Jodoh Tak Pernah Salah

Part 214 ~ Menuju Pesantren



Part 214 ~ Menuju Pesantren

Fatih merasa lega setelah mengirimkan pesan pada Naima. Harapannya setelah membalas pesan Naima, gadis itu akan menerima lamaran dari para anak Kyai yang tengah melamarnya. Fatih tidak ingin memberikan harapan pada gadis yang menyukainya. Lima belas menit kemudian ada pesan masuk untuknya.     

Naima : Tidak adakah kesempatan untukku Fatih?     

Fatih pun mengetik balasan untuk Naima.     

Fatih : Aku tidak mau kamu terluka Naima. Aku lemah dengan diriku dan juga hatiku.     

Naima : Ingatkah kamu dengan quote buya Hamka? Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.     

Fatih : Ya aku tahu, tapi saat ini aku belum bisa dan maaf untuk semuanya.     

Naima : Tidak ada yang perlu di maafkan Fatih. Aku yang terlalu berharap. Aku hilangkan rasa maluku untuk menyatakan perasaanku padamu tapi semuanya sia-sia. Aku seakan mendapatkan karma telah menolak laki-laki yang telah melamarku. Begini rasanya jika cinta tak terbalas.     

Fatih : Maafkan aku Naima. Maafkan aku yang tidak tahu diri menolak wanita sebaik, sehebat dan semenawan kamu.     

Setelah mengirimkan pesan itu tak ada lagi balasan dari Naima. Pasti gadis itu sakit hati dan menangis terisak-isak karena cintanya di tolak Fatih. Selama ini Naima menolak laki-laki yang melamar pada Abinya karena ia menyukai Fatih dan memimpikan laki-laki itu siang dan malam.     

Fatih menyeka keringatnya. Ia mandi dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke Bandung sehabis sholat Isya. Seperti biasa Fatih menjadi imam sholat berjamaah. Suaranya merdu dan sangat fasih melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Fatih pernah di tawari produser untuk mengisi acara di televisi namun ia menolaknya karena tidak mau terikat dan tak bisa mengerjakan yang lain. Jika di undang untuk sesekali ia setuju, tapi tidak untuk kontrak ekslusif.     

Sehabis sholat isya mengangkat koper dan memasukkannya dalam bagasi mobil. Rudi pun membawa koper dan memasukkannya ke dalam bagasi. Fatih memakai sweater agar tidak kedinginan dalam perjalanan. Bandung dingin cuy! Walau Fatih dibilang ustad oleh teman-teman dan kalangannya dia sangat terawat dan sangat modis. Gayanya bak selebram sehingga banyak wanita yang menggilainya. Fatih pun rapi hanya memanjangkan sedikit janggutnya.     

Dalam mobil Fatih lebih banyak diam. Dia bahkan tak meladeni Rudi yang mengajaknya bicara.     

"Lama-lama aku udah kayak sopir online ini," gerutu Rudi melirik Fatih yang sibuk melamun.     

"Apa?" Fatih menoleh pada Rudi.     

"Hmmmmm. Jaka sembung bawa golok. Enggak nyambung...hmmmmm," ucap Rudi tak mau melanjutkan perkataannya.     

"Maaf Rudi aku banyak melamun."     

"Apa yang kamu lamunkan?"     

"Banyak Rud."     

"Jangan bilang masalah Dila lagi," tebak Rudi.     

"Bukan."     

"Jika bukan Dila lantas apa?"     

"Aku merasa bersalah pada Naima."     

"Why?" Rudi tiba-tiba mengerem mendadak karena ada kucing yang lewat di depannya. "Nyaris kita sial."     

"Syukurlah kamu tidak nabrak. Jika tidak enak badan sini aku yang menyetir," balas Fatih menawarkan diri."     

"Tidak…Aku tidak mau. Kamu aja melamun dari tadi. Bisa kecelakaan kita jika kamu yang bawa mobil."     

"Omongan itu doa Rud."     

"Astagfirullah." Rudi menampar bibirnya sendiri. "Kenapa dengan Naima?"     

"Aku menolaknya Rud dan dia sepertinya marah padaku."     

"Kenapa kamu tidak terima cintanya saja, kalian taaruf lalu nikah."     

"Tidak segampang itu Rud."     

"Lantas?"     

"Aku tidak mau menyakitinya. Aku belum bisa move on dari Dila."     

"Dila lagi Dila lagi. Dila aja udah move on terima takdir. Dia aja udah hamil anak dari suaminya. Kamu sendiri yang bilang jika melihat Dila bermesraan dengan suaminya. Fatih patah hati boleh tapi enggak boleh berlarut-larut."     

"Aku tahu. Aku tidak berdaya mengendalikan perasaanku Rud."     

Rudi menepuk-nepuk pundak Fatih memberikan semangat dan dukungan.     

"Pak ustad kudu semangat. Gimana mau kasih terapi psikologi sama anak-anak pesantren jika ustad tak bisa terapi hati sendiri?" Kata Rudi menyindir Fatih telak.     

Tenggorakan Fatih terasa pahit dan tercekat. Kata-kata tajam Rudi telah menghujam jantungnya.     

"Kadang kita ngajarin orang belum tentu kita lebih baik dari pada orang yang kita ajar," jawab Fatih pelan.     

"Nah itu tahu. Malu sama tittle Fatih."     

Fatih terdiam tak dapat menjawab kata-kata menohok. Rudi sahabat yang paling dekat dengannya. Semenjak mereka kuliah di Cairo dan sekarang sudah menyelesaikan pendidikan mereka selalu kompak dan tak terpisahkan.     

*****     

Dian mengajak keluarga besarnya makan malam di sebuah restoran. Dian membooking restoran dan hanya keluarga mereka yang makan disana. Dian ingin privasi. Dian marah besar karena Alvin tanpa sengaja menjatuhkan minuman dan mengenai pahanya     

"Kamu punya mata Alvin," ucap Dian garang tak bisa mengendalikan emosinya.     

"Maaf teteh," ucap Alvin terbata-bata. Dia hampir menangis karena perlakuan sang kakak yang tidak adil.     

"Kamu punya mata bukan? Jika jalan itu lihat bukan merem. Harusnya kamu tinggal aja di rumah tidak usah ikut kami makan malam bersama."     

"Teteh udah! Masalah kecil jangan dibesar-besarkan," kata Dona melerai sembari memeluk Alvin yang ketakutan. Rahman dan Asti sedang tak ada di tempat. Mereka ada di ruangan lain menemui anak buah mereka membahas gaji karyawan.     

Alvin menggigil ketakutan mendapatkan amukan dari sang kakak. Bukan tanpa sebab Alvin menjatuhkan minuman. Kakinya tanpa sengaja terganjal kaki Dian.     

"Kamu jangan bela dia Dona. Teteh harus marahin dia biar tahu diri."     

"Cukup teteh. Kali ini aku tidak akan membiarkan teteh memarahi dan mukul Alvin."     

"Udah berani melawan sama teteh?" emosi Dian meledak-ledak karena Dona melawannya.     

"Kami tahu diri kok teh jika kamu dibiayai sama teteh, tapi teteh enggak boleh semena-mena juga. Teteh udah semena-mena sama Alvin. Dari kecil teteh selalu jahat sama dia. Kali ini aku enggak bisa diam. Alvin udah jadi anak yang baik. Selama ini nurut dan enggak pernah membantah teteh. Jika Alvin mau nakal udah dari dulu dia nakal, tapi dia enggak mau."     

"Dona kamu….." Dian menunjuk Dona tak senang ucapannya dibantah.     

"Teteh harus intropeksi diri. Apa layak anak kecil diperlakukan seperti itu. Teteh dari kecil menjauhkan dia dari keluarga. Sesekali dia pulang teteh malah jahat sama dia."     

Plakkkkk!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Dona. Dian akan memukul Dona tapi dicegah Dean.     

Dean memeluk Dian hingga tak bisa bergerak. Dean tahu jika adu jotos dengan Dian tak akan menang karena Dian ilmu bela dirinya sudah tinggi dan terlatih. Dean belum apa-apanya disbanding Dean.     

"Ada apa ini?" Tanya Asti dan Rahman ketika masuk ke dalam.     

Alvin berlari ke arah Asti dan memeluknya, "Ibu. Alvin mau pulang ke pesantren. Alvin udah bikin teteh Dian marah. Alvin enggak sengaja jatuhin air minum dan kena teh Dian. Karena bela Alvin teteh Dona ditampar sama teteh Dian. Hikssss. Alvin nakal Ibu. Alvin mau pulang..Hikssss."     

Asti membelai puncak kepala Alvin, "Jangan nangis nak."     

Asti menatap Dian dengan tatapan marah dan emosi.     

Plakkkkk!!! Asti menampar Dian dua kali.     

"Berapa kali Ibu bilang jangan jadikan Alvin sasaran kemarahan kamu. Dia tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk dari kamu. Kamu udah merusan mental Alvin. Sadar Dian….nyebut sampai kapan kamu akan kayak gini terus?"     

Suasana menjadi tegang dan Alvin menangis keras karena ia membuat keluarganya ribut. Setiap dia pulang ke rumah dan ada Dian akan terjadi keributan seperti ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.