Jodoh Tak Pernah Salah

Part 247 ~ Ranti Meninggal



Part 247 ~ Ranti Meninggal

Ranti mengucapkan dua kalimat syahadat setelah itu ia pergi menghadap Sang Maha Kuasa. Ranti telah pergi meninggalkan dunia ini dengan tenang.     

"Mama." Teriak mereka histeris.     

"Dokter." Teriak Bara histeris. Ia bak orang gila melihat sang mama telah menutup mata.     

Dila berlari dari kamar menuju ruangan perawat memberi tahu kondisi Ranti. Dila, dokter dan perawat datang dengan cepat. Dokter dan perawat kelihatan panik. Dokter memeriksa keadaan Ranti. Dokter tak bisa mendeteksi detak jantung Ranti. Jantungnya sudah tak berdetak.     

"Dengan sangat menyesal saya harus mengatakan jika Ibu Ranti telah meninggal dunia. Jam kematian 07:17 WIB," kata Dokter melihat jam tangannya. Dokter kelihatan bersedih karena tidak bisa menyelamatkan pasiennya. Ranti setiap kontrol dengan sang dokter. Ia turut berduka cita atas berpulangnya Ranti.     

"Tidak." Pertahanan Bara roboh. Ia terduduk di lantai. Bara menangis bak seorang gadis. Dia menopang dagunya di kaki. Tangannya gemetar tak percaya jika Ranti telah meninggal dunia. D     

"Urus semua administrasinya!" Titah dokter pada perawat.     

"Baik dokter."     

Dila ikutan menangis tak kuasa melihat duka di mata sang suami. Ia memeluk Bara dan menenangkannya.     

"Yang ikhlas sayang. Biarkan mama pergi dengan tenang."     

"Ini terlalu cepat Dil." Bara bicara dengan bibir gemetar. Dunianya runtuh mendapati kenyataan jika Ranti telah meninggal dan dia penyebabnya. "Semua gara-gara aku Dil."     

"Ini bukan salah kamu. Ini takdir."     

"Mama memintaku bertaubat dan jangan menyimpang lagi. Kasian kamu katanya. Berarti Egi datang ke rumah dan mengatakan segalanya pada mama. Ini maksud dari balas dendam Egi." Bara bicara terbata-bata.     

"Nanti kita pikirkan soal Egi. Sekarang kita urus pemakaman mama dulu.     

Ponsel Bara bordering. Panggilan dari Dian. Bara akan mengangkatnya namun tangan Dila lebih cepat untuk mengambil ponsel sang suami. Ia mengangkat panggilan dari Dian.     

"Bos. Egi sudah tak ada di Padang. Sepertinya Clara menyelamatkannya. Mereka pulang tadi malam dengan pesawat terakhir."     

"Dian." Panggil Dila berusaha untuk tegar.     

"Dila." Dian kaget karena Dila yang mengangkat telepon Bara.     

"Mama Ranti telah meninggal."     

"Apa? Ibuk meninggal?" Dian tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya. Teleponnya terlepas dari tangannya sehingga panggilannya terputus.     

******     

Karangan bunga ucapan berduka cita berjejeran di depan rumah Bara. Saking banyaknya karangan bunga sampai berjejeran di jalanan. Ranti salah satu sosialita yang memiliki banyak teman, Herman seorang pengusaha kaya yang sangat disegani dan Bara ketua DPRD Sumbar. Tentu teman dan sanak familynya sangat banyak.     

Mayat Ranti telah sampai di rumah duka. Mendung menyelimuti hati Bara dan Herman. Mereka masih tak percaya dan terpukul dengan kematian Ranti yang sangat mendadak. Mereka berdua belum bisa ditemui para tamu. Pikiran mereka belum ada di tubuh mereka. Tatapan keduanya kosong dan tak tahu harus berbuat apa. Bara dan Herman duduk disamping mayat Ranti seraya membacakan Surat Yasin. Bara membacanya seraya menangis.     

"Bara tidak boleh meratapi kepergian mama kamu. Nanti beliau akan kesulitan di alam barunya." Defri mengingatkan menantunya.     

Bara berusaha menghentikan tangisnya. Ia berhenti mengaji. Hatinya belum kuat dan masih terluka. Bara menyalahkan dirinya. Ranti meninggal dunia karena mengetahui penyimpangannya di masa lalu.     

"Ayah kenapa mama pergi secepat ini?" Bara menangis dalam pelukan Defri. Air mata Bara bahkan hampir habis karena kebanyakan menangis. Ia sangat kehilangan sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya. Ibunya, panutannya, sahabat telah pergi. Jika ia rindu tak akan bisa lagi bermanja-manja dan memeluknya. Bara akan merindukan masakan, tawa dan kemarahan Ranti.     

"Sabar nak." Defri menepuk-nepuk pundak Bara. "Setiap yang bernyawa akan berpulang. Setiap milik Tuhan akan kembali pada Tuhan."     

"Bro pemakaman tante sudah siap." Iqbal memberitahu Bara. Ia mengurus semua keperluan pemakaman Ranti. Bara anak tunggal jadi tak punya saudara. Kondisi Herman dan Bara yang shock tak memungkinkan mengurus pemakaman Ranti. Iqbal berinisiatif mengurus semuanya. Dila bertugas menerima para tamu. Gubernur dan istrinya datang membesuk. Bara belum bisa ditemui dan diajak bicara, makanya Dila yang menerima gubernur.     

Dila mendekati Bara dan berbisik, "Sayang ada Pak gubernur dan Ibu. Ayo bersalaman dengan mereka sebagai tanda penghormatan.     

Dila membantu Bara bangkit menemui Gubernur Sumbar.     

"Terima kasih telah datang Pak." Bara bersalaman dengan gubernur.     

"Kami sekeluarga turut berduka cita Pak. Semoga beliau husnul khotimah, diampuni segala dosa dan diterima amal ibadahnya." Pak Gubernur menepuk bahu Bara memberikan dukungan moril.     

"Terima kasih Pak."     

"Yang sabar Pak." Istri gubernur turut memberikan dukungan buat Bara.     

"Terima kasih Bu."     

Dian, Asti, Rahman dan Alvin sibuk mengurus keperluan di depan. Mengetahui mantan majikannya meninggal Asti dan Rahman memutuskan pulang ke Padang. Mereka membawa Alvin karena libur semester. Alvin masih merindukan Dian dan tak ingin menghabiskan waktu dengan sang ibu.     

Keluarga besar sibuk memandikan mayat Ranti. Wajah itu bersih tanpa dosa dan meninggal dalam keadaan tenang. Dila, Dian, Asti, Lusi dan Naura ikut memandikan jenazah Ranti. Mereka masih tak menyangka jika Ranti akan meninggal secara mendadak, padahal Ranti dalam keadaan sehat walafiat. Jika Tuhan telah berkehendak maka semuanya dapat terjadi.     

Setelah prosesi pemandian jenazah berlanjut ke proses mengafani. Jenazah Ranti telah siap di kafani. Setelah disholatkan jenazah dibawa ke tempat peristirahatan terakhir. Bara dan Herman turun ke liang lahat. Mereka berdua saling menguatkan agar mereka tabah menerima cobaan yang datang. Ranti telah menghadap Sang Maha Kuasa. Mereka tak akan bertemu dengannya lagi. Jika mereka rindu dengan Ranti hanya makamnya tempat melepaskan rindu.     

Setelah pemakaman selesai para pelayat pun pulang. Langkah Dian terhenti ketika melihat si bajingan ayah biologis Alvin. Si bajingan itu sedang menelpon di depan mobilnya. Sepertinya ia juga pergi melayat. Alvin pun melihat apa yang Dian lihat. Remaja empat belas tahun itu pun tak kalah kaget. Ia melihat laki-laki yang sangat mirip dengannya bahkan bisa dibilang mereka kembaran.     

"Mami, dia sangat mirip denganku. Apa dia yang memperkosa mami?" Alvin tahu jika ia lahir karena Dian korban pemerkosaan. Dian telah menceritakan semuanya kenapa sikapnya buruk pada sang anak. Alvin pun sudah cukup dewasa mengerti semuanya. Fatihlah yang membuatnya sadar dan memahami kondisi psikis Dian.     

Tangan Dian gemetar dan memeluk Alvin dengan erat. Takut jika si bajingan itu datang mengambil Alvin dari tangannya.     

"Mami jangan takut. Aku akan melindungi mami dari dia." Mata Alvin menyorot si bajingan dengan tajam.     

Ketika si bajingan pergi dengan mobilnya Dian baru sadar. Dia mengejar si bajingan. Laki-laki itu harus mendapatkan balasan atas perbuatannya.     

"Brengsek jangan pergi kau." Dian berteriak lantang, berusaha mengejar laki-laki itu.     

"Mami hentikan!" Alvin mencegah Dian.     

"Jangan mi. Bukan sekarang waktunya. Mari kita pulang. Kakek dan om Bara butuh kita." Alvin mengingatkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.