cinta dalam jas putih

Matrealistis



Matrealistis

"Disini jarang dijual ikan kakap merah, dan cuma ada ikan patin " nita menyimpan sebuah mangkuk berisi sup ikan yang dibuatnya dan digantikan bahan utamanya.     

Senyumannya terlihat dipaksakan karena kecemasannya akan merubah rasa masakannya.     

Dokter edwin mengerutkan dahinya seraya tersenyum kecil melihat nita yang menyiapkan sup ikan yang menjadi makanan kesukaannya.     

"Mama bilang tentang ini juga? " tanyanya pada nita seraya menggelengkan kepalanya.     

Dia juga sampai harus mengikuti cara keluarganya menyajikan makanan di meja.     

"Iya, tapi ikannya tidak sama! " nita menggerutu seraya terduduk di kursi ruang makan disamping dokter edwin.     

"Pagi-pagi tidak baik menggerutu seperti itu " ucapan dokter edwin memberikan sebuah sindiran pada nita yang duduk disampingnya.     

"Saya cuma takut rasanya berbeda saja " nita mengklarifikasi apa yang tadi di katakan olehnya.     

Terlihat olehnya dokter edwin yang mencoba masakan yang dibuatnya.     

"Ini justru lebih enak dari ikan kakap " dia memberikan sebuah nilai bagus pada masakan nita.     

Lalu menghabiskan semangkuk sup ikan yang nita buatkan untuknya.     

"Mungkin kalau nanti kamu mau membuatnya lagi garamnya dikurangi sedikit " dia memberikan sebuah saran, "nanti aku bisa hipertensi "     

Reaksi nita terkejut mendengar perkataan dokter edwin tentang masakannya.     

"Kenapa dokter habiskan kalau garamnya terlalu banyak " dia merasa tidak enak hati.     

"Tidak apa-apa untuk pertama kalinya " dokter edwin berucap sambil meraih gelas berisi air putih yang ada di hadapannya dan meminumnya.     

Nita mengerutkan dahinya melihat kedatangan ayahnya yang sudah berpakaian rapi dan membawa beberapa map di tangannya.     

Dia duduk berhadapan dengannya dan dokter edwin sambil melebarkan senyumannya.     

'Apa lagi sekarang... ' nita sudah mulai curiga dengan senyuman seperti itu.     

Karena itu sangat jarang sekali dilihatnya, dulu dia melihay senyuman itu ketika menerima uang yang di berikan oleh lelaki yang akan dinikahkan dengannya. Dan sekarang senyuman itu terlihat kembali.     

"Jadi ini akta sawah milik pak dokter baru saya ambil dari pak samino " ucapnya pada dokter edwin, "tapi belum atas nama pak dokter "     

"Bapak " sela nita, "sejak kapan ayah kerja sampingan jadi makelar tanah? "     

"Pak dokter kan bukan warga disini kenapa ayah paksa untuk membeli sawah itu! "     

"Wong bapak cuma memberitahukan saja, lha pak dokternya tanya berapa hargane " kilahnya, "cuma pakai handphone pak dokter bisa langsung beli sawahnya! "     

"Kebun pak samino juga pak dokter beli " sambungnya, "bapake jadi banyak di hormati sama semua orang disini berkat suamimu "     

Kedua mata nita membulat wajahnya terlihat kesal dengan semua perkataan sang ayah yang menurutnya baik-baik saja. Tetapi nita merasa malu karena dia terkesan matrealistis pada menantunya.     

"Bapak ini kebiasaan! " cetus nita, dia kesal sekarang tetapi berusaha untuk menjaga emosinya di hadapan dokter edwin.     

Walaupun sekarang ini dia sudah memiliki lagi sebuah harga diri karena ayahnya itu.     

"Wong pak dokter juga mau buat rumah di kebun itu... "     

"Bapak! " nita membuat ayahnya itu menghentikan ucapannya.     

"Jangan aneh-aneh! "     

"Kamu itu marah-marah saja dari pagi " ucap ayahnya menanggapi nita yang menghentikan perkataannya.     

"Kalau lagi mengandung itu jangan banyak marah nanti bayimu stres! "     

"Nanti perkembangan bayinya jelek! "     

"Hah!! " nita terkejut dan bibirnya menganga, dia benar-benar menjadi beku seketika mendengar ayahnya yang mengatakan padanya tentang kehamilan.     

Dengan cepat dia menoleh ke arah dokter edwin yang terduduk di sampingnya, yang terlihat jelas sekali sedang menahan tawanya melihat nita yang terkejut sekarang ini.     

"Ayah kamu saja tahu kalau stres itu tidak baik buat ibu hamil " ucap dokter edwin pada nita sambil tertawa kecil.     

"Nah, pak dokter itu beli semua kamu sama anak-anak kamu nanti! " ayahnya kembali bicara.     

"Sekarang ayah mau pergi ke kantor agama "      

Dia beranjak dari duduknya dan membawa semua map yang sedari tadi berada di tangannya.     

Nita lalu terdiam setelah ayahnya itu pergi meninggalkannya berdua dengan dokter edwin sekarang ini.     

'Harga diriku ternyata sama dengan sawah dan kebun itu... ' ucapnya dalam hati nita.     

Dia tidak mempunyai keberanian untuk bertatapan dengan dokter edwin karena tingkah laku ayahnya itu.     

"Aku tidak punya alasan lain lagi supaya ayahmu setuju dengan pernikahan, selain sedang hamil dan membeli tanah yang dia bilang untuk masa depan kamu nanti " dokter edwin mencoba menjelaskannya dengan baik.     

Dibandingkan dengan yang dia berikan pada ayah nita, key lebih berharga dari apapun sekarang ini. Dia tidak mau hanya karena statusnya keluarganya yang tinggal di luar negri itu akan mengambil key dengan alasan tidak memiliki sosok ibu. Walaupun sebenarnya nita itu lebih cocok menjadi kakak daripada seorang ibu.     

"Nita " ada suara lagi dari balik pintu ruang makan.     

Lalu terbuka dan muncul sosok lelaki tua dengan seluruh rambutnya yang memutih menghampiri mereka.     

"Sekarang apalagi? " Nita berguman ketika mengawasi sosok mbah kakungnya yang sangat sehat sekali berjalan ke arahnya dan duduk di kursi yang di tempati oleh ayahnya tadi.     

"Apa mbah? " nita dengan cepat bertanya.     

"Bapakmu itu pergi ke kantor agama " ucapnya, "ayo bantu mbah supaya di daftarkan juga "     

Nita mengerutkan dahinya, "mbah ini minta dinikahkan kayak minta uang jajan aja! "     

"Mbah inget umur, jangan pikirin itu terus! " cetus nita, "sudah saatnya lebih mendekatkan diri pada tuhan "     

"Memang siapa yang mau mbah ajak nikah? "      

"Ningsih "     

"Mbah!! " nita dengan spontan menggebrag meja makan ketika tahu wanita yang akan dinikahi oleh kakeknya itu adalah teman kecilnya dulu.     

"Kasihan anak orang nanti jadi janda dalam waktu singkat! " nita bicara ketus.     

"Tapi ningsihnya mau, orang tuanya setuju "     

Nita harus menarik nafasnya dalam-dalam, "itukan pasti mbah bilang mau kasih tanah punya mbah "     

"Pokoknya mbah tidak boleh nikah lagi! "     

Nita masih terus mengawasi kakeknya itu yang masih terduduk dan kecewa karena dia tidak mau membantunya membujuk ayah agar setuju menikahi ningsih sahabatnya.     

"Mbah sekarang masuk ke kamar dan jangan lupa minum obatnya "      

"Mbah bukan sakit " ucapnya pada nita, "tapi mbah kesepian! "     

"Kamu pergi dan ayah ibumu terus saja mengomel pada mbah! cuma ningsih yang mau mendengar semua yang mbah katakan "     

Nita tertegun, dia yang pada awalnya merasa kesal seketika rasa bersalahnya muncul.     

"Mbah... " nita memanggilnya ketika sosok tua itu beranjak dari duduknya dan tidak mempedulikan panggilannya.     

"Biarkan saja dulu sebentar " suara dokter edwin membuyarkan semua kesedihan nita.     

"Menikah itu tidak terbatas di usia berapa, ketika dia dibiarkan kesepian itu sama saja dengan mendatangkan penyakitnya secara perlahan " dia kembali bicara pada nita, "bukankah kamu sudah belajar tentang darimana penyakit itu lebih besar datang "     

"Dari isi kepala kita, sugesti yang kita buat dari pikiran kita " sambungnya.     

Nita menganggukkan kepalanya dan perasaan bersalahnya kembali muncul pada kakeknya itu.     

Dokter edwin tersenyum tipis, kedua matanya tertuju pada kedua tangan nita yang tersimpan di atas meja. Kedua tangannya itu terlihat bergetar, entah apa yang membuatnya cemas sekarang ini.     

"Ada apa? " tanya dokter edwin seraya menyimpan satu tangannya di atas kedua tangan nita.     

"Saya malu karena dokter melihat semua keanehan keluarga saya hari ini " ucap nita tanpa berani memandang ke arah dokter edwin.     

"Tidak apa-apa, ini menyenangkan dan unik " jawabnya.     

Nita lalu menoleh ke arah dokter edwin dan memandanginya.     

"Dokter harus berjanji sekarang "     

"Janji apa? "     

"Setelah semuanya beres dari kantor agama kita harus cepat kembali " ucap nita, "kita kembali hari ini juga "     

Dokter edwin tertawa kecil, "kenapa? "     

"Saya tidak mau bapak terus menawari sesuatu pada dokter " jawabnya seraya menggelengkan kepalanya.     

Karena nita tahu semuanya pasti akan di kelola oleh ayahnya dan dokter edwin sebagai pemiliknya tidak akan pernah mendapatkan untungnya.     

"Baiklah terserah kamu saja " dia mengikuti permintaan nita, "lagipula aku harus mengikuti semua permintaanmu supaya kamu tidak stress karena kamu kan ibu hamil "     

"Dokter!! " nita merengek dengan wajahnya yang memerah kali ini karena malu.     

Dokter edwin menanggapinya dengan tawa kecil, yang kemudian membuatnya berpikir pada seseorang di masa lalunya yang selalu berwajah sama ketika dia sedang menggodanya.     

Dia sama sekali belum bisa melupakan sosok itu, bahkan sekarang semakin mengingatnya karena keberadaan nita di sampingnya untuk waktu yang sangat lama...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.