Jodoh Tak Pernah Salah

Part 292~ Keputusan Zico



Part 292~ Keputusan Zico

Zico menelan ludah mendengar kata-kata Alvin. Wajar saja Alvin membencinya karena dia telah menghancurkan hidup Dian.     

Jika peristiwa itu menimpa Siska pasti Zico akan menghabisi laki-laki yang telah memperkosa adiknya. Zico beruntung setelah kejadian naas itu, orang tua Zico mengirimnya ke luar negeri. Hanya anak buahnya yang ditangkap waktu itu. Mereka disuruh mengaku melakukan pemerkosaan dengan imbalan jaminan hidup untuk keluarga para anak buahnya.     

"Om maaf aku harus balik dulu," ucap Alvin mengangkat piring kotornya sehabis makan.     

Tak lama setelah itu Alvin berbalik dan menoleh pada Zico.     

"Om terima kasih telah memberikan wakaf untuk pesantren. Semoga rejeki om bertambah banyak dan selalu sehat. Jangan lupa bahagia." Alvin mengedipkan mata.     

Zico tersenyum haru dan ingin menangis. Pria itu menahan tangisnya agar Alvin tak melihatnya.     

"Insya Allah om akan rutin kasih wakaf sama pesantren ini." Zico mengulas senyum.     

"Semoga Allah merahmati om."     

Zico mengucapkan selamat tinggal untuk Alvin. Pertama kali bertemu dengan anaknya membuat hati Zico tersentuh. Ia ingin memeluk dan membelai rambut Alvin. Keinginan Zico untuk memiliki hubungan yang normal dengan Alvin kian besar. Zico ingin Alvin tahu siapa dia. Walaupun hanya ada kebencian di hati anaknya namun Zico akan terus berusaha mendekati Alvin.     

Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu itu Zico menyesali perbuatannya. Satu hal yang ia sadari. Dia mendapatkan kutukan dari Dian. Dia dihantui rasa bersalah dan tak pernah bahagia. Apa pun kebaikan tak pernah dianggap orang. Nama Zico sudah dikenal buruk oleh orang-orang.     

Pernikahannya tidak bahagia dan hanya ada pertengkaran. Mereka bahkan tak dikaruniai anak padahal mereka sudah sepuluh tahun menikah. Mereka saling menyalahkan, menganggap pasangannya yang mandul. Zico harus menjilat ludahnya sendiri. Mantan istrinya malah langsung hamil setelah menikah lagi.     

Zico banyak intropeksi. Mungkin ini hukuman dari Tuhan atas kejahatannya di masa lalu. Hubungan ayah dan anak tidak bisa putus. Zico ingin memperbaiki hubungannya dengan Dian dan Alvin.     

Zico dan Lona berpamitan pada Kyai dan Nyai Saleh. Mereka berjanji setiap bulan akan memberikan wakaf pada pesantren. Kyai dan Nyai Saleh menyambut baik niat mereka.     

Ketika sampai dalam mobil Zico membuka penyamarannya. Melepaskan kacamata hitam dan brewok. Lona tersenyum melihat Zico. Putranya merasa lebih baik setelah bertemu dengan Alvin.     

"Setelah bertemu dengan Alvin apakah kamu akan diam saja dan tak berani menunjukkan diri pada anakmu?"     

Zico memijit pelipisnya. Bingung apa yang akan dilakukan.     

"Aku tidak tahu mami."     

"Jangan sampai tidak tahu Zico. Seburuk apa pun hubungan kamu dan Dian di masa lalu kalian harus memperbaikinya. Kamu harus meminta maaf pada Dian dan Bara. Mungkin keluarga kita kena kutuk makanya kita tak bahagia. Siska tiba-tiba sakit dan rahimnya di angkat. Kamu tidak punya padahal kalian sudah lama menikah."     

"Aku tahu mami. Jangan terus mengajariku." Zico frustasi, meninggikan intonasi bicaranya.     

Lona terkejut dan shock atas sikap putranya. Wajahnya mendadak pucat dan tak berdarah.     

"Kamu membentak mami Zi?" Lona berlinang air mata.     

"Maaf." Zico sadar telah bersikap kasar pada ibunya.     

"Bukankah kami sudah bisa mengontrol emosi Zi?"     

"Maaf mami aku tidak tahu."     

"Kami perlu terapi lagi."     

"Aku akan lakukan mami."     

"Maaf mami selalu mendesak kamu."     

"Sudahlah mami. Lupakan."     

"Zi. Sebelum meninggal mami ingin bermain dengan Alvin dan dia tahu bahwa mami adalah neneknya. Mami menyayangi dia Zi."     

"Jangan bilang seperti itu mami. Orang tuaku hanya mami sekarang. Tidak ada lagi tempat aku berkeluh-kesah. Walau pun kita sering tak akur namun percayalah jika aku sangat menyayangi mami." Zico tiba-tiba melankolis.     

Lona menyentuh pipi Zico. "Bagaimana pun caranya Alvin harus tahu jika kita keluarganya. Hubungan darah tidak akan pernah putus Zi."     

"Aku tahu mami."     

"Temui Dian bagaimana pun caranya." Lona menggenggam tangan kanan Zico.     

"Semua orang pernah berbuat kesalahan di masa lalu Zi. Perlihatkan pada dia jika kamu bukan Zico yang dulu. Bukan laki-laki kejam dan bengis. Semua orang bisa berubah Zi. Lebih baik menjadi mantan pemerkosa daripada mantan orang baik. Percayalah nak dengan pendekatan yang baik Dian akan memaafkan kamu."     

"Apa semudah itu mi?"     

"Mami tahu tidak akan mudah Zi, tapi kamu harus berusaha dan tak boleh menyerah. Jika suatu hari kalian bisa membangun sebuah keluarga lebih baik."     

"Keluarga?" Zico memutar matanya malas.     

"Ya." Lona mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Entah kenapa keinginan memiliki cucu sangat besar sehingga ia sangat bernafsu dekat dengan Alvin.     

"Mami jangan ngaco." Zico tersenyum mencibir.     

"Kita tidak pernah tahu jalan takdir Zi. Susunlah rencana mulai dari sekarang. Langkah apa yang akan kamu lakukan. Mami harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik. Kalian sudah sama-sama dewasa. Apa perlu mami datang pada Dian dan bersujud di kakinya?"     

Zico menggelengkan kepala, "Tidak perlu mami. Biarkan aku yang menyelesaikan masalah ini. Akulah yang harus bertanggungjawab atas semua kejadian ini."     

"Mami terlibat Zi. Mami melindungi kamu sehingga kamu tidak terjerat hukum."     

"Aku bahkan rela di penjara mami asal Dian dan Alvin memaafkan aku. Nanti malam aku akan kembali ke Padang. Rumah sakit Harapan akan ganti nama. Aku akan melaunchingnya dan akan mengundang pemerintah setempat. Saat ini Bara menjadi ketua DPRD. Dimana ada Bara selalu ada Dian. Aku akan bertemu dengan mereka saat launching rumah sakit."     

"Mami akan datang saat launching. Mami ingin bertemu dengan Dian. Mami juga berdosa padanya. Mami sangat jahat karena menutup mata melihat penderitaannya. Dia masuk rumah sakit jiwa dan menjerit setiap malam karena teringat pemerkosaan itu."     

"Kesalahanku sangat besar mami. Aku pesimis jika mereka berdua akan memaafkanku."     

"Jangan berpikir seperti itu Zi. Kadang apa yang kita pikirkan itulah yang terjadi. Jadi kamu harus berpikir mereka akan memaafkan kamu."     

Smartphone Zico berdering. Ia mengambilnya dari saku celana.     

Egi Calling...     

Pria itu segera mengangkatnya.     

:telephone_receiver: "Hai bro. Apa kabar?" Sapa Zico ramah menyembunyikan kepedihannya.     

:telephone_receiver: "Baik bro. Lo apa kabar?"     

:telephone_receiver: "Gue juga baik. Ada apa lo nelpon gue?"     

:telephone_receiver: "Lo jadi pakai jasa kantor gue untuk kasih training service excellent buat karyawan rumah sakit lo yang di Padang?"     

:telephone_receiver:"Aduh gue sampai lupa." Zico menepuk kepalanya.     

"Gue kebetulan ada di Jakarta. Bagaimana jika kita meeting membahas kontraknya?"     

:telephone_receiver: "Ide bagus. Semakin cepat semakin baik.     

:telephone_receiver: "Kita ketemu di kantor gua aja bro."     

:telephone_receiver: "Boleh."     

:telephone_receiver: "Ok. Nanti gue kasih alamatnya via wa aja."     

:telephone_receiver: "Baiklah. Kalo boleh tahu kenapa lo tergesa-gesa gitu?"     

:telephone_receiver: "Gue mau terapi bro. Makanya gue mau selesaikan kerjaan sebelum menjalani terapi. Gue ambil cuti."     

:telephone_receiver:"Terapi apa yang lo lakukan?" Zico memicingkan mata.     

:telephone_receiver: "Hipnoterapi bro. Gue mau straight."     

:telephone_receiver: "Syukurlah kalo begitu.Gue bahagia mendengarnya."     

:telephone_receiver: "Ya udah. Sampai ketemu nanti bro."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.