3. KONDISI BARA
3. KONDISI BARA
"Biarkan saja. Jangan diambil hati omongan pria gila itu. Gue malah khawatir sama lo Zi. Gue yakin jika dia akan berusaha menyakiti lo lagi."
"Lo khawatir sama gue?" Tanya Zico bahagia. Pria itu seperti mendapatkan pelepas dahaga.
"Gue khawatir aja dia akan mengulangi perbuatannya."
"Tidak akan lagi Dian. Gue janji."
"Jangan sakit lagi demi Alvin. Dia bakal sedih banget kalo lo sakit. Lo enggak tahu apa yang telah kami lewati selama tiga bulan lo koma. Alvin membenci gue dan enggak mau bicara sama gue. Dia bahkan menyalahkan gue kenapa punya rencana menghabisi lo walau pada akhirnya G yang melakukan eksekusi. Gue juga enggak nyangka Alvin tahu rencana gue bayar sniper buat bunuh lo. Anak itu terlalu pintar. Dia malah meminta bantuan Jimmy untuk menggagalkan gue bunuh lo. Lo salah sama gue, gue pun juga salah telah membalas dendam. Sepertinya kita sudah impas karena sama-sama menderita."
"Begitu." Zico manggut-manggut. Ada kekecewaan di wajahnya karena Dian tak mau ia terluka karena Alvin. Andai Dian mengkhawatirkannya bukan karena Alvin mungkin Zico akan sangat bahagia.
"Kita sama-sama melupakan masa lalu Zi. Kita harus berdamai demi Alvin. Prioritas utama dalam hidup gue adalah Alvin. Gue akan melakukan apa pun agar dia bahagia."
"Kalo lo ingin buat dia bahagia kenapa kita tidak menikah saja?" Ucap Zico keceplosan.
"Maksud lo apa?" Dian malah kaget mendengar pengakuan Zico.
Zico jadi salting. Pria itu menyugar rambutnya untuk menghilangkan rasa gugup yang tengah menderanya.
"Selama ini bukannya Alvin menginginkan kita menikah. Gitu maksud gue. Gue tahu diri kok. Mana mungkin kita menikah."
"Kenapa kita tak mungkin kita menikah?" Dian menodong Zico.
"Karena gue pernah dilukai G. Gue takut enggak bisa melakukan kewajiban sebagai suami," balas Zico melantur. Ia tak sengaja mengakui kekurangannya.
Dian malah tertohok dan mukanya memerah mendengar jawaban Zico. Ia jadi malu sendiri. Dian ingat jika alat vital Zico dilukai G. Pasangan yang sudah menikah pasti melakukan hubungan suami istri. Mungkin Zico takut tak bisa melayani istrinya di atas ranjang.
"Lo udah pernah periksa sebelumnya?" Tanya Dian hati-hati takut melukai Zico.
"Sudah."
"Lalu apa hasilnya?"
"Katanya tidak apa-apa cuma....."
"Cuma apa?" Dian malah semakin penasaran dengan jawaban Zico.
"Sudahlah lupakan. Tidak pantas kita bicarakan itu Dian."
"Kenapa?"
"Kita bukan suami istri. Tidak etis jika kita membicarakannya. Itu terlalu vulgar untuk dibahas."
"Noted. Maaf sudah menyinggung lo Zi."
"Tidak apa-apa Dian. Cuma kita harus menjaga batasan . Hal-hal sensitif seperti itu tidak pantas kita bicarakan." Zico membelokkan mobil lalu masuk ke dalam parkiran rumah sakit. Mereka ingin memastikan kondisi Bara.
Zico dan Dian turun dari mobil. Mereka naik lift menuju ruang perawatan Bara. Meski Bara sudah sadar dari koma, dia masih perlu menjalani perawatan di rumah sakit. Dokter Andrew ingin melihat apakah efek samping yang dirasakan Bara pasca bangun dari tidur panjangnya.
Ketika mereka membuka pintu terlihat Bara sedang diterapi oleh dokter Andrew.
"Selamat malam dokter," sapa Dian ramah pada dokter Andrew.
"Selamat malam juga Dian, Pak Zico," balas dokter Andrew tak kalah marah.
"Cepat sekali kalian pulang. Sudah selesai pesta Tuan Zhang?" Herman bertanya.
"Belum Pak. Cuma kami sudah bosan," jawab Dian sekenanya.
"Apa kamu sudah sampaikan salamku pada Tuan Zhang?"
"Sudah Pak. Beliau kirim salam balik. Beliau tak sabar untuk berbincang dengan Bara."
"Siapa Tuan Zhang?" Bara tiba-tiba bertanya ketika terapi sedang berlangsung.
"Beliau salah satu investor di perusahaan kita bos."
"Oh… Begitu. Maaf aku tidak mengingatnya."
"Tidak apa-apa bos. Perlahan-lahan."
Dokter Andrew menyelesaikan terapinya. Dokter itu tersenyum puas melihat kemajuan Bara.
Bara bisa mengingat pengetahuan umum. Ia hanya lupa dengan keluarga dan peristiwa yang menyebabkannya koma.
"Jika kondisi Bara semakin baik dalam satu minggu ini, Bara sudah boleh pulang."
"Syukurlah dokter." Herman mengusap wajahnya.
"Jangan paksa Bara untuk mengingat masa lalunya. Dia akan mengingatnya perlahan-lahan."
"Apa perlu terbentur dinding dokter biar memorinya kembali?" Tanya Dian bercanda.
"Kamu pikir ini sinetron Dian?" Jawab Zico tersenyum.
"Mungkin Dian terlalu banyak menonton sinetron," balas Herman ikut memojokkan Dian.
"Baiklah saya kembali dulu." Dokter Andrew pamit undur diri.
"Terima kasih dokter," ucap mereka serentak.
Dian dan Zico duduk di sofa bersama Herman.
"Kalian darimana?" Tanya Bara menyelidik.
"Kami dari pesta Tuan Zhang. Masa tanya lagi bos? Tadi udah dibahas," ucap Dian memainkan rambutnya.
"Maaf aku lupa." Bara tergelak tawa.
"Pa," panggil Bara pada Herman.
"Ada apa?"
"Mama mana?"
"Kamu tidak ingat Bar?" Herman bangkit lalu duduk di samping ranjang Bara.
Bara menggeleng, "Tidak pa."
"Kamu ingat mama tapi kenapa kamu enggak ingat papa Bar?"
"Maafkan aku pa."
"Mungkin bos terlalu menyayangi Ibu Ranti Pak makanya hanya ingat sama Ibu."
"Bisa jadi." Herman setuju dengan pendapat Dian.
"Kenapa mama tidak ada disini?" Tanya Bara sekali lagi.
"Bar, mama kamu sudah meninggal," ucap Herman dengan perasaan tercabik. Ia terlalu mencintai Ranti hingga belum bisa move on sampai sekarang.
Tangis Bara pecah ketika tahu bahwa mamanya meninggal.
"Kenapa aku tidak ingat jika mama telah meninggal." Bara tergugu. Bulir bening mengalir dari kedua matanya.
Dian dan Zico ikut terharu melihat kondisi Bara. Nasibnya sangat malang. Ketika sudah straight, ia dan Dila saling mencintai, keluarga Dila tidak menyetujui pernikahan mereka karena tahu masa lalu Bara. Dila bahkan meninggalkannya demi keluarga. Ketika akan mencari Dila seseorang menembak kepalanya. Bara koma hingga tiga bulan. Ketika sembuh ia malah hilang ingatan.
"Jangan dipaksa Bar. Kamu akan ingat semuanya seiring berjalannya waktu." Herman memberikan pengertian.
"Kenapa aku bisa seperti ini pa?" Bara memegangi kepalanya yang sakit.
"Kamu akan tahu dengan sendirinya Bar. Sekarang kita fokus penyembuhan kamu saja dulu. Setelah semuanya membaik kita akan bicarakan semuanya."
"Pak," panggil Dian dengan nada getir.
"Tenanglah Dian. Aku tahu apa yang harus aku lakukan," ucap Herman mengerti maksud Dian.
"Aku akan memberikan yang terbaik untuk anakku," lanjutnya lagi.
"Pa. Kenapa mama meninggal?"
"Mama meninggal karena serangan jantung. Kamu pasti enggak ingat jika mama punya penyakit jantung."
"Maafkan aku pa, jika lupa semuanya. Maafkan aku jika tidak mengingat papa."
"Tidak apa-apa nak. Semuanya akan kembali sebagaimana mestinya."
"Bapak mau pulang ke rumah apa menginap disini?" Tanya Dian menatap Herman.
"Aku akan menginap disini menemani Bara. Kalian pulanglah."
"Baiklah Pak. Kami pulang," ucap Dian berpamitan.