dian menggigit bibir melampiaskan perasaan yang ada dihatinya.
Fatih tak dapat menyalahkan Dian sepenuhnya. Dian pun korban dalam kejadian ini. Fatih paham psikologis korban pemerkosaan akan terganggu. Korban pemerkosaan mengalami depresi. Mengalami sindrom trauma perkosaan (**** Trauma Syndrome/RTS) adalah bentuk turunan dari PTSD (gangguan stres pasca trauma), sebagai sesuatu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan muda dan dewasa dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dipandang oleh wanita sebagai situasi yang mengancam nyawa, memiliki ketakutan umum akan mutilasi dan kematian sementara serangan terjadi.