Isolasi
Isolasi
Dia memandangi nita untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya dapat bicara dengannya.
"Pihak rumah sakit memberitahuku kalau anak yang bernama aftab itu ternyata positif difteri "
Nita tertegun, "jangan maju kesini! " dia menahan dokter edwin agar tidak mendekat ke arahnya.
Dua langkah mundur akhirnya nita lakukan agar mereka memiliki jarak yang cukup jauh.
"Tapi itukan belum tentu kamu positif " ucap dokter edwin, "walaupun tadi mereka mengatakan dokter jaga dan juga dua perawat sudah dinyatakan positif, mereka sudah berada di ruang isolasi "
Nita mengerutkan dahinya, dia sudah pesimis seketika. Karena tadi pagi tanpa perlindungan apapun dia menggendong aftab dan mungkin saja droplet ketika anak kecil itu terbatuk tanpa disadarinya ada di tubuhnya.
"Aku yang akan mengantarmu sendiri untuk melakukan pemeriksaan " ucap dokter edwin.
"Jangan koko " nita menggelengkan kepalanya seraya memperlihatkan senyuman tipis tetapi di dalam hatinya begitu besar ketakutannya.
"Biar saya tunggu pihak rumah sakit yang menjemput " sambungnya, "koko harus sehat karena masih ada banyak pasien yang membutuhkan "
"Tapi,,, "
"Tidak apa-apa " nita menyela, "tidak apa-apa sendiri saja, dan semoga saja hasilnya tidak sama seperti yang saya takutkan "
"Baiklah, tapi kenapa kamu berdiri jauh disitu? "
Nita tersenyum, "untuk berjaga-jaga "
"Pakai saja ini " dokter edwin menyodorkan sebuah masker medis pada nita, dia berjalan perlahan mendekati nita.
"Koko jangan terlalu dekat " nita bicara dengan mulutnya yang ditutupi oleh telapak tangannya.
"Hanya karena ini, bukan berarti aku harus menjauh dan membiarkanmu sendirian " dia lalu memasangkan masker itu pada nita.
Untuk beberapa saat dia memandangi wajah istrinya itu dan tersenyum.
"Koko harus sterilisasi semua ruangan di rumah setelah saya pergi nanti " ucap nita, "pakaiannya harus cepat diganti dan di cuci, dan jangan lupa minum vitamin "
Dia tidak menjawab apapun, hanya memperlihatkan senyumannya dan usapan lembut di rambut nita.
"Apa,,, " lalu ucapan nita terhenti sejenak, "ada kasus difteri yang menyebabkan kematian? "
"Tidak ada " dengan cepat dokter edwin menjawabnya, walaupun dia tahu wabah itu sedang ada di wilayah lain dan banyak pula yang menyebabkan kematian.
Dia hanya tidak ingin membuat nita memikirkan hal yang justru akan membuatnya stres ketika menjalani isolasi.
"Jangan pikirkan hal itu, selama aku masih terus mengawasimu " sambungnya.
Nita menaikkan kedua alisnya, "tapi masih ada tuhan, koko! "
"Kamu hanya akan menjalani isolasi selama sepuluh hari dan setelah itu mendapatkan imunisasi, sehat seperti biasa. Sepertinya itu tidak akan sulit! "
Nita menganggukkan kepalanya, "baiklah, kalau begitu saya harus bersiap "
"Kamu duduk saja " dia membawa nita untuk duduk di sebuah sofa, "biar aku yang siapkan semuanya "
Nita tidak percaya ketika dokter edwin mengatakan akan menyiapkan semua yang dibutuhkannya selama menjalani isolasi.
"Koko "
"Hmmm "
"Pemeriksaan seperti apa yang akan saya jalani nanti? "
Dokter edwin masih fokus pada tas yanh dia isi dengan pakaian nita.
"Apus lendir di tenggorokan, dan pemeriksaan laboratorium " jawabnya, "kamu juga akan di observasi dalam beberapa hari, apakah tubuh kamu akan mengalami gejala "
"Lalu setelah hasil apus keluar jika positif biasanya dapat therapi penisiline " sambungnya.
Nita menganggukkan kepalanya, "tapi saya juga alergi penisiline, semoga hasilnya negatif "
Mendengar itu dokter edwin seketika menoleh ke arah nita, "kamu yakin? bukan obat lain? "
"Dokter axel yang bilang " jawab nita, "saya pernah di rawat dan ada antibiotik yang tidak boleh saya pakai "
"Setelah disuntik, wajah saya bengkak "
Dokter edwin menarik nafasnya, kekhawatirannya bertambah besar ketika tahu wanita kesayangannya itu memang benar-benar memiliki tubuh yang lemah.
"Tidak apa-apa " dia mencoba membuat suasananya baik-baik saja di depan nita, "mungkin erythromycin bisa diterima tubuhmu "
Dia mendengar suara bel di rumahnya, dan lalu kembali memandangi nita.
"Tidak apa-apa koko " ucap nita, "lagipula disana saya satu ruangan dengan perawat lain yang juga akan menjalani isolasi "
"Kalian memang satu tempat " ucap dokter edwin, "tapi untuk ruanganmu, aku minta mereka menempatkan kamu di kamar khusus dan sendirian! "
"Dua perawat itu laki-laki! " sambungnya, "dan dokter jaga juga laki-laki "
"Kamu mau satu ruangan dengan mereka berbagi bakteri dan isolasi dengan hati senang karena bisa saling mengakrabkan diri? "
'Kenapa aku tidak berpikir kalau koko itu akan seperti ini! ' celetuk nita dalam hatinya, dia lalu tertawa kecil sambil memperlihatkan dua jarinya ke arah dokter edwin.
"Saya ikut yang koko katakan saja " ucap nita.
Dia lalu beranjak dari duduknya untuk berjalan mengikuti dokter edwin yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
Dua orang petugas yang sedang berbicara dengan suaminya itu, tapi nita sama sekali tidak melihat mobil ambulance yang akan menjemputnya sekarang ini.
"Kamu berangkat lebih dulu dengan mereka " ucap dokter edwin pada nita, "mereka akan mensterilkan rumah ini, jadi aku bawa key dulu ke rumah mama "
Nita menganggukkan kepalanya, "ambulannya dimana? "
"Tidak ada ambulan! " jawab dokter edwin, "kalau mereka jemput kamu pakai ambulan, aku pecat mereka semua besok "
"Ihh, koko! " cetus nita, "jangan seperti itu, mana boleh minta fasilitas istimewa buat saya yang pekerja baru "
"Tentu saja harus istimewa, tempat itukan punyaku! " dia bicara sangat pelan sekali.
"Koko bilang sesuatu kah? " nita seperti mendengar samar suara dokter edwin yang menggerutu.
"Tidak ada " jawabnya, "telpon aku setelah sampai di ruanganmu "
"Baik "
Nita tersenyum di balik masker yang dipakainya dan lalu melambaikan satu tangannya sebelum masuk ke dalam mobil.
"Beritahu saya kabar anak itu " ucap dokter edwin pada satu petugas yang masih bicara dengannya.
"Pastikan dia mendapatkan perawatan yang baik "
"Baik, dokter "
Kedua matanya tertuju pada nita yang sudah berada di dalam mobil, yang terlihat memandanginya sebelum akhirnya mobil itu pergi dan membawa nita jauh dari pandangannya.
Tiba-tiba hatinya merasa kosong setelah sosok nita menghilang dari pandangannya itu, dia tidak pernah merasakan hal lebih kuat seperti sekarang ini. Seperti sebuah ketakutan akan kehilangan seseorang dalam hidupnya.
"Mommie baik-baik saja? " suara key terdengar di ujung telpon nita.
"Sedikit sakit karena tadi di periksa tenggorokan dan diambil darah " jawab nita.
"Mommie " suara key memelan, "daddy tidak mau tidur sendiri dan minta key tidur dengan daddy! "
"Sepertinya ada yang sedang sedih ditinggal sendirian! " sambung key.
"Key!! " terdengar suara dokter edwin yang terdengar sedikit marah atau mungkin karena malu key sudah membocorkan rahasianya.
Nita tertawa kecil, "disini juga sepi sekali key "
"Bukannya disana ada televisi? " lalu kali ini terdengar suara dokter edwin di telinga nita.
"Kamu bisa menyambungkannya dengan ponselmu jadi bisa menonton semua film favorit kamu "
Nita menutup mulutnya agar tawanya tidak terdengar oleh dokter edwin, "ada koko, nanti saja aku nontonnya "
"Kamu bilang saja apa yang kamu butuhkan "
Nita tersenyum, "iya nanti saya bilang "
"Tapi koko harus dengan cepat memberitahuku kalau hasilnya sudah keluar " dia tahu pasti pihak rumah sakit akan lebih dulu memberitahukan hasilnya pada dokter edwin.
"Ya "
"Sekarang kamu tidurlah "
Nita lalu membaringkan tubuhnya di tempat tidur, "koko juga harus istirahat sekarang "
"Baiklah " jawabnya, "tapi kamu tidak boleh menutup telponnya "
"Kenapa? " nita bertanya diiringi dengan tawa lemahnya, "nanti kalau yang terdengar cuma dengkuran bagaimana? "
"Tidak apa-apa " jawab dokter edwin, "itu artinya kamu tidur dengan baik "
"Kamu cukup menyimpan ponselnya di sampingmu "
Nita tersenyum, "baiklah, saya turuti saja apa yang koko mau "
Dia lalu menyimpan ponselnya di tempat yang diperintahkan oleh dokter edwin padanya, sambil terus memandangi ponselnya yang masih terus menyala disertai kekhawatirannya pada hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan padanya tadi...