Jodoh Tak Pernah Salah

Part 224 ~ Tangisan Dian ( 1 )



Part 224 ~ Tangisan Dian ( 1 )

Asti, Rahman dan Dian pergi ke pesantren memenuhi surat panggilan pemilik pesantren. Selama dalam perjalanan Dian menggerutu karena tidak mau pergi. Ancaman dan intimidasi dari Asti membuatnya tidak berkutik. Dian tak mau kehilangan Ibunya. Demi sang ibu Dian berdamai dengan batinnya. Dian terlihat cantik dalam balutan gamis dan hijab dari L by LCB. Auranya terpancar dan membuatnya semakin cantik.     

Mereka menempuh perjalanan selama tiga jam dan akhirnya sampai di pesantren Alvin. Asti dan Rahman berdecak kagum melihat gapura pesantren yang begitu cantik dan bertuliskan 'SELAMAT DATANG PARA PESERTA LOMBA KREATIVITAS PESANTREN AL JADID 2020'. Mereka mencari tempat parkir dan turun dari mobil.     

"Sepertinya ada perlombaan tahunan di pesantren," kata Asti berkomentar.     

"Biasanya Alvin ikut lomba ya Bu?" Rahman bertanya pada Asti.     

"Iya yah."     

"Lomba apa yang biasanya Alvin ikuti Bu?"     

��Alvin ikut lomba pencak silat yah."     

"Silat?" Dian memicingkan mata tak percaya jika Alvin bisa silat.     

"Hmmmm," jawab Rahman pelan.     

"Sejak kapan anak itu bisa silat?"     

"Dia udah sabuk hitam malah. Kamu aja yang enggak peduli sama Alvin," ucap Asti ketus menatap Dian.     

"Alvin berlatih silat semenjak kelas satu SD. Sekarang dia sudah kelas tiga SMP wajarkan sudah sabuk hitam."     

"Sebenarnya bisa saja Alvin gebukin kamu ketika kamu jahatin, tapi anak itu tidak mau karena masih menaruh hormat sama kamu sebagai kakak. Dunia ini kebalik, yang kecil mengalah sama yang tua. Sampai kapan anak itu tersiksa batinnya. Dijahati kakaknya sendiri. Mungkin kalo Ibu mati entah gimana nasibnya Alvin." Asti menyeka air matanya.     

"Ibu kenapa ngomong kayak gitu?" Dian tak suka mendengar ucapan Asti barusan. "Kayak aku jahat sekali."     

"Emang jahat. Selama ini kamu emang jahat sama Alvin. Ibu masih hidup aja kamu udah jahatin dia apalagi jika Ibu udah enggak ada."     

"Ibu udah!" Rahman menyuruh Asti diam. "Mari kita ke dalam temui pemilik pesantren."     

Selama perjalanan menuju ruangan pemilik pesantren mata Dian memendar melihat sekeliling. Ini baru pertama kalinya Dian ke sekolah Alvin. Selama ini hanya Asti dan Rahman yang mengurus keperluan Alvin. Dian hanya memberikan uang pada orang tuanya untuk membiayai Alvin. Tangan Dian gatal ingin berkelahi ketika melihat perlombaan pencak silat di lapangan.     

"Alvin ikut lomba pencak silat Yah?" Dian bertanya pada Rahman.     

"Biasanya iya, tapi ayah liat enggak ada dia disana."     

"Rame begitu mana kelihatan Alvinnya ayah," kata Asti mencibirkan bibirnya.     

Mereka bertiga di terima di dalam ruangan pemilik pesantren. Kyai Saleh menerima kedatangan mereka dengan tangan terbuka.     

"Kenakalan apa yang dilakukan adik saya Kyai sampai kami dipanggil kesini?" Dian tak sabaran langsung bertanya ketika di persilakan duduk.     

"Tidak. Alvin tidak nakal buk atau mbak panggilnya ini?" Kyai mengulas senyum dan menjawab dengan ramah.     

"Panggil Dian saja Kyai."     

"Alvin tidak nakal kok, dia anak yang baik."     

"Lantas kenapa kami dipanggil Kyai. Biasanya cuma orang tuanya saja. Saya sebagai kakak tertua juga diminta datang?"     

Kyai Saleh hanya tesenyum manis mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi dari Dian.     

"Sebenarnya bukan saya yang ingin bicara dengan Dian. Kebetulan kami melakukan terapi psikologis pada anak-anak pesantren. Kami ingin melihat apakah mereka sekolah disini atas kehendak mereka atau paksaan orang tua. Kalo kehendak mereka sendiri alhamdulilah kami senang, jika paksaaan orang tua kami akan berikan konseling dan memberi tahu mereka kenapa disekolahkan di pesantren kami. Dari terapi yang kami lakukan Alvin terlihat memiliki masalah dengan keluarga apalagi dengan kakak tertuanya. Makanya kami memanggil Bapak, Ibu dan Dian kesini. Mungkin saya tidak bisa jelaskan panjang lebar. Biar ustad Fatih saja yang menjelaskan." Kyai Saleh mengambil ponsel dan menghubungi Fatih.     

"Ustad datang ke ruangan saya. Keluarga Alvin sudah datang."     

Tak lama kemudian Fatih datang ke ruangan Kyai Saleh. Fatih kaget ketika di perkenalkan dengan keluarga Alvin.     

"Kak Fatih." Dian kaget melihat Fatih ada disini.     

"Dian?" Fatih memicingkan mata. Ia juga kaget mengetahui Dian keluarga Alvin.     

"Kalian saling kenal?" Kyai Saleh menatap keduanya bergantian.     

"Kenal," jawab mereka serentak.     

"Dian jangan bilang kamu kakaknya Alvin?" Fatih memastikan dugaannya.     

"Jangan bilang kak Fatih yang kasih terapi psikologis pada anak-anak?" Dian balik bertanya.     

"Kakak yang memberikannya."     

"Bukannya kakak keliling Jawa kasih kuliah umum?"     

"Sekarang jadwalku di pesantren memenuhi janji pada Kyai," jawab Fatih mengambil posisi duduk disamping Kyai.     

"Ustad Fatih silakan dimulai pembicaraannya." Kyai Saleh mempersilakan Fatih untuk bicara.     

"Terima kasih Bapak, Ibu dan Dian sudah sudi datang memenuhi panggilan kami. Maksud saya memanggil keluarga Alvin karena ingin memberi tahu keadaan psikis Alvin yang sebenarnya. Anak itu terlihat sangat kuat dan tegar seperti karang tapi sebenarnya dia lemah dan tak bahagia. Sore itu ketika saya berjalan-jalan keliling pesantren, saya melihat Alvin seorang diri duduk di bawah pohon sedang menggambar dan menulis sebuah puisi. Dia terlihat putus asa, meremas dan melempar kertas hasil coretan tangannya. Saya dekati dan mengambil salah satu kertas yang dia buang dan saya menemukan gambar ini." Fatih mengeluarkan gambar coretan tangan Alvin dan memperlihatkan pada Rahman, Asti dan Dian.     

"Terlihat dalam gambar satu orang perempuan dewasa memeluk dua anak kecil dan ada seorang anak kecil lagi mengintip dari balik jendela dan menangis. Dalam ilmu psikologis saya membacanya seperti ini. Perempuan dewasa saya analogikan Dian, dua anak kecil yang dipeluk itu Dean dan Dona. Anak kecil yang mengintip adalah Alvin. Dari sini saya membaca jika Dian membedakan perlakuan terhadap adik-adik sehingga memiliki dampak pada psikologis Alvin."     

"Apa Alvin yang cerita sama kakak?" Dian tersulut emosi. Menyayangkan sikap Alvin yang membuka aib keluarga.     

"Tidak!" Fatih menggeleng. "Gambar ini yang memberi tahu. Saya hanya bertanya siapa saja keluarganya dan Alvin menyebut nama kamu, Dean dan Dona."     

"Dian selama ini psikologis Alvin terganggu karena mendapatkan perlakuan yang berbeda dari keluarganya lebih tepatnya kamu sebagai kakak tertua. Alvin tidak bahagia dan selama ini hanya pura-pura bahagia demi ayah dan ibu. Anak yang tidak bahagia berpotensi mengalami masalah emosi dan perilaku. Kalau tidak mendapatkan penanganan tepat sedini mungkin, maka dapat menyebabkan depresi pada anak. Keluarga yang tidak harmonis membuat Alvin stress. Ketidak harmonisan ini terjadi karena sikap Dian. Bapak, Ibu jika boleh tahu bagaimana sikap Dian selama ini pada Alvin apakah yang saya katakan benar?" Fatih menatap Asti dan Rahman bergantian.     

Asti mengambil tisu dalam tas lalu menyeka bulir air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Apa yang disampaikan Fatih benar dan tak ada yang salah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.