Bab 184 \"AKU TIDAK MARAH!\"
Bab 184 \"AKU TIDAK MARAH!\"
MAAF YA… TYPO MASIH BETEBARAN.
HAPPY READING…
Chika hanya diam tidak berbicara lagi, karena Raka sudah tidak membalas ucapannya. Dirinya pun menyadari bahwa seharusnya ia tidak melakukan hal itu karena memang dirinya tidaklah pantas bersandaing dengan Raka.
Hubungan mereka pun hanya hubungan simbiosis mutualisme tidak lebih dari itu. Jadi, Chika sadar diri dengan posisinya. Chika benar-benar tidak berbicara bahkan ketika Kenan, Qia dan Raka terlibat pembicaraan satu sama lain, Chika hanya diam saja tidak berkata apa-apa. Selesai makan bersama mereka pun kembali ke kantor. Chika menyerahkan beberapa undangan pada Raka. "Aku kesini tadinya ingin bertanya tentang ini, tetapi kamu seprtinya sibuk. Jadi, biar aku yang nanti meberitahukan pada percetakan undangan seperti apa undangan yang harus di buat. Kalau begitu aku permisi pulang," ucap Chika dengan suara datar seraya menatap Raka.
"Ken, Qi. Aku pulang, permisi," ucap Chika sedikit membungkukkan tubuhnya dan ia pun membalikkan tubuhnya untuk ke parkiran mobilnya.
Qia, Kenan dan Raka menatap punggung Chika yang mulai menjauh. Tatapan Raka tidak bisa di artikan sama sekali ketika ia menatap Chika. Kenan pun berpamitan untuk kembali ke kantor. Tidak ada kata apapun, Raka melanjutkan langkahnya masuk ke perusahaan. Ia berjalan terus tanpa ekspresi sama sekali. Wajahnya yang biasa tersenyum kini hanya diam saja.
Qia pun hanya diam melihat langkah Raka yang terburu-buru masuk ke dalam bahkan di tangga menuju lantai dua saja Raka terlihat terburu-buru. Qia pun akhirnya hanya menghendikan bahunya acuh tak acuh. Di dalan ruangan Raka berkutat dengan komputernya padahal ia tidak melakukan apapaun. Ia hanya berpura-pura sibuk saja, entahlah apa maksud dirinya yang hanya berpura-pura sibuk. Qia yang melihat wajah Raka yang serius pun tidak mengajak Raka berbicara sama sekali.
Sore pun tiba, sekitar pukul lima sore tanpa berbasa-basi dengan Qia Raka segera keluar dari ruangannya dengan terburu-buru. Qia yang masih membereskan barang-barangnya mengernyitkan dahinya dengan sikap Raka. Namun, setelah Raka keluar, ia pun hnaya menghendikan bahunya acuh tak acuh.
Raka berjalan cepat keluar dari kantor, ia menuju mobilnya dan segera menghidupkan mobilnya kemudian segera melajukan mobilnya meninggalkan area kantor. Ia harus segera bertemu dengan Chika. Raut wajah Chika yang datar membuatnya tidak nyaman sehingga dirinya menjadi seperti ini.
Raka membunyikan klaksonnya karena jalanan yang macet. Berbagai umpatan ia keluarkan karena memang ia ingin segera bertemu dengan Chika sehingga dirinya menjadi kesal sendiri dengan kemacaetan jalanan. Hari ini jalanan begitu padat sehingga Raka sampai di rumah sekitar pukul 7 kurang lima menit.
Ia segera masuk ke dalam dan mencari keberadaan Chika. Ternyata Chika sedang berada di dalam kamar dan terlihat ia mebereskan koper. "Kamu mau kemana? Apa karena aku lupa memberi tahumu kamu mau keluar dari appartement ini? Kamu terlalu berlebihan jika sampai kamu keluar dari appartement ini," ucap Raka dengan raut wajah tidak sukanya dan ia pun seperti tidak memberi kesempatan Chika berbicara.
"Ada lagi yang mau kamu bilang?" tanya Chika menatap malas pada Raka.
"Kamu enggak boleh ke luar dari appatement ini, Kamu calonku, jadi kamu harus disini. Jadi kamu enggak boleh ke luar dari appartement!" tegas Raka dengan nada suara mengebu-gebu.
Chika diam menatap Raka membuat Raka menajadi kesal. "Jawab, jangan malah diam saja!" tegas Raka kesal.
"Udah selesai apa yang mau kamu omongin?" tanya Chika masiah menatap Raka malas.
"Iya!" jawab Chika mantap.
"Karena aku masih calon istrimu seharusnya aku tidak tinggal di sini," jawab Chika seraya menatap Raka dengan tatapan datarnya.
"Terus, kamu mau kembali ke rumah laknat itu lagi?" tanya Raka dengan suaranya yang sedikit meninggi. Wajahnya juga sudah marah menatap Chika.
"Aku hanya bilang jika aku calon istrimu, jadi seharusnya tidak di sini. Namun, apa yang bisa aku lakukan jika keluar dari appartement ini aku tidak tahu harus kemana," jawab Chika seraya menatap Raka.
Raka pun diam tidak berkata-kata lagi, "Aku tidak mau pergi, coba kamu perhatikan lagi ini koper siapa yang sedang aku benahi," ucap Qia dengan nada suara malas.
Raka pun menatap ke arah koper yang sedang di bereskan oleh Chika. Ternyata koper itu adalah kopernya. Raka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena sudah salah paham pada Chika. Chika pun memutar malas bola matanya kemudian ia melanjutkan merapihkan apa saja yang harus Raka bawa.
"Berapa hari kamu di sana?" tanya Chika tanpa menatap Raka.
"Mungkin seminggu," jawab Raka yang kini sudah duduk di tepi ranjang seraya mendorong koper itu dari hadapannya Chika supaya dirinya bisa lebih dekat dengan Chika.
Chika mendongakkan kepalanya untuk menatap Raka yang berada tepat di hadapannya. "Mandi gih, habis itu kita makan malam bareng," ucap Chika dengan suara lembut tetapi ia sama sekali tidak berekspresi.
"Apa kamu masih marah?" tanya Raka menatap Chika yang seperti tidak ingin ia tatap sama sekali.
"Marah kenapa?" tanya Chika kemudian memasukkan barang-barang yang masih belum di masukkan ke dalam koper. Namun, Chika masih tidak mau menatap Raka sama sekali.
"Tatap aku jika kamu bicara," ucap Raka yang kini sudah memegang dagu Chika membuat Chika mau tidak mau kini menatap Raka.
"Aku harus selesaiin ini. Kamu juga buruan mandi, aku udah laper," ucap Chika dengan wajahnya yang masih saja datar tidak berekspresi.
"Kamu masih marah karena aku lupa ngasih tahu aku yang akan pergi ke Australia?" tanya Kenan menatap Chika tepat ke bola mata Chika walau pun bola mata Chika bergerak tidak nyaman.
Tangan Chika bergerak untuk melepaskan tangan Raka di dagunya. "Aku enggak marah, untuk apa juga aku marah. Toh, pernikahan kita hanya untuk saling menguntungkan satu sam lain bukan?" tanya Chika menatap Raka dengan tatapan tegasnya.
"Udah, sana kamu mandi!" ucap Chika seraya mendorong tubuh Raka agar segera pergi ke mandi.
"Katakan dulu!"
"Apaan deh?" tanya Chika mengernyitkan dahinya.
"Katakan jika kamu tidak marah," ucap Raka menatap intens Chika.
"Gua enggak marah! Puas?" tanya Chika dengan nada suara kesalnya.
Raka tidak berkata apa-apalagi, dirinya pun langsung bangun dari duduknya dan berajalan ke kamar mandi. Mendengar teriakan Chika sudah membuktikan bahwa Chika memang marah. Jika orang itu biasa saja berarti benar jika ia tidak marah. Tetapi jawaban Chika yang seperti itu pun sudah membuktikan jika Chika sedang marah. Ia akan mandi terlebih dahulu, setelah itu makan baru nanti di lanjut membicarakan tentang mereka.
TBC…
YO YO YO… GIMANA INI GUYS…
YUKS LAH KOMENT DAN POWER STONENYA BANYAKIN YA GUYS…