Swords Of Resistance: Endless War

Bab 50, Menyelamatkan Tuan Puteri



Bab 50, Menyelamatkan Tuan Puteri

Menghilangnya Alexandrine serta Charla yang menjadi korban penusukan di The Passage Mall, membuat heboh publik Berlin dan Amsterdam. Raja Wilhelm Nicolaas yang mengetahui peristiwa tersebut segera menghubungi secara pribadi Kanselir Leopold, dan menyampaikan permintaan maafnya.     

"Terima kasih atas permintaan maafmu, aku menerimanya, dan jangan khawatir, mengingat Anakku baik-baik saja." Kanselir Leopold mengirimkan sebuah pesan suara untuk membalas permintaan maaf Raja Wilhelm Nicolaas, setelah dirinya merasa bahwa emosinya telah membaik.     

.     

.     

Kepolisian Hollande tengah bergerak untuk mencari keberadaan Alexandrine van den Bosch. Mereka melakukan operasi besar-besaran yang turut melibatkan Militer.     

Evelien terlihat tengah bersepeda mengelilingi Kota Poortogaal. Sejauh dia mengayuh sepedanya, dan sejauh mata memandang. Dia melihat banyak Polisi dan Tentara di mana-mana. Sementara itu, Marijke tengah melayani para pembeli yang mengunjungi Toko Pakaian yang mereka kelola.     

"Ada apa yah, kok hari ini aku melihat banyak Tentara dan Polisi di mana-mana? Apakah kita tengah bersiap untuk berperang melawan Albion?" kata Marijke.     

"Apakah kamu tidak tahu berita kemarin? Di mana terjadi sebuah penculikan serta penusukan yang menimpa Puteri Charla, Anak pertama dari Kanselir Leopold," jawab salah seorang Anak Remaja yang tengah mengunjungi Toko Pakaian yang mereka kelola.     

"Aku tahu, hanya saja menurutku ini terlalu berlebihan," balas Marijke dengan nada dingin. Ekspresi wajahnya terlihat kesal, "Sebenarnya apa sih yang dipikirkan oleh Raja Wilhelm Nicolaas. Kenapa sampai harus mengerahkan Tentara juga. Dia pikir Albion mau menyerang kita apa!"     

"Apa jangan-jangan kau Pelakunya," celetuk Remaja Perempuan tersebut.     

Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh salah satu pembelinya membuat Marijke kaget. Marijke segera mencubit kedua pipi Remaja Perempuan itu, "Enak saja kau ini. Buat apa aku melakukan hal gila seperti itu. Mana mungkin aku berbuat kriminal." Marijke berusaha mengontrol emosinya, dengan mencubit wajah Remaja Perempuan tersebut. Orang-orang tertawa melihat kelakuan konyol Marijke. Dalam hatinya, Marijke merasa puas akan respon Orang-orang, sehingga mereka tidak curiga bahwa Marijke dan Evelien adalah tersangka peculikan serta penusukan terhadap Charla.     

"Aku hanya bercanda," kata Remaja Perempuan berambut pirang kecokelatan yang bernama Rachela van der Watt. Evelien datang di Toko yang mereka kelola sambil membawa banyak barang belanjaan seperti sayuran, ikan dan daging.     

"Kalian berdua seperti Tom and Jerry saja yang selalu ribut," ujar Evelien berjalan memasuki Tokonya sambil membawa barang belanjaan.     

"Wow, yang habis banyak belanja," celetuk Rachela.     

"Iya, dong," kata Evelien dengan nada dan ekspresi centilnya. Dia berjalan memasuki rumahnya.     

.     

.     

Charla dan Simone tengah bersantai di lantai atas dari sebuah bangunan yang terletak di komplek Konsulat Jenderal Prussia di Den Haag. Pasca penusukan itu, mereka berdua diamankan dan dilarang pergi hingga tersangka penusukan ditemukan. Walaupun Charla sangat kesal, namun dia hanya pasrah dan tidak bisa membantah perintah langsung dari kedua Orang Tua-nya, Stadtholder Nikolaus dan Puteri Juliana.     

"Aku tak menyangka hanya demi diriku, Pemerintah Hollande sampai mengerahkan Polisi dan Tentara dengan kekuatan yang cukup besar," kata Charla dengan ekspresi wajah yang kesal sambil memperhatikan beberapa Polisi dan Tentara yang terlihat di beberapa titik di sekitar Kota Den Haag.     

"Sepertinya mereka tidak ingin bernasib seperti Serbia yang diserbu oleh Austria-Hungaria hingga terjadilah Perang Dunia Pertama," balas Simone. "Menurutku ini lebih baik daripada Prussia harus turun tangan."     

"Ayah bersikap santai, begitupula dengan Pangeran Nikolaus. Mereka mengapresiasi kinerja Pemerintah Hollande yang cepat dan tanggap atas keselamatan Warga Asing yang ada di Negaranya," kata Charla. "Hanya masalah waktu tersangka akan tertangkap." Charla memasang wajah datar, sementara Simone menatap Anak Tirinya dengan penuh keheranan. "Orang Tua sialan! Kenapa aku merasa seperti ada di penjara!" teriak Charla.     

Simone memegang pundak Anak Tirinya untuk menangkan emosinya, "Sabarlah, Anakku. Ini semua demi kebaikan kita."     

"Sabar, apanya!" bentak Charla. "Aku merasa terpenjara jika di sini saja. Padahal aku juga ingin sekali menghajar wajah para pengecut itu!"     

"Sudahlah, Charla. Jangan buat situasi menjadi semakin rumit. Banyak Polisi dan Tentara di mana-mana, dan jangan asal bergerak agar kau tidak dicurigai," kata Simone menenangkan emosi Anak Tirinya. Walaupun dia sempat dibentak Charla, namun dia berusaha untuk mendinginkan emosi Charla. "Untuk sementara, inilah yang terbaik."     

Charla menghela nafasnya, "Baiklah, aku harap ini memang yang terbaik." Charla lalu memeluk Ibu Tiri-nya, "Maafkan aku, Mom, jika barusan aku membentakmu."     

Simone membalas pelukan Charla dan mengusap punggungnya, "Kau harus belajar sabar, Sayang."     

.     

.     

Alexandrine berada di sebuah kamar yang berada di sebuah ruangan bawah tanah. Setiap harinya, kedua pasangan lesbian itu memperkosanya, baik itu secara bergiliran maupun secara bersamaan. Kondisi psikologisnya benar-benar telah hancur, dan kondisinya mulai kacau. Dia hanya berbaring di atas kasurnya sambil berharap bahwa ada yang akan menyelamatkannya.     

Walaupun kemarin Rachela hanya mengucapkan sebuah candaan, namun entah kenapa Rachela van der Watt dihantui sebuah rasa penasaran yang begitu besar, dan curiga akan sebuah rahasia yang ditutupi oleh Marijke. Perempuan berambut panjang lurus berwarna pirang kecokelatan itu selalu menatap ke arah Toko Pakaian yang ada di depan rumahnya sambil merakit sebuah robot berukuran kecil berbentuk kecoa. Robot kecoa itu dilengkapi dengan sebuah kamera. Sifat iseng Rachela membuatnya harus melepaskan robot tersebut, dan robot tersebut segera memasuki rumah pasangan lesbian tersebut. Tanpa disadari oleh banyak Orang yang tengah berkunjung, robot kecoa itu bergerak dengan cepat dan gesit menelusuri rumah yang berukuran cukup besar.     

"Rumah mereka cukup besar, untuk seorang pasangan lesbian," kata Rachela memperhatikan isi rumah dari layar laptopnya. "Ada banyak pakaian yang masih belum di-pack. Marijke van Dorth memang Anak Orang kaya, walaupun dia adalah seorang lesbian."     

Robot kecoa itu memasuki sebuah ruangan, di mana ada tangga yang turun, dan menuruni tangga tersebut. "Ada tangga yang menurun. Apakah ini ruangan bawah tanah. Padahal rumah mereka cukup besar. Kenapa harus ada ruangan bawah tanah segala?"     

Kecoa itu bergerak menelusuri setiap ruangan yang berada di bawah tanah. Rachela dengan serius memperhatikan setiap isi dari ruangan yang berada di bawah tanah tersebut. Hingga akhirnya robot kecoa itu memasuki sebuah ruangan paling ujung, di mana ada seorang Perempuan berambut pirang pendek bergelombang yang telanjang bulat.     

Rachela terlihat begitu kaget, mengingat Perempuan itu memiliki wajah yang mirip dengan 'Alexandrine van den Bosch' yang telah tiga hari menghilang. Rachela merekam video tersebut dan menyimpannya. Dia menggerakkan robot kecoa itu menuju bawah sebuah kasur.     

"Dengan begini aku bisa menyelamatkannya, dan tanpa diketahui oleh dua perempuan lesbi sialan itu." Rachela segera mengirimkan sebuah video tentang kondisi Alexandrine yang tengah disandera oleh kedua pasangan lesbian tersebut. Dia juga melampirkan alamat rumah tersangka yang terletak di Jalan Kaasmaker No. 13 Kota Poortugaal.     

Kolonel Pieter van den Bosch menerima sebuah pesan anonimous dari seseorang yang mengetahui posisi Anaknya. Dia turut bersyukur mengetahui bahwa Anaknya masih hidup, walaupun dia sangat marah akan kondisi yang terjadi pada Anaknya. Walaupun dia mengatahuinya, namun dia ingin melakukan sebuah Operasi penyelamatan yang sangat rahasia, sehingga terlihat tidak mencurigakan dan tidak diketahui oleh para tersangka.     

Kolonel Pieter van den Bosch memasuki komplek Konsulat Jenderal Prussia di Den Haag. Dia datang untuk menemui Kakak Tirinya, Simone yang tengah berada di sana.     

"Ada sebuah kabar gembira dan kabar bagus. Namun aku ingin kau ikut denganku. Kau akan tahu jika sudah ada di sana," kata Kolonel Pieter kepada Kakak Tirinya.     

Simone tahu akan kalimat yang diucapkan oleh Adik Tirinya yang berpangkat Kolonel. Dia turut senang mendengar kabar bagus tersebut. Simone berbisik kepada Charla, "Alexandrine telah ditemukan. Kau di sini saja, biarkan kami yang menyelamatkannya. Kalau kau ikut serta, musuh bisa kabur."     

Ekspresi Charla terlihat sangat senang dan bahagia mendengarnya. Dia tersenyum lebar dan memberikan sebuah Katana miliknya kepada Ibu Tirinya (Simone), "Semoga berhasil, Mom dan Kolonel Pieter."     

Simone dan Kolonel Piter terlihat senang mendengarnya. Mereka berdua segera bergegas menuju ke Kota Poortugaal yang terletak di selatan Kota Den Haag. Dalam perjalanan, Kolonel Pieter telah memerintahkan Tentaranya yang tengah menyamar untuk mendatangi Toko Pakaian Kaasmaker 13.     

Di dalam Mobil Porsche berwarna hitam itu, Simone dan Adik Tiri-nya tengah berbincang terkait apa yang akan terjadi ke depannya.     

"Mengajak Charla terlalu mencolok!" kata Kolonel Pieter dengan nada tegas. "Selain itu, sebagai seorang Wizard, kau memiliki kemampuan untuk membekukan aliran waktu. Kemampuanmu itu sangat tinggi jika dibandingkan dengan mainan jam pasir yang mereka gunakan. Dengan kemampuanmu itu, kita akan segera menangkap tersangka dan membebaskan Anakku. Aku yakin dan optimis operasi ini berjalan sukses 100%."     

"Aku juga sama," balas Simone. "Bagaimanapun juga aku sangat khawatir akan keselamatan Puterimu. Semoga dia baik-baik saja dan selalu dalam lindungan-Nya."     

.     

.     

Seorang Perempuan berambut pirang bergelombang berwarna pirang kemerahan dengan mengenakan kaos polo berwarna abu-abu kebiruan dan celana jeans pendek datang menghampiri Toko Pakaian Kaasmaker 13.     

Dia memauski Toko tersebut, di mana Evelien tengah menyapu Tokonya.     

"Sis, boleh lihat-lihat dulu tidak. Kebetulan aku mau membeli sebuah kaos untuk Saudaraku di Rotterdam," kata Margriet ter Hogt.     

"Silahkan, Sis," kata Evelien.     

"Kalau kaos warna jingga dengan tulisan tahanan KPK harganya berapa yah?" tanya Margreit sambil memegang sebuah kaos berwarna jingga dengan tulisan tahanan KPK.     

"11.000 triliun," jawab Evelien ngasal.     

Margriet tertawa mendengar jawabannya yang kocak. Evelien juga turut tertawa, "Harusnya sih kaos itu harganya miliaran rupiah, sesuai dengan kerugian Indonesia akibat korupsi bansos yang dilakukan oleh Juliari KNTL. Tapi untukmu, harganya sebelas gulden saja."     

Margriet menyerahkan uang nilai sebelas gulden dan dia segera mencengkram tangan Evelien lalu membanting tubuhnya. Dia memuntir tangan kanan Evelien dan mematahkan pundaknya.     

"Aku diserang, Marijke!"     

Marijke terdengar begitu kejut saat mendengar teriakan Evelien disaat dia sedang menikmati bermain gunting dengan Alexandrine. Marijke segera berlari meninggalkan ruangan bawah tanah tanpa lupa mengkuncinya. Melihat kesempatan tersebut, Alexandrine segera mengkit dan berlari mengejar Marijke. Dia melompat ke arah Marijke dan menindih tubuhnya. Kedua Perempuan itu bertarung dengan sengit di lorong ruangan bawah tanah.     

"Lepaskan aku, jalang!" teriak Marijke sambil memukul-mukul kepala Alexandrine. Dia mengupulkan seluruh kekuatannya dan menghempaskan tubuh Alexandrine sehingga terlempar dan menghantam tembok. Alexandrine jatuh tak sadarkan diri akibat berhantaman dengan tembok.     

Suara tembakan terdengar sebanyak empat kali dari arah atas. Marijke segera berlari menuju ke tempat Evelien. Evelien berteriak kesakitan ketika kedua tangan dan kedua kakinya ditembak oleh Margriet. Margriet mengarahkan Pistolnya ke arah pintu. Dia telah dalam posisi bersiap untuk menembak Marijke. Tubuh Margriet terhempas secara tiba-tiba dan terpental keluar dari Toko Pakaian Kaasmaker 13. Dari arah Toko Pakaian tersebut, seorang Perempuan berambut pirang kecokelatan dengan model rambut bob yang bertelanjang bulat tengah berjalan. Tatapan matanya dipenuhi dengan amarah dan kebencian. Dia menarik tubuh Margriet dengan kekuatan magnetnya dan mencekik lehernya.     

"Mati-" Kata tersebut terhenti dari mulut Marijke. Aliran waktu telah berhenti ketika Simone tiba dilokasi dan langsung mengaktifkan kemampuannya yang mampu menghentikan aliran waktu. Simone dan Kolonel Pieter yang ada di seberang jalan segera berjalan menuju ke lokasi.     

Simone menarik Katana-nya dan menebas kedua tangan Marijke.     

"Normal," ujar Simone, dan aliran waktu kembali berputar seperti sediakala.     

Marijke berteriak dengan suara yang keras dan menggeliat di tanah menahan rasa sakit yang luar biasa. Dia terlihat sangat kaget bahwa tangannya telah dipotong oleh Simone. Sementara Margriet tengah terbatuk-batuk akibat habis dicekik oleh Marijke. Dia berdiri dan berjalan menghampiri Marijke yang tengah menggeliat di tanah dan menembak kedua tempurung lututnya.     

"Alexandrine ada di ruangan bawah tanah, Kolonel," kata Margriet.     

Kolonel Pieter segera berlari ke ruangan bawah tanah. Di ujung ruangan tersebut, dia segera menghampiri Alexandrine yang tergeletak di ujung ruangan bawah tanah. Dia segera memberikan air putih kepada Puterinya.     

"Ayah," kata Alexandrine dengan suara lemah.     

"Maafkan Ayah yang baru datang untuk menyelamatkanmu," kata Kolonel Pieter dengan berlinang air mata.     

Kolonel Pieter segera menggendong Anak-nya dan berjalan menuju ke atas.     

Para Tentara dan Polisi berdatangan di lokasi tersebut. Mereka segera melilit tubuh Marijke dan Evelien dengan rantai dalam satu ikatan, dan membawanya masuk ke dalam Truk Militer. Sementara Alexandrine dengan ditemani oleh Ayahnya segera memasuki Mobil Ambulans lalu dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan.     

"Siapapun yang berhasil menemukan lokasi ini adalah Pahlawan. Walaupun dia mengirimkan lokasi ini dengan identitas anonim," kata Simone.     

Rachel yang tengah duduk di ruangannya sambil meminum kopi dan membaca komik, hanya tersenyum tipis memandangi tempat nongkrong favoritnya telah hancur.     

"Ini adalah balasan yang setimpal bagi mereka," katanya. Dia berdiri dari kursinya dan meregangkan setiap sendi tubuhnya, "Bagiku, terselamatkannya Puteri Alexandrine sudah cukup, karena aku bukanlah seorang Pahlawan."     

.     

.     

Kedua Perempuan lesbian itu dihukum mati dengan cara digantung. Mereka dibawa ke tiang gantungan di depan gedung Balai Kota Den Haag. Mereka dibawa ke sebuah panggung lalu leher mereka diikatkan ke tali tambang. Setelah itu para algojo yang bertopeng, menendang kursi yang menjadi pijakan kedua Perempuan itu dan mereka mati tercekik tali tambang pada tiang gantungan.. Penduduk Kota Den Haag bersorak-sorai atas dieksekusi matinya kedua Perempuan lesbian tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.