Part 199 ~ Kekaguman Fatih
Part 199 ~ Kekaguman Fatih
"Apa?" Dian meringis sembari tertawa. Dia terkena jebakan batman. Susah ternyata kibulin orang pintar macam Fatih.
"Dila pergi duluan dan bos nyusul. Maklumlah bos orang sibuk apalagi sejak menjabat sebagai ketua DPRD. Dila mau ketemu sama teman masa kecilnya dulu namanya Mira." Dian berkelit. Itulah kelebihan Dian bisa memanipulasi sesuatu dengan cepat. Otak yang cerdas bisa berpikir cepat membalas jebakan Fatih.
"Oohhhh gitu ya. Makanya aku heran kenapa Dila pergi sendiri enggak sama suaminya."
"Jika boleh tahu kak berapa lama tinggal di Mesir?" Dian mengalihkan pembicaraan. Kenapa mereka malah membahas Bara dan Dila kayak enggak ada bahan pembicaraan lain.
"Sudah lebih dari satu dekade."
"Lama juga ya. Bagaimana rasanya tinggal di Cairo?"
"Menyenangkan walau panasnya sangat terik."
"Berarti lulusan S3 Al-Azhar berarti satu almamater dengan ustad Adi Hidayat dan ustad Abdul Somad?"
"Jangan disamakan aku dengan beliau. Aku tak pantas disandingkan dengan beliau. Beliau sudah tinggi ilmunya denganku. Aku hanya fakir ilmu."
"Wow merendah sekali kak. Apakah kakak merendah untuk meroket?"
"Ya ampun Dian kenapa kamu berterus terang sekali. Kamu ternyata hampir sama dengan om Defri. Ceplas-ceplos kalo bicara."
"Ya kebanyakan orang begitu kak. Bukannya apa-apa. Jaman sekarang banyak orang memakai topeng agama tapi orangnya busuk."
"Dian apa kamu menyindirku?"
"Kalo merasa saja kak. Aku hanya ingin bercerita sedikit. Sejak aku ikut bos ke dewan, aku banyak menemui kepalsuan demi kepalsuan disana. Mereka memakai tameng agama untuk menarik perhatian masyarakat. Katanya sholeh tapi doyan sama wanita."
"Kamu sedang bercerita apa? Masalah perpolitikkan di Padang?"
"Sedikit berkeluh kesah." Dian tersenyum kecut.
Terjadi keributan di rumah sakit. Seorang pasien dari bangsal kejiwaan mengamuk dan lepas dari bangsal. Si pasien dan perawat berkejar- kejaran. Si pasien tidak mau dibawa oleh para perawat yang berjumlah tiga orang. Si pasien masuk ke dalam kafe. Melihat seorang nenek-nenek ia mencengkram si nenek. Lengannya mengapit leher si nenek. Terjadilah aksi penyanderaan disana. Si pasien memegang garpu dan siap ditancapkan pada si nenek. Pengunjung kafe berteriak histeris melihat aksi nekat si pasien. Beberapa pengunjung kabur melarikan diri karena ketakutan.
Nenek menggigil dan gemetar melihat aksi si pasien. Kuku jari si nenek memutih karena ketakutan.
"Lepaskan aku, aku mohon," pinta si nenek dengan bibir gemetar.
"Tidak akan. Nenek akan lepas jika aku berhasil kabur dari sini," katanya berteriak.
"Aku tidak gila. Aku tidak mau disini. Mereka mengurungku. Mereka mengatakan aku gila padahal aku tidak gila. Mereka jahat."
Si pasien mengalami gangguan mental semenjak kematian anak dan istrinya. Mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan tunggal. Si pasien tak melihat jalan berlubang ketika berkendara. Alhasil mobil mereka oleng dan masuk jurang. Si pasien selamat namun anak dan istrinya meninggal. Si pasien berhalusinasi bahwa istri dan anaknya masih hidup. Dia sering bicara sendiri. Keluarga membawanya terapi untuk memulihkan mentalnya.
Para perawat mendekati si pasien namun ia berteriak, "Sekali lagi kalian mendekat aku akan tusuk mata nenek ini."
Nenek ketakutan menutup matanya. Ia tak mau jika garpu yang dipegang si pasien ditusukkan pada matanya.
"Pak tenang ya Pak. Ayuk kita kembali ke kamar," bujuk salah satu perawat.
"Apa yang terjadi ini?" Fatih melirik Dian.
"Entahlah. Jika dilihat dari pakaiannya dan kelakuannya dia pasien bangsal kejiwaan," balas Dian.
"Benar mbak," celetuk pelayan kafe.
"Apa yang benar?" Dian menoleh pada pelayan kafe.
"Bapak itu memang sering kumat. Dia pasien dari bangsal jiwa. Dia depresi karena anak dan istrinya meninggal karena kecelakaan. Aduh kasian sama si nenek. Kok bisa disandera. Ngeri saya mbak. Saya udah sering dengar cerita tentang si Bapak itu. Dia sering ngamuk dan mukulin perawat sampai babak belur. Paling apes dia nusuk seorang perawat."
"Apa?" Mata Fatih membelalak. Jika si pasien pernah menusuk perawat berarti dia bakal tusuk mata si nenek pakai garpu. Fatih tak mau jika itu terjadi.
"Kita harus lakukan sesuatu. Lihat nenek itu aku jadi teringat sama nenek di Solok."
"Jangan kak. Biar aku saja yang melakukannya." Dian mencegah Fatih.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Fatih seolah meremehkan Dian.
"Lihat saja," kata Dian sembari mencepol rambut dan mengikatnya. Efek abis makan ia jadi keringatan.
Fatih malah menjadi khawatir jika Dian mendekati si pasien. Apa yang akan dilakukan Dian?
"Jangan meremehkan aku kak." Dian menebak isi pikiran Fatih.
Dian mendekati si pasien dengan gagah berani. Orang-orang di sekitar sana berteriak histeris melihat keberanian Dian. Ketiga perawat hanya melongo. Jarak Dian dengan si pasien hanya satu meter.
"Lepaskan nenek itu," kata Dian dengan suara berat.
"Pergi jika tidak aku tusuk nenek ini," balasnya histeris.
Dian semakin mendekat dan si pasien makin mundur. Dalam satu gerakan cepat Dian melompat dan menotok si pasien. Seketika si pasien melepaskan nenek yang disanderanya. Efek totokan Dian, tubuh si pasein kaku tak bisa digerakan.
"Tunggu apalagi? Cepat bawa dia," kata Dian melirik ketiga perawat.
Para perawat dan orang yang ada di sekitar sana kagum melihat aksi Dian. Mereka seperti melihat wonder women. Ini Gal Gadot versi Indonesia kata mereka.
Para perawat memakaikan baju khusus pada si pasien. Setelah pakaian khusus itu terpakai Dian segera melepaskan totokannya.
"Lain kali hati-hati menangani pasien seperti ini. Jika tidak dia bisa membunuh orang-orang disekitarnya," kata Dian mengingatkan. Si pasien langsung ngamuk tapi karena memakai baju khusus dia jadi tak bisa bergerak leluasa.
"Iya mbak. Terima kasih atas bantuannya."
Setelah insiden itu berlalu. Dian kembali duduk dekat Fatih. Ia melenturkan saraf-sarafnya yang menegang.
"Wow luar biasa. Badas," kata Fatih bertepuk tangan.
"Biasa aja kak."
"Sejak kapan kamu mempelajari ilmu totok seperti itu?"
"Sudah lama kak. Jadi sekretaris Bara tidak mudah kak. Aku harus bisa membela diri."
"Tidak mudah bagaimana?"
"Saingan bisnis bos luar biasa. Mereka kadang berbuat kriminal berebut tender dengan bos. Aku sering mewakili bos melakukan presentase. Aku bahkan jadi bahan pelecehan para rekan bisnis bos. Makanya aku harus bisa jaga diri. Sebenarnya aku itu enggak mirip sekretaris malah cenderung kayak bodyguardnya dia."
"Kok gitu?"
"Dunia bisnis itu kejam kak. Mereka akan menggunakan segala cara. Aku sebagai tangan kanan bos harus serba bisa. Kami dulu pernah hampir dibunuh sama lawan bisnis bos. Mereka bayar orang buat membunuh kami. Ada empat orang waktu itu. Jika bos sendiri yang menghadapi mereka tentu akan kalah. Makanya aku harus bisa juga bela diri. Ilmu totok yang aku miliki bisa melumpuhkan lawan tanpa aku harus mengeluarkan tenaga. Percaya nggak jika aku bisa karate, kempo dan silek harimau?"
"Percaya setelah melihat yang tadi. Siapa yang menyuruh kamu berlatih dengan keras?"
"Aku sendiri. Aku tak mau jadi wanita lemah. Karena kelemahanku makanya lima belas tahun yang lalu aku mengalami peristiwa buruk," kata Dian meremas gelas seolah-olah akan memecahkannya. Entah kenapa setelah mengatakannya mata Dian berkaca-kaca. Ia masih dendam dengan pelaku pemerkosaannya.
"Maksudnya apa Dian?"
Dian tersenyum pada Fatih, "Lupakan saja kak jika aku pernah mengatakannya."