Part 223 ~ Firasat Yang Benar
Part 223 ~ Firasat Yang Benar
"Kenapa Vin?" Dila dan Renata kompak bertanya.
"Kep bersiaplah bakal di keramas." Vinta bicara dengan bibir gemetar. Kuku tangannya memutih karena takut.
"Aku cek DHNnya dia. Dengan nomor NIK yang sama, tanggal lahir yang sama dan nama ibu kandung yang sama. Tapi namanya berbeda di DHN kep. Hamdan namanya bukan Hamdani. Aku cek dia daftar hitam di bank ABC. Kebetulan aku punya teman yang juga CS di ABC minta kecocokan data. KTP yang ada di bank ABC dengan KTP yang ada dikita namanya berbeda. Pak Hamdani ini melakukan pemalsuan identitas. Beritanya buruknya dia baru perpanjang kreditnya kemaren sama Pak Ilman. Aku tanya teman di ABC masalah kredit Pak Hamdani, dia juga cerita kredit Bapak tu macet. Berita buruknya dia ajukan kredit sama kita ketika sudah bermasalah di bank ABC."
"Artinya kita ditipu nasabahnya?" Dila shock menutup mulutnya. Renata pun tak kalah shock. Mereka juga melihat data yang telah Vinta print sebelumnya dan chat Vinta dengan temannya dari bank ABC. Teman Vinta juga memberikan foto KTP Hamdani ketika buka rekening. KTP yang sama tapi dengan nama yang berbeda.
"Inilah kenapa aku dan bang Emir selalu minta KTP asli nasabah jika FO atau AO bikin rekening. Bukannya enggak percaya sama teman, tapi kita enggak tahu permainan mereka diluar. Aku juga cek DHN keluarga Pak Hamdani. Seluruh keluarganya buka giro di berbagai bank dan semua berada di daftar hitam karena sering memberikan cek kosong."
"Dil gue lemes." Renata pucat. Pasalnya ia ikut memberikan persetujuan Hamdani untuk memperpanjang kredit nasabah. Jika Adrian terbukti fraud habislah kariernya.
"Kep cek semua kredit nasabah yang pencairan selama kep cuti, masalah Pak Ilman enggak ikut ke lapangan cek usaha dan agunan nasabah. Bukannya suuzon, kayaknya bang Ad fraud."
Dila tersambar petir mendengar analisis Vinta. Walau si nyai badas masih muda hanya seorang customer service tapi dia juga menguasai ilmu perkreditan. Dia sangat pintar membaca karakter nasabah.
"Vinta masalah ini kamu tutup mulut dulu. Kita enggak bisa tarik kesimpulan sebelum menemukan bukti yang kuat. Jangan cerita sama siapa pun. Sama Emir juga enggak boleh cerita."
"Baik kep."
"Sekarang kamu kembali kerja." Titah Dila pada Vinta. Nyai badas pun meninggalkan ruangan Renata.
"Gue yakin jika dugaan Vinta benar Re," kata Dila dengan wajah pucat. Wajahnya memutih karena kaget dengan penemuan Vinta.
"Kok bisa lo narik kesimpulan kayak gitu Dil?" Renata tak kalah takut. Ia berperan langsung dalam pemberian kredit pada Hamdani. Ikut menyetuji komite kredit Hamdani.
"Kemaren Bang Ad kasih rekomendasi kredit nasabah sebesar 500 juta. Agunannya semua mobil. Gue minta sertifikat tanah bang Ad marah sama gue dan bandingin gue sama pimpinan lama. Gue jadi curiga dech Re. Gue minta file pencairan kredit dia selama gue cuti wajahnya mendadak pucat dan sampai sekarang file itu belum ada di ruangan gue. Alasannya sibuk bikin PK nasabah.
"Dila gua takut."
"Gue harus cek Re. Enggak boleh berlarut-larut. Kita harus buktikan kecurigaan kita."
Dila keluar dari ruangan Renata dan buru-buru menuju ke atas mencari Adrian.
"Bang Ad antarkan file kredit yang aku minta kemaren! Tunda dulu pencairan kreditnya!" Titah Dila dengan mode galak.
"Tapi nasabahnya minta pencairan hari ini kep. Dia butuh dananya."
"Tunda aja dulu. Dia mau pinjam uang bukan? Suruh dia sabar. Jangan mau diatur nasabah. Kita yang atur mereka bukan sebaliknya."
Adrian keringat dingin. Ia sudah membuat berbagai alasan agar file pencairan kredit selama Dila cuti tak sampai di ruangan sang atasan. Adrian berkomat-kamit semoga Dila tak menemui kejanggalan dalam kredit yang ia berikan.
"Ini kep," kata Adrian memberikan tumpukan file kredit yang ia cairkan selama Dila cuti.
"Terima kasih bang."
"Kenapa kep perlu cek file kredit yang saya punya. Kep membuat saya seolah anak junior yang tidak mengerti dengan kerjaan."
"Aku hanya perlu kroscek saja bang. Jika tidak ada yang aneh kenapa abang ketakutan?"
Skakmat! Adrian tak mampu membalas pertanyaan Dila. Tubuhnya lemas dan menggigil. Meninggalkan ruangan Dila tanpa permisi.
Dila membaca satu persatu file kredit yang diberikan Adrian. Ia memijit pelipisnya. Menemukan fakta-fakta yang telah ia analisis. Dila mengajak Niken, FO untuk mengecek ke lapangan. Untung saja sopir kantor ingat dengan alamat nasabah kredit Adrian.
Sesampainya di lapangan Dila menemukan fakta yang mencengangkan. Tak menyangka jika fakta yang ia temui lebih mengerikan daripada dugaannya. Dila nyaris pingsan mendapatkan fakta yang sebenarnya. Niken bahkan harus membopongnya agar tak jatuh. Ini permainan yang sangat rapi, tertata dan detail. Niken pun shock dengan apa yang ditemukan oleh Dila.
Dila tak lupa mendokumentasikan semua penemuannya dan siap membuat berita acara untuk disampaikan ke kantor Cabang Utama untuk ditindak lanjuti ke tim audit kantor pusat.
"Niken. Apa pun yang kamu ketahui tentang ini. Kamu harus tutup mulut sampai masalah ini diurus bagian terkait. Kamu tidak boleh katakan pada siapa pun termasuk suami kamu. Mengerti!"
"Mengerti kep!" Niken mengangguk. Bulu roma Niken merinding, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benar- benar mengerikan.
*****
Dian mengamuk menerima surat panggilan dari pesantren Alvin. Saking emosinya Dian sampai meremas surat panggilan.
"Ayah, Ibu," panggil Dian mencari sosok kedua orang tuanya.
"Ada apa neng?" Asti menghentikan aktivitas memasak karena Dian memanggilnya.
"Anak itu benar-benar banyak ulah," gerutu Dian dengan wajah gelap.
"Anak mana?"
"Alvin."
"Kenapa dengan Alvin?"
"Kita dapat surat dari pesantren. Mereka meminta kedua orang tua dan aku datang ke pesantren. Ada hal yang ingin dibicarakan pemilik pesantren pada kita. Pasti anak itu telah membuat keributan sehingga kita dipanggil untuk datang."
"Masa sich neng? Selama ini Alvin enggak pernah nakal dan malah berprestasi."
"Ini buktinya buk. Pasti anak itu sudah buat masalah." Dian memperlihatkan surat panggilan yang telah ia remas.
Asti membacanya dengan seksama. Ia membaca bait demi bait yang tertulis disana
"Jika Alvin membuat keributan pasti ada alasannya. JIka dia berbuat nakal itu karena andil kamu!" Asti menatap Dian tak bersahabat.
"Kenapa salah aku Ibu?"
"Sikap kamu telah mempengaruhi psikologis dia. Dia masih remaja dan gampang tersulut emosinya. Sikap tak bersahabat kamu telah menorehkan luka dihatinya Dian. Kamulah bertanggung jawab jika Alvin berbuat nakal. Ibu enggak habis pikir sama kamu."
"Aku tidak akan ikut ke pesantren."
"Kamu harus ikut karena disini tertulis kamu harus ikut. Jika kamu tak ikut anggap saja Ibu telah mati!"
Dian menggigit lidah tak bisa membantah ucapan Asti. Mau tidak mau Dian harus ikut ke pesantren menyelesaikan masalah Alvin.