Bab 117 \"BAYANGAN SAMAR\"
Bab 117 \"BAYANGAN SAMAR\"
SEMOGA KALIAN ENGGAK BOSEN-BOSEN YA, DENGAN CERITA INI.
GUYS…. SEKUYLAH.. YANG BELUM BELI PRIVIKU, TOLONG BELI YA, CUMA BUTUH 1 KOIN AJA KOK. JADI BELI YA… PRIVINYA.
DAN MAAF KALAU TYPO MASIH BANYAK SEKALI YANG BETEBARAN.
HAPPY READING GUYS..
Di appartement Raka, Raka masih bergumul di dalam selimutnya. Semalam dirinya yang setengah mabuk langsung masuk kekamar tanpa ada olah raga ranjang seperti biasanya bersama Chika. Chika saat ini sedang memanaskan air untuk membuat secangkir kopi.
Selesai dengan kopinya, Chika pun duduk di kursi meja makan. Ia kemudian membuka tabletnya untuk mengecek jadwalnya hari ini atau untuk mengecek apakah ada e-mail masuk. Chika bekerja di perusahaan papanya sebagai wakil direkturnya. Selama papanya pergi, maka ia yang akan menggantikan papanya.
Sebelumnya ia bekerja di perusahaan orang lain, tetapi baru sekitar 3 minggu ini ia menjabat sebagai wakil direktur karena wakil direktur sebelumnya sudah pensiun. Jadi, Chika pun hanya bisa mengikuti apa mau papanya. Adiknya kandungnya sendiri masih berkuliah, jadi tidak mungkin jika membantu mengurus perusahaan. Sedangkan adik perempuannya tetapi tiri ia sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan perusahaan.
Chika itu sedikit beruntung walau ibu tirinya itu jika berbicara menyakitkan, tetapi ibu tirinya itu mencintai Papanya. Jadi, untuk penjahat-penjahat seperti orang-orang yang ada di sinetron itu, kemungkinan besar tidak ada. Karena memang, ibu tirinya itu begitu mencintai Papanya.
Papanya pun mencintai ibu tirinya terbukti dengan perhatian papanya itu ketika Sopia ibu tirinya menderita kanker payudara hingga satu payudaranya harus di angkat. Untung saja setelah di angkat sel-sel kankernya itu akhirnya mati dan tidak menyebar ke mana pun.
Papanya tidak pernah sedikitpun meninggalkan Sopia ibu tirianya itu dan melihat wanita lain. Mengingat hal itu tiba-tiba kepalanya sakit. Bayangan samar yang terjadi di masalalu tiba-tiba melintasi otaknya. Bayangan itu adalah ketika seorang wanita dewasa sedang meregang nyawanya di tempat tidur. Namun, Chika tidak tahu siapa wanita dewasa itu karena wajahnya terlihat samar-samar tidak jelas.
Chika memegangi kepalanya yang semakin berdenyut nyeri mengingat hal itu. Ia mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya. Raka yang nyawanya belum terkumpul semuanya seketika membuka matanya lebar-lebar ketika ia mendegar suara Chika yang sedang menggerang kesakitan.
Dengan cepat Raka yang baru saja keluar dari pintu kamarnya dan berdiri di ambang pintu masuk langsung berlari cepat menuju Chika berada. "Chika," ucap Raka ketika ia sampai di ruang makan.
Ia segera menghampiri Chika dan berdiri di samping Chika seraya memegangi ke dua bahu Chika. "Chik," panggil Raka dengan wajah khawatirnya.
Chika tidak menjawab, ia hanya memegangi kepalanya yang masih begitu sakit. Raka yang tidak tahu harus berbuat apa segera mengangkat tubuh Chika ala bridal style. Chika pun tidak mempermasalahkannya bahkan ia hanya diam saja seraya memegangi kepalanya yang berdenyut sakit itu.
Dengan hati-hati Raka menurunkan Chika ke atas tempat tidur. "Apa kamu butuh obat?" tanya Raka yang duduk di tepi ranjang dekat dengan Chika.
Chika hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Raka kemudian naik ke atas tempat tidur, perlahan Raka memindahkan kepala Chika agar tidur di atas pahanya. Setelah itu, tangan Raka bergerak untuk memijat lembut kepala Chika. Tangan Chika pun sudah turun ke bawah dan membiarkan Raka memijat kepalanya.
Dengan lembut Raka memijit kepala Chika. "Agak kenceng, ka," ucap Chika tanpa membuka matanya untuk menatap Raka.
Raka pun sedikit menguatkan pijatannya dan Chika pun tidak protes lagi. Kernyitan di dahi Chika lama-lama berkurang membuat Raka sedikit merasa lega. Chika pun akhirnya lama-lama tertidur karena pijatan lembut Raka. Di rasa Chika sudah cukup nyenyak dengan tidurnya, Raka pun perlahan-lahan memindahkan kepala Chika ke atas bantal.
Membenarkan posisi Chika supaya lebih nyaman. Setelah itu perlahan ia turun dari tempat tidur. Dengan langkah hati-hati, Raka ke luar dari kamarnya karena ia tidak mau kalau sampai Chika terbangun dan kembali sakit. Ia pun menutup pintu kamar dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara yang bisa mengusik tidur Chika.
Raka kemudian mengambil handphonenya di saku celana pendeknya dan mendial nomor Qia.
"Hallo, Qi," sapa Raka ketika sambungan telpon tersambung.
["Hallo, bang,"] jawab Qia begitu singkat.
"Lagi di mana kamu Qi?"
["Aku ada di appartement kak Ken,"] jawab Qia dan itu mampu membuat Raka terdiam.
Qia ikut terdiam dari sebrang telephone hingga akhirnya Qia berkata pada Raka karena ia tidak betah lama-lama hanya berdiam diri. ["Bang, Qia hari ini enggak masuk, ya."]
"Loh, kenapa enggak masuk?" tanya Raka heran.
"Kemarin matanya kak Ken oleng, jadi nabrak mobil."
"Nabrak mobil?" tanya Raka yang raut wajahnya begitu terkejut.
"Iya, bang," jawab Qia singkat.
"Apa Kenan enggak apa-apa?" tanya Raka yang terdengar khawatrinya.
Qia mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Raka. Saat ini dirinya yang sedang menelpon dan ijin tidak masuk, tetapi kenapa harus Kenan yang keadaannya ditanyakan oleh Raka. Entah kenapa Qia menjadi kesal sendiri. ["Kak Ken keningnya terluka, tetapi tidak begitu parah hanya memar saja."]
"Memar juga terluka Qi," jawab Raka dengan suara malasnya.
["Jadi, enggak apa-apa kan, aku ijin hari ini bang?"] tanya Qia lagi.
"Kalau kondisi kamu baik-baik saja, seharusnya kamu masuk. Tetapi, ya sudah, toh kekasihmu saja pasti menyuruhmu untuk beristirahat."
["Kalau bukan karena dokter, kak Ken pasti enggak akan begini. Ya. udah ya bang, aku harus istirahat lagi. Dan aku minta maaf karena baru hari ke dua udah ijin enggak masuk."]
["Iya, enggak apa-apa. Kamu pulihkan keadaan kamu saja. Kalau kamu sudah pulih, baru kalau mau masuk kerja kembali, masuk kerjalah,"] ucap Raka yang terdengar begitu dingin di pendengaran Qia.
Qia menjauhkan handphonenya untuk melihat layar handphonenya. Apa dia salah mengangkat telphonennya tetapi ternyata, nama si penelphone adalah Raka. ["Ya, udah, ya bang kalau begitu,"] ucap Qia yang ingin segera mengakhiri panggilan telphonenya.
"Hum," jawab Raka yang hanya bergumam saja. Setelah itu, mereka saling pamit dan Raka yang mematikan sambungan telphonennya.
Raka mengangkat handphonennya yang layarnya sudah gelap, ia pun menghidupkan tombol power untuk melihat siapa orang yang baru saja ia telephone. Ternyata memang benar jika ia menelphone Qia.
Raka pun menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Ia memajamkan matanya dan kembali menarik napas dalam-dalam kemudian ia buang napasnya perlahan. Hatinya bercampur aduk rasanya. Antara ingin marah tetapi juga khawatir. Marah karena kenyataannya ada Qia yang kini berada di samping Kenan. Dan ia pun mengkhawatirkan Kenan yang katanya memar di kening Kenan.
Raka pun akhirnya hanya bisa seperti ini saja, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan untuk menenangkan hatinya yang sedang terombang-ambing antara marah dan khawatir.
TBC…
Ye ye ye ye…. BANYAKIN KOMENT DAN POWER STONENYA YA GUYS…