Menikah dengan Mantan

Bab 159 \"MENGIZINKAN\"



Bab 159 \"MENGIZINKAN\"

HAI… HULA-HULA… UP GUYS… SEKUYLAH MERAPAT.     

YUKS IKUTAN CHALEGE YANG BANYAK – BANYAKIN POWER STONE + HADIAH. YANG MAU IKUTAN, SEKUYLAH LANGSUNG KOMENT DI PARAGRAF INI KALAU MAU IKUTAN.     

MAAFKAN TYPO YANG MASIH BETEBARAN YA GUYS…     

HAPPY READING…     

Saat ini Kenan dan Qia sedang berada di mobil. Kenan pada akhirnya mengizinkan ketika Qia pergi ke Palembang bersama dengan Raka. Qia tadi sudah akan keluar dari appartement tanpa peduli dengan Kenan. Kenan tadi sudah maha dan Qia pun tidak kalah marahnya membuat Kenan akhirnya kalah berargument dengan Qia.     

"Aku mau berangkat," ucap Qia yang sudah menyeret kopernya.     

Baru juga ia akan membuka pintu kamar, Kenan sudah menahan lengannya membuat Qia tidak jadi membuka pintu kamar. "Kenapa sih kak?" tanya Qia malas.     

"Aku belum bilang kalau aku ngizinin kamu!" ucap Kenan dengan nada tegas.     

"Masih perlu gitu, aku izin? Kayaknya enggak perlu deh. Toh, mau ada aku juga gak ada bedanya. Kakak juga sibuk sama kerjaan kakak," jawab Qia ketus.     

"Qi aku suamimu! Mau aku sibuk dengan pekerjaan ku juga sudah seharusnya kamu izin ke aku jika kamu mau pergi. Apa lagi ini pergi ke Palembang?" tanya Kenan dengan raut wajah frustasinya yang tidak tahu harus berbuat apa.     

Qia hanya diam menatap Kenan yang terlihat frustasi. Dalam hatinya Qia sudah menggerutu kesal, "salah siapa cari masalah. Kalau dia sakit, gua juga yang di anggap istri gak bisa jaga suami. Mulut mamanya aja kalau ngomong suka pedes. Enggak tahu dia kan, kayak mana mulut mamanya!" gerutu Qia dalam hati.     

Qia perhatian bukan karena terpaksa, tapi memang dia peduli dengan Kenan. Jika Kenan sakit dan saat dirinya harus menjaga Kenan dia harus menerima omelan mertuanya, ah.. kepalanya mungkin akan pecah. Sewaktu dirinya pergi bersama Carla saja dia sudah bersusah payah untuk menahan amarahnya. Jika itu kembali terulang, ia tidak akan bisa menahannya.     

Qia masih diam menatap Kenan dengan tatapan malasnya. "Kamu itu pergi ke Palembang Qi, bukan pergi ke rumah kakek yang masih bisa di jangkau," ucap Kenan yang terlihat kesal.     

"Tahu kok, kak. Palembang jauh. Udah beda pulau juga. Tapi, salah kakak sendiri yang sibuk sama kerjaan. Kayaknya kakak juga belum mau punya anak. Aku sama kakak juga masih mau ngurusin kerjaan, jadi ya udah lah. Qia juga mau kerja, bukan cuma kakak aja yang bisa sibuk. Qia juga bisa sibuk," ucap Qia kemudian melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kenan.     

"Qia mau pergi, bye!" ucap Qia kemudian ia berjinjit untuk meberikan kecupan singkat di ujung bibir Kenan.     

Kenan pun dengan sigap meraih pinggang Qia membuat tubuh Qia tertarik ke dalam pelukannya dan kedua tangan Qia reflek memegang dada Kenan. Kenan menundukkan kepalanya untuk menatap wajah Qia dan Qia pun mendongakkan kepalanya untuk menatap suaminya.     

Mata mereka saling beradu, tidak ada yang berbicara sama sekali. Tangan Kenan tiba-tiba terangkat kemudian ia merapihkan helaian rambut Qia yang menutupi wajahnya. Qia masih diam tidak berkata apa-apa hanya memandangi wajah Kenan suaminya ini.     

"Seharusnya kamu memberi tahuku sesibuk apapun aku," ucap Kenan dengan suara lembut yang lebih tenang di bandingkan sebelumnya tadi.     

Qia masih diam menatap Kenan untuk mendegar apa lagi yang ingin Kenan katakan padanya. Rasa kesal pada suaminya ini masih ada, jadi ia ingin mendegar apa lagi yang akan suaminya katakan. "Aku--" Kenan ingin berkata tetapi kata-katanya itu seperti tersangkut di tenggorokan.     

Qia masih menunggu apa yang ingin Kenan ucapkan, tetapi dering handphone mengalihakn pandangan mereka dan Qia pun mendorong tubuh suaminya menjauh supaya ia bisa mengambil handphone di tasnyaa.     

"Iya, bang," jawab Qia setelah sambungan telphone tersambung.     

["Dimana Qi, aku udah di bandara,"] ucap Raka.     

"Masih di appart kak, bentar lagi berangkat."     

["Ya udah, buruan berangkat. Jalanan macet, nanti kamu telat,"] ucap Raka.     

"Iya, bang. Ini mau berangkat. Ya udah, ya?"     

["Iya, hati-hati di jalan,"] jawab Raka dan sambungan telphone pun terputus.     

"Kamu masih mau berangkat?"     

"Kenapa? enggak boleh?" tanya Qia dengan nada sarkatis.     

"Berapa hari kamu di sana?"     

"Tiga hari mungkin," jawab Qia acuh tak acuh.     

"Sama siapa aja?" tanya Kenan.     

"Udah, ah kak. Aku mau berangkat. Masa bodo kakak mau ngizinin apa enggak yang penting aku mau berangkat. Ini juga karena kerjaan bukan untuk main!" jawab Qia kesal kemudian ia akan membuka pintu, tetapi Kenan menahan pintunya dengan satu tangan agar tidak bisa terbuka.     

Qia membalikkan tubuhnya kemudian menatap Kenan dengan tatapan sengitnya. "Aku enggak--"     

"Bodoh amatttt!!!" teriak Qia dengan suara melengking yangh membuat telinga Kenan berdengung karena Qia sedikit menjijit dan mendekatkan mulutnya ke telinga Kenan membuat Kenan langsung memundurkan tubuhnya karena kupingnya yang langsung berdengung.     

Qia pun langsung berbalik dan membuka pintunya seraya menarik kopernya. Malas jika harus berurusan lebih lama dengan Kenan, ia pun segera berlari untuk keluar dari appartement. Qia mengambil sepatu ketsnya di rak sepatu dan berjalan ke;uar hanya menggunakan sadal jepit rumah. Dari pada Kenan menghalanginya lagi, lebih baik ia memakainya nanti saja di halte bus.     

Ia tidak mempeduikan jika orang-orang akan memperhatikannya. Yang ia inginkan segera berangkat dan tidak berurusan dengan sauminya. Ia ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu tidak mau bertemu suaminya. Awalnya memang ragu dan malas jika harus ke Palembang, tetapi kali ini ia tidak ragu lagi.     

Mungkin menurut orang lain apa yang di lakukan Kenan semalam adalah hal kecil yang tidak perlu di besar-besarkan. Namun, setiap orang punya pendapatnya masih-masing. Bagi Qia kejadian semalam cukup untuk membuat dirinya marah. Bukan tidak bersyukur dari apa yang di kerjakan suaminya nantinya juga untuk dirinya tetapi, dia itu mengkhawatirkan suaminya. Kalau sakit juga yang merasakan enggak enak Kenan sendiri. Intinya Qia tidak ingin suaminya itu menyepelekan kesehatannya dengan begadang.     

Baru juga sampai dia akan masuk kedalam lift, tangannya sudah di pegang oleh Kenan. "Lepas kak!" pekik Qia dengan suara keras tidak peduli jika pekikannya mungkin saja membuat orang-orang penghuni appartement lainnya akan terusik.     

"Aku akan antar kamu!!" ucap Kenan cepat ketika Qia terus menggerakkan tangannya agar di lepaskan.     

Qia menghentikan gerakkannya yang mencoba melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kenan. Qia kemudian menatap Kenan dengan tatapan yang entah apa, ia merasa bahwa pendengarannya sedikit bermasalah mendengar ucapan Kenan barusan.     

"Ayo, aku antar," ajak Kenan kemudian mengambil alih kopernya dan memindahnya ke sebelah kanannya. Tangan kirinya ia gunakan untuk menggenggam tangan Qia dan menarik Qi masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.     

Qia masih diam dan ia melihat pantulan suaminya di pintu lift. Ia melihat raut wajah suaminya yang tidak berekspresi sama sekali. Lift terbuka sampai di lantai basement appartement, Kenan pun menarik kembali tangan Qia agar istrinya itu mengikutinya.     

Kenan membukakan pintu dan mempersilahkan Qia naik. Setelah Qia naik dan duduk dengan nyaman dengan seatbelt yang sudah terkancing Kenan menutup pintu mobilnya. Kemudian ia berjalan ke arah belakang mobil untuk memasukkan koper Qia. Selesai dengan koper Qia ia pun segera berlari ke arah kemudi.     

Mobil pun mulai melaju meninggalkan appartement. Qia yang malas dengan Kenan pada akhirnya memunggungi Kenan kemudian ia malah meringku seperti kucing ketika ia membulatkan tubuhnya. Qia mencoba menenangkan dirinya walau detak jantungnya sudah berdetak kencang dan bayangan-bayangan buruk itu sudah memenuhi otakknya.     

Kenan yang melihat Qia seperti itu pun segera menyalakan sen untuk menepikan mobilnya. Ia kemudian melepaskan seatbeltnya juga Qia. Satu tangannya menyentuh pundak Qia dan mencoba membuat istrinya itu tenang.     

Namun, itu tidak membuahkan hasil. Kenan pun akhirnya memeluk Qia dari belakang tubuhnya. "Ada aku di sini, tenang ya sayang," ucap Kenan dengan suara begitu lembut.     

Qia mencoba tenang tetapi dirinya masihlah takut. Kenan masih memluk Qia dari belakang dan terus menggumamkan kata "jangan takut ada aku disini," ucap Kenan dengan suara lembutnya. Lama kelamaan rasa takut Qia meredah, dan Kenan pun melepaskan pelukannya kemudian ia menarik bahu Qia agar mau menghadapnya.     

Qia menuruti apa mau Kenan, ia pu menghadapkan dirinya ke hadapan Kenan dengan tatapan sulit di artikan. Kenan menangkup ke dua pipi Qia, "aku ada sini, jadi jangan takut. Aku akan melindugi mu," ucap Kenan dengan suara lembut dan menenangkan.     

Qia tidak menjawab sama sekali, dirinya hanya diam saja menatap Kenan. Melihat Qia yang memperhatikannya sampai seperti itu malah membuatnya salah tingkah. "Kita lanjutin perjalanan," ucap Kenan segera melepaskan pegangannya di pundak Qia.     

Ia pun kini menghadapa kedepan, sebelum ia menekan peda gasnya. Satu tangannya itu menarik kepala Qia agar bersandar di bahu Kenan. Setelah di rasa sudah nyaman, Kenan pun mulai melajukan mobilnya untuk segera ke bandara.     

Dan sekarang mereka sedang terjebak kemacetan dengan Qia yang masih bersandar di bahunya dan satu tangan Kenan terkadang menepuk-nepuk bahu Qia lembut supaya Qia bisa lebih rilex.     

Mobil kembali bergerak walau tidak bisa melewati jalanan itu dengan kecepatan lebih cepat. Dering ponsel Qia membuat Kenan dan Qia pun langsung menatap ke arah tas yang Qia pakai. Qia kemudian mengambil handphonenya dan di layar handphonenya itu terpampang nama Raka yang menelphonenya.     

Qia pun mengangkat telphonenya, "Halo bang, ada apa?" tanya Qia to the point. Karena jika bertanya dimana ia sekarang, jawabannya tetaplah sama. Dirinya sedang berada di jalan menuju bandara, dan sedang terjebak macet.     

["Dimana?"] tanya Raka membuat Qia memutar malas bola matanya.     

"Lagi di jalan kak, macet."     

["Kan, tadi mau aku jemput kamu enggak mau,"] ucap Raka yang kesal.     

"Ya maaf bang, tadi Qia enggak bisa langsung berangkat jadi sampai jam segini masih di jalan. Sabar ya bang," ucap Qia dengan suara memohon untuk di maafkan.     

["Hah, ya sudhalah kalau begitu,"] ucap Raka kemudian ia pun mematikan sambunga telphonenya. Sambungan telphone pun terputus membuat Qia menghela napasnya.     

Kenan memperhatikan Qia yang sepertinya begitu lelah sampai-sampai.     

Brak!     

Suara yang begitu kuat dan klakson panjang yang memekakkan telinga itu pun membuat Qia terdiam menutup matanya rapat-rapat.     

TBC…     

NAH, LO… APA YANG TERJADI GUY? SEKUYLAH BANYAKIN KOMENT DAN POWER STONENYA YA GUYS…     

AKU SEKALI LAGI MINTA MAAF SAMA KALIAN KARENA NGELAKUIN INI. MAAF YA SEMUANYA…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.