Part 211 ~ Jangan Panggil Aku Kakak
Part 211 ~ Jangan Panggil Aku Kakak
Dian mematahkan tangan dan kakinya bahkan nyaris membunuhnya jika Jimmy tak datang tepat waktu. Dian meminta bantuan Jimmy untuk melacak keberadaan si brengsek di Indonesia. Masih teringat jelas di ingatan Dian. Si brengsek itu bebas dari jeratan hukum dan malah mengorbankan anak buahnya untuk dijadikan tersangka penculikan dan pemerkosaan. Koneksi yang kuat dan uang membuat si brengsek bebas dari tuntutan.
Dia berhasil memanipulasi keadaaan sehingga ia dinyatakan tidak bersalah. Dian bahkan masih ingat dia tak merasa bersalah ketika mereka bertemu di pengadilan. Si brengsek hanya jadi saksi.
Saat persidangan Dian menggigil ketakutan menatapnya. Dia bak orang gila dan selalu ketakutan setiap si brengsek menatapnya.
"Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskan dia. Aku harus membalaskan dendamku padanya. Aku bahkan tidak bisa tidur nyenyak sejak malam itu. Bayangan pemerkosaan itu masih teringat jelas dalam ingatanku. Aku Dian Saraswati akan membunuhnya sebelum aku mati. Kau telah menghantuiku selama lima belas tahun ini." Dian bicara sendiri di saung sembari menatap pemandangan sawah yang telah menghijau.
Dian mengungsikan keluarga di sebuah desa sejuk nan asri di kabupaten Bandung. Semenjak si brengsek kembali ke Indonesia, dia waspada tingkat satu untuk mengamankan keluarganya.
"Neng, kamu disini," panggil Asti, Ibu Dian.
Dian menoleh sembari tersenyum manis. Sudah lama dia tidak berkumpul dengan keluarganya. Waktu dua minggu ini dimanfaatkannyan me time dengan keluarga. Sembari me time dengan keluarga, Dian juga mencari tahu tentang si brengsek. Kali ini Dian yang memohon bantuan pada Jimmy untuk menyelidikinya.
Semenjak Jimmy melihat bakatnya di sekolah inteligen dan Dian ditawari untuk jadi anggota BIN mereka semakin dekat. Berulang kali Dian menolak namun Jimmy tak pernah putus asa mengajaknya bergabung.
"Ibu cari Dian?"
"Sudah makan siang. Kenapa masih duduk disini?" Asti ikutan duduk di sebelah Dian.
"Seru disini Ibu. Tenang dan tentram apalagi sawah sedang menghijau. Pemandangan yang sangat indah."
"Syukurlah kamu senang. Lain kali kamu harus sering tengok kami disini. Minimal dua kali sebulan neng. Adik-adik kamu merindukan kamu. Dean, Dona dan Alvin merindukan kamu."
"Adikku cuma Dean dan Dona." Dian mendadak emosi ketika mendengar nama Alvin.
"Kamu enggak boleh gitu neng. Bagaimana pun Alvin juga adik kamu. Tidak boleh kamu bersikap seperti itu. Membedakan perlakuan pada Dean, Dona dan Alvin. Ibu sering melihat dia menangis sendirian ketika kamu cuekin dia. Apalagi kamu masukin dia ke pesantren sementara Dean dan Dona tinggal sama kami disini."
"Biarkan saja Ibu. Aku sekolahkan dia di pesantren agar kelakuannya baik dan akhlaknya juga bagus."
"Ibu setuju dengan pendapatmu neng cuma….."
"Cuma apa Ibu?"
"Kamu juga berikan kasih sayang dan perhatian neng seperti ke Dean dan Dona. Alvin cuma butuh itu neng enggak lebih. Selama ini dia sudah jadi anak yang baik dan penurut. Kenapa neng enggak kasihan liat anak sekecil itu dijudesin. Alvin pernah tanya sama Ibu. Dia anak pungut apa anak kandung karena teteh Dian sangat benci sama dia."
"Terus Ibu jawab apa?"
"Ibu bilang bukan. Alvin anak kandung Ibu dan Ayah."
"Harusnya Ibu bilang aja dia anak pungut biar tahu diri dan tidak tanya-tanya lagi kenapa aku enggak suka sama dia."
"Neng jangan kejam seperti itu. Ibu lupa tanya sama kamu."
"Tanya apa Ibu?"
"Sampai kapan kami tinggal disini? Dean dan Dona kejauhan jika pergi kuliah."
"Sampai semuanya aman Ibu. Si brengsek itu sudah ada di Indonesia. Aku takut dia menyakiti kalian."
"Bagaimana jika Dean dan Dona ngontrak dekat kampus biar enggak pusing bolak balik?" Asti memberikan usul.
"Tidak Ibu. Jangan!"
"Kenapa?"
"Aku tidak mau dia menggunakan Dean dan Dona untuk mengancam aku. Kita tidak tahu maksud dia kembali kesini. Dia orang gila dan bisa berbuat nekat."
"Atau dia tahu sesuatu neng?" Asti mendadak pucat dan tangannya gemetar.
"Tidak mungkin Ibu. Jika dia tahu mungkin sudah dari dulu dia datang. Ayah dimana Ibu?"
"Ayah menjemput Alvin di pesantren."
"Kenapa harus menjemput dia?"
"Ini jatah liburnya Alvin neng. Biasanya jika dia dapat jatah libur ya pulang ke rumah. Masa kamu lupa."
"Ada aku disini. Kenapa dia harus dijemput? Aku malas melihatnya."
"Jangan gitu sama adik sendiri neng."
"Biarkan saja Ibu."
"Ibu dimana Ibu?" Terdengar suara seorang bocah laki-laki tampan mencari Asti. Dian tahu persis suara siapa itu. Dian memutar matanya malas.
"Teteh Dian." Alvin kegirangan memeluk Dian.
"Kamu main peluk aja. Apa kamu udah mandi? Main peluk aja. Badan kamu bau tauuu." Dian memasang wajah jutek.
"Tadi Alvin udah mandi teteh sebelum pulang."
"Lain kali kamu jangan peluk-peluk aku. Jangan panggil aku teteh." Mata Dian membulat menyiratkan kebencian pada Alvin.
"Neng enggak boleh ngomong gitu sama adik kamu. Dia baru datang udah kamu jutekin."
"Biarin Ibu."
"Ibu kamar Alvin dimana? Alvin mau mandi biar enggak dibilang teteh Dian bau," ucapnya merajuk. Wajah tampan Alvin beruraian air mata. Dia sedih selalu dikucilkan dan dibedakan si kakak sulung. Jika bicara dengan Dean dan Dona, Dian bersikap sangat manis dan penyayang. Jika padanya Dian bersikap ketus dan cuek.
"Sini nak Ibu tunjukkan," kata Asti penuh kasih sayang. Dia membawa si anak bungsu menuju ke kamar. "Jangan sedih ya dek. Teteh Dian emang jutek dan pemarah."
"Neng berapa kali ayah bilang," ucap Rahman kecewa setelah Asti dan Alvin menghilang. Wajahnya menyiratkan kesedihan.
"Ayah…."
"Neng dengerin ayah kali ini. Jangan bedakan sikap neng sama adik-adik. Kasihan dia selalu neng nomor duakan. Dia udah jadi anak yang baik dan patuh sama kamu. Bahkan dia pasrah aja ketika SD kamu udah sekolahkan dia di pesantren. Dia jarang lo berinteraksi dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Sesekali dia pulang tolong bersikap ramah sama dia. Ayah enggak habis pikir sama kamu. Ya udah jika kamu kayak gitu terus sama Alvin enggak usah sapa Ayah mulai dari sekarang."
"Tapi ayah….."
"Tidak ada tapi-tapi. Sikap kamu sudah keterlaluan dan ayah tidak suka dengan sikapmu kali ini. Alvin tidak pernah meminta apa-apa sama kamu seperti Dean dan Dona tapi kamu masih saja ketus dan jutek padanya. Alvin tahu diri jika tetehnya tidak menyayanginya.
"Ayah tahu alasan aku kenapa membenci dia."
"Dia tidak pernah minta dilahirkan Dian."
Skakmat! Dian menelan ludah tak bisa membalas perkataan Rahman.