22. BERTEMU NAURA
22. BERTEMU NAURA
"Mami nakal sih. Makanya hamil mulu tiap tahun." Zico mencandai istrinya.
"Maksud papi?" Dian berkacak pinggang. "Yang hamilin mami siapa? Papi bukan?"
"Mami nakal sih." Zico tergelak tawa.
"Gimana enggak papi hamilin jika mami tidurnya enggak pake celana."
"Papi." Dian pura-pura marah. Malu mendengar candaan vulgar dari suaminya.
"Bercanda mami. Papi yang nakal suka lepasin celana mami." Zico mengacungkan jarinya membentuk huruf V. Pria itu lalu menyalakan mesin mobil lalu mengantarkannya ke kantor. Bara kemungkinan sudah sampai di kantor.
Zico mengerem mendadak mobilnya ketika melihat sosok Naura melintas. Dengan setelan dokternya wanita itu menyeberang jalan.
"Mami itu Naura," teriak Zico menunjuk Naura.
Dian menoleh ke arah tunjuk Zico. Matanya membola ketika melihat Naura. Tanpa aba-aba Dian membuka pintu mobil. Dengan tertatih-tatih mengejar Naura.
"Uni Naura," pekik Dian ngos-ngosan memegangi perut buncitnya.
"Dian." Mata Naura membulat melihat Dian di depan matanya. Pandangan Naura fokus ke perut Dian yang membuncit.
"Iya ini aku." Dian berjalan mendekati Naura dan memeluknya. Sudah tiga tahun lebih mereka tidak bertemu dan komunikasi. Dian seperti mendapatkan harta karun bisa bertemu Naura di Jakarta.
"Bagaimana kabar uni?" Tanya Dian ketika mereka duduk di sebuah kafe.
Dian dan Naura satu meja sementara Zico duduk di meja lain. Pria itu memberikan kesempatan mereka berdua bicara sesama perempuan.
"Dian, kamu dan Pak Zico sejak kapan menikah?" Naura malah balik bertanya. Naura masih memanggil Zico dengan embel-embel 'Pak' karena Zico mantan bosnya.
"Tiga tahun yang lalu uni. Mau undang uni tapi kita sudah lost kontak," balas Dian dengan mata berkaca-kaca.
"Ini sudah berapa bulan kandungannya?"
"Mau jalan enam uni. Ini anak keempat kami."
"Anak keempat kalian?" Naura kaget sekaligus takjub.
"Secepat itu udah empat aja. Tiap tahun kamu hamil dong?" Naura malah tertawa.
"Produktif sekali," lanjut Naura menutup mulut.
"Anak kedua kami namanya Alana. Umurnya tiga tahun. Anak ketiga kami keguguran ketika usia kehamilan aku empat bulan. Ini anak keempat kami," ucap Dian mengelus perutnya.
"Lancar sampai lahiran ya Dian."
"Makasih doanya uni. Kemana saja uni selama ini? Uni resign dari Harapan Indah. Dila menghilang dan uni pun menghilang."
"Apa Dila menghilang?" Naura shock setengah mati.
"Jangan bilang uni tidak tahu dimana keberadaan Dila?" Dian yang balik shock.
"Uni mana tidak tahu dimana Dila. Bukannnya dia kabur bersama Bara?"
"Apa?" Zico ikutan bersuara. Pria itu bangkit dan duduk di sebelah Dian. Sepertinya telah terjadi kesalahpahaman.
"Sepertinya ada yang harus kita luruskan disini." Zico buka suara.
"Naura bisa cerita kenapa kamu menghilang dan pindah dari Padang?"
"Aku dan Ria meninggalkan Iqbal. Kami kabur membawa anak-anak. Iqbal sudah melewati batasnya ikut campur rumah tangga Dila dan Bara. Aku menasehati Iqbal namun pria itu tidak terima dan malah menamparku. Selama kami berumah tangga belum pernah dia melayangkan tangannya padaku. Hingga hari itu dia melakukannya. Laki-laki jika sudah main tangan tak bisa dipertahakankan lagi. Sekali main tangan makanya dia akan melakukannya lagi di lain waktu. Aku meminta cerai dari Iqbal. Ria, istri kedua Iqbal juga menggugat cerai. Meski pria itu berulang kali memohon namun aku sudah terlalu sakit hati. Iqbal malah menggunakan anak-anak agar kami tetap menjadi istrinya. Akhirnya aku dan Ria sepakat membawa anak-anak kabur ke Jakarta sampai sidang perceraian kami selesai."
"Uni dan Ria tinggal di Jakarta?" Dian mengorek keterangan lebih dalam.
"Iya. Kami tinggal di Jakarta. Awalnya kami tinggal bersama membesarkan anak-anak, tapi semenjak Ria menikah kami pun pisah rumah. Kami masih tinggal di komplek yang sama. Anak-anak tidak mau berpisah. Attar, Aina dan Allea tidak mau dipisahkan. Kadang mereka bertiga tinggal di rumahku, kadang di rumah Ria bersama suami barunya. Sekarang giliran kalian yang bercerita. Bagaiman Dila dan Bara?"
"Dila meninggalkan Bara dan meninggalkan surat. Dila menuliskan surat jika dia pergi meninggalkan Bara demi keluarganya."
"Dila sangat mencintai Bara. Tidak mungkin dia mau meninggalkan Bara begitu saja. Pasti Dila sudah diintimidasi atau dibawah ancaman Iqbal maupun ayah Defri." Naura mengemukan pikirannya.
"Sepemikiran kita uni. Tidak mungkin Dila meninggalkan Bara."
"Bagaimana kabar Bara?"
"Bara hilang ingatan karena dia ditembak lawan politiknya ketika mencari Dila." Zico angkat bicara lalu menyeruput minumannya.
"Apa?" Mulut Naura menganga lalu ia menutup dengan kedua tangannya. Naura masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Gara-gara kejadian penembakan itu Bara koma selama tiga bulan. Bangun dari koma malah hilang ingatan. Dia tak ingat dengan keluarga dan temannya. Saat bangun ia hanya ingat dengan mamanya." Dian melanjutkan cerita suaminya.
"Aku kira mereka sudah bahagia. Yang aku tahu Dila dan Bara kabur setelah aku dan bunda membantu Dila kabur."
"Tidak seperti itu uni. Ceritanya tidak sesuai dengan pikiran uni. Sampai sekarang kami tidak menemukan Dila."
"Lalu dimana Dila sekarang?" Naura balik bertanya.
Dian angkat bahu. Bumil itu merasa kecewa. Berharap pertemuannya dengan Naura akan membuka titik terang dimana keberadaan Dila. Apa yang ia harapkan tidak sesuai.
"Bagaimana kabar Bara?"
"Dia baik-baik saja."
"Apa dia sudah menikah lagi?" Tanya Naura penasaran.
"Meski dia hilang ingatan dia masih mencintai Dila. Sampai sekarang dia belum menikah."
"Kasian mereka dipisahkan." Naura memegang kepalanya yang tiba-tiba sakit.
"Kerja dimana sekarang Naura?" Zico bertanya menatap Naura.
"Aku kerja di salah satu rumah sakit swasta dekat sini."
"Bagaimana jika kamu kerja di rumah sakit milikku?" Zico menawarkan pekerjaan pada Naura. "Tentu saja kamu akan memiliki jabatan di rumah sakit bukan hanya dokter biasa."
"Akan aku pertimbangkan Pak."
"Uni boleh minta nomor ponsel?" Dian memegang smartphone siap untuk mencatat nomor Naura.
Naura menyebutkan nomor ponselnya. Dian menyimpan nomor Naura dan melakukan missed call.
"Uni simpan nomor kamu ya."
"Baik uni." Dian menyimpan smartphone dalam tas. "Uni bagaimana kabar bunda Lusi?"
"Aku tidak tahu kabar bunda. Semenjak kami bercerai dengan Iqbal sudah lost kontak. Kami bukan bagian dari keluarga itu lagi."
Setelah puas berbincang-bincang Dian dan Zico mengantarkan Naura pulang. Setidaknya mereka tahu Naura tinggal dimana. Ada sedikit kelegaan di hati Dian bertemu dengan Naura, setidaknya mereka bisa saling memberi informasi keberadaan Dila.
Smartphone Dian berdering keras. Bumil itu tertawa lucu melihat nama Bara tertulis di layar. Dian menggeser tombol hijau di layar untuk menerima panggilan Bara.
"Dian kamu ada dimana? Kenapa belum sampai kantor?" Pekik Bara memekakkan telinga Dian.