The Alchemists: Cinta Abadi

\"Paman tidak punya siapa-siapa...\"



\"Paman tidak punya siapa-siapa...\"

Aleksis memegang tangan Lauriel yang besar dan menepuk-nepuknya dengan lembut. Ia seperti mengerti kesedihan ayah angkatnya itu dan tidak berbicara apa-apa.     

"Uhmm... bukankah itu pengasuhnya Aleksis..?" tanya Anne dengan suara berbisik. Finland mengangguk. Ia memberi tanda agar mereka tidak mengganggu Lauriel dan meneruskan acara barbekyu.     

Suasana kembali seperti semula dan orang-orang berusaha tidak mengganggu pemuda yang tampak sedang bersedih itu. Finland mengambil sebuah piring berisi beberapa daging panggang dan saus lalu berjalan ke arah Lauriel dan duduk di sampingnya.     

"Kau sudah makan?" tanyanya dengan suara lembut.     

Lauriel mengangkat wajahnya dan menggeleng pelan. "Hmm..."     

"Makanlah dulu, biar Aleksis juga mau makan. Dia pasti akan menolak makan kalau Paman Rory-nya tidak makan..." Finland memberi tanda kepada Kathy yang segera datang membawa semangkuk buah-buahan untuk Aleksis. "Aleksis... kamu temani Paman Rory makan, ya? Paman Rory sedang sedih..."     

"Iya, Ma..." Aleksis mengangguk. Ia mengambil sepotong buah dari mangkuknya dan menyuapkannya kepada Lauriel, "Paman, strawberry-nya enak lho..."     

Mau tak mau Lauriel tersenyum sedikit dan membuka mulutnya menerima potongan strawberry dari Aleksis. "Terima kasih, Putri kecil..."     

Aleksis mengangguk senang dan melahap sepotong strawberry juga. Ia lalu kembali menyuapi Lauriel dengan potongan buah yang lain dan melahap potongan berikutnya. Pemandangan bocah dan ayah angkatnya yang demikian akrab membuat siapa pun menjadi iri dan merasa ingin segera punya anak. Tony menggamit pinggang Rachel dan mengunjukkan dagunya ke arah mereka.     

"Kita tidak boleh menunda punya anak, begitu kita menikah, aku mau kau langsung hamil..." kata Tony setengah berbisik. Rachel memukul bahunya sambil tertawa.     

"Wahhh... Aleksis dan pengasuhnya akrab sekali ya.. Dari jauh mereka seperti ayah dan anak saja," komentar Lucia kepada Anne. "Kalau kita tidak tahu suaminya Finland, mungkin kita pikir pria yang di sana itulah ayahnya Aleksis..."     

Bicaranya kedengaran oleh telinga Caspar yang tajam dan seketika raut wajahnya menjadi sedikit cemberut. Ia sudah dapat menerima persahabatan Finland dengan Jean dan keakraban anaknya dengan Lauriel.... Ugh... tetapi ia tidak butuh mendengar tanggapan orang-orang yang begini terus.     

Dialah suami Finland, dan dialah ayah dari anak-anak Finland.     

Akhirnya ia pun bersikap impulsif. Ia memberi tanda kepada Kathy, Luke, Jadeith, dan Ben agar membuka beberapa botol sampanye dan menyiapkan gelas. Ia akan membuat pengumuman saat ini juga.     

"Maaf, mohon perhatiannya..." Ia berdiri di tengah taman dan mendentingkan sendok ke gelas sampanyenya. "Kami ada berita gembira yang ingin kami bagikan...."     

Finland yang masih duduk di samping Lauriel seketika menyadari apa yang akan dilakukan Caspar dan tak kuasa menepuk keningnya.     

Astaga... usia kandungannya baru 6 minggu.. Apakah tidak terlalu dini untuk membuat pengumuman semacam itu...??     

Apa daya, suaminya telah mendapatkan perhatian semua tamu yang kini menatapnya dengan pandangan penuh minat.     

Caspar tersenyum lebar. Ia memberi tanda kepada Finland untuk datang kepadanya dan gadis itu terpaksa menurutinya, sambil tersenyum canggung.     

"Istriku dan aku sangat mengharapkan kehadiran adik untuk Aleksis, dan kami sangat senang karena harapan kami terwujud. Finland sedang mengandung."     

Whoaa..... semua orang tampak sangat terkejut namun gembira. Tanpa dikomando semua bertepuk tangan dengan bahagia. Sampanye telah diedarkan dan masing-masing mengangkat gelas di tangan mereka sambil berseru memberikan selamat.     

"Hebat sekali!! Aleksis akan punya adik!"     

"Selamat! Kami sangat senang mendengarnya!!"     

Caspar mengangguk ke sana-sini dan tersenyum lebar sekali, "Maaf aku tidak bisa ikut minum sampanye bersama kalian. Finland sedang mengandung dan tidak bisa minum wine, jadi aku akan menemaninya..."     

Wajah para wanita yang hadir tampak bersinar-sinar kagum. Sungguh suami idaman yang begitu pengertian!     

Mereka seketika merasa iri kepada si gadis sederhana bekas teman kerja mereka itu. Finland sungguh beruntung!     

"Wow... mereka sungguh pasangan yang serasi," kata Franka kepada Jean. Pemuda itu hanya mengangguk sambil menghabiskan sampanyenya. Setelah gelasnya kosong ia segera datang dan memberikan pelukan kepada Finland.     

"Sekarang aku mengerti kenapa tadi malam kau hanya minum jus..." katanya, seketika ia teringat bahwa tadi malam Finland menolak minum sampanye dan hanya minum jus jeruk, "Selamat ya... aku ikut bahagia untukmu... Beri tahu aku kalau sudah mau melahirkan, biar aku bisa datang membantu-bantu mengurusi Aleksis..."     

Finland sangat terharu mendengarnya.     

"Terima kasih..."     

Lauriel hanya memandang adegan itu dengan tatapan datar. Ia tergugah ketika Aleksis menyuapkan sepotong buah lagi ke mulutnya, barulah ia tersenyum kepada bocah itu dan melahap strawberrynya.     

"Aleksis, kau nanti ikut Paman Rory saja ya... Ayah ibumu sudah punya anak yang lain," bisiknya. "Paman tidak punya siapa-siapa..."     

Aleksis mengangguk pasti.     

"Aku mau ikut Paman Rory..." katanya sambil tersenyum menatap Lauriel, lalu melahap sepotong anggur.     

***     

Acara pesta barbekyu akhirnya selesai dengan para tamu yang kekenyangan makan dan minum. Semua tampak bersemangat dan bahagia. Satu persatu mereka minta diri dan akhirnya pada pukul 7 malam hanya tersisa keluarga Caspar, Lauriel, semua pengawal dan stafnya serta Jean dan Franka.     

"Kami harus pergi sekarang, besok ada konferensi pers di LA..." kata Jean kepada tuan rumah. "Terima kasih sudah mengundang kami... pestanya sangat menyenangkan..."     

"Terima kasih sudah datang..." Finland memeluk Jean dan kemudian Franka. Caspar mengangguk dan tersenyum. Setelah Jean dan Franka pergi, giliran Jadeith dan teman-temannya yang kembali ke kota San Francisco. Hanya ada Ben dan dua pengawal yang membantu Kathy dan Luke membereskan sisa pesta. Lauriel telah mengundurkan diri ke perpustakaan dan menikmati wine bersama Aleksis yang minum susu. Kedua orang itu terlihat seperti memiliki dunia mereka sendiri, dan baik Caspar maupun Finland hanya bisa membiarkan mereka.     

Caspar bisa menebak apa yang terjadi, sehingga Lauriel menjadi demikian sedih. Pasti ia telah menguji DNA pada cincin Luna yang dipegangnya dan menemukan bahwa itu memang bukan darah kekasihnya. Ia mungkin sudah mencari semua informasi tentang keberadaan Luna dan mendapati bahwa gadis itu memang telah meninggal, tetapi ia tak dapat menemukan kuburnya.     

Sebab, bila Luna masih hidup... tentu ia akan mencari Lauriel, dan takkan sulit bagi Lauriel maupun Caspar untuk menemukan jejaknya.     

Setelah memastikan semua beres, Caspar mengajak Finland masuk ke perpustakaan dengan membawa sepoci teh dan dua gelas.     

"Apa kabar, Lauriel?" tanya Caspar sambil menaruh teh di meja, lalu duduk di sofa. Finland ikut duduk di sebelahnya.     

Lauriel menatap mereka dan menghela napas panjang.     

"Buruk. Aku sudah menguji kebenaran cerita Alexei, dan ia tidak berbohong... Gadis yang mati itu bukan Luna."     

Finland menatap Caspar dan Lauriel bergantian. Ia tidak tahu siapa yang mereka bicarakan. Caspar menoleh ke arah Lauriel seolah meminta persetujuannya, dan setelah Lauriel mengangguk, barulah ia menjelaskan.     

"Luna adalah kekasih Lauriel, ia meninggal dalam perang dunia 2, saat tentara sekutu mengebom rumah keluarganya di Jerman... Setidaknya itu yang dulu kami kira,"     

"Oh...." Finland menekap mulutnya karena terkejut. Ada begitu banyak hal yang tidak diketahuinya tentang Lauriel, padahal mereka berteman lebih dari dua tahun. Ia tak mengira nasib Lauriel demikian malang. "Aku turut sedih, Rory...."     

Lauriel menatapnya dengan pandangan berduka. "Luna, kekasihku... sedang mengandung saat ia pulang ke Jerman. Aku berencana menyusulnya setelah menyelesaikan urusanku di Asia dan menikahinya... Tetapi ia meninggal tanpa aku dapat menyelamatkannya... Itulah sebabnya, saat aku bertemu denganmu di San Francisco, aku merasa seolah diberikan kesempatan kedua.. Aku sangat menyayangi Aleksis, karena ia mengingatkanku akan anakku yang tidak pernah memiliki kesempatan untuk hidup..."     

Finland tanpa sadar meneteskan air mata. Ia sangat sedih mendengar cerita Lauriel. Ternyata selama dua tahun ini, ia dan Aleksis mendapatkan curahan kebaikan dan kasih sayang pemuda itu karena ia mengingat anaknya sendiri... Alangkah sedihnya...     

"Maafkan aku tidak tahu..." bisik Finland dengan suara tercekat. Tanpa sadar ia menghampiri Lauriel dan memeluknya dengan haru, "Aku turut sedih..."     

Lauriel mengangguk pelan, "Terima kasih... tidak perlu minta maaf, kau tidak bersalah. Aku merasa beruntung bisa bertemu kalian dan mendapatkan kesempatan menjadi seperti ayah bagi Aleksis..."     

Caspar melihat adegan itu dengan pandangan rumit. Ia tidak cemburu lagi kepada Lauriel, tetapi tetap saja dalam hatinya ia merasa kuatir kalau keluarganya akan direbut pemuda itu, karena Lauriel telah hidup bersama Finland dan Aleksis selama 2 tahun, bahkan lebih lama dari dirinya sendiri.     

"Aku dengar kalian akan punya anak lagi..." kata Lauriel kemudian. Finland melepaskan pelukannya dan kembali duduk di sebelah Caspar. Suaminya cepat-cepat menggenggam tangannya dan menaruhnya di pangkuannya sendiri, seakan ingin menandai teritori. Lauriel yang melihat itu hanya tersenyum tipis. "Kalian sangat beruntung..."     

"Terima kasih," Caspar mengangguk.     

"Aku tidak punya siapa-siapa..." kata Lauriel lirih.     

Aleksis yang mendengar suaranya yang sedih segera naik ke pangkuan Lauriel dan membelai pipinya. "Paman Rory jangan sedih... Paman punya Aleksis, kan?"     

Lauriel mengangguk haru dan mengacak-acak rambut Aleksis sehingga penampilan mereka tampak sama berantakannya. Caspar hanya bisa menatap adegan itu dengan miris.     

Lauriel mengangkat wajahnya dan berbicara dengan suara tegas.     

"Aku tidak punya alasan lagi untuk hidup. Aku sudah menemukan jejak Luna di Romania dan kemungkinan besar ia telah meninggal, aku akan mencoba mencari kuburnya... tapi kurasa kemungkinannya kecil. Aku sudah memutuskan untuk menyerah..." Ia memejamkan matanya dan menarik napas panjang, "Aku sudah memutuskan untuk mengambil kematian."     

Finland dan Caspar mendesah bersamaan. Mereka tidak menduga Lauriel akan memutuskan hal seperti itu.     

"Ke... kenapa harus mati?" Finland tampak shock, "Nanti bagaimana dengan Aleksis? Ia pasti akan sedih sekali..."     

"Lauriel... tolong pikirkan lagi..." bujuk Caspar.     

Lauriel menggeleng pelan, "Seperti yang sudah kubilang, aku telah memutuskan untuk mati dua tahun yang lalu, karena aku sudah tidak punya alasan untuk hidup. Aleksis memberiku alasan baru untuk melanjutkan hidup, tetapi sekarang ia telah bertemu ayah kandungnya dan ia pelan-pelan pasti akan melupakanku... Lebih baik aku pergi sekarang daripada nanti setelah ia dewasa. Ia akan lebih sedih..."     

"Lauriel..." Caspar lalu kehilangan kata-kata dan terdiam.     

"Tanpa Aleksis... aku tidak mau hidup lagi," kata Lauriel membulatkan keputusannya. "Kalau boleh, aku mau minta waktu beberapa bulan bersamanya... Aku mau mengucapkan perpisahan."     

Caspar sangat keberatan berpisah dengan anaknya yang baru ia temui beberapa minggu setelah berpisah demikian lama, tetapi di sisi lain ia tak sanggup menolak permintaan Lauriel.     

"Uhm.... bagaimana kalau kau tinggal bersama kami?" Akhirnya Caspar mengambil keputusan. "Kau bisa bersama Aleksis, tetapi aku tidak perlu kehilangan dia juga. Kumohon kau mengerti posisiku... Aku melewatkan begitu banyak momen sejak Aleksis dalam kandungan hingga ia berumur dua tahun...."     

Finland terpaku mendengar perkataan Caspar. Ia sama sekali tak menduga suaminya akan berlaku demikian bijak dan pengertian. Ia telah benar-benar sangat banyak berubah.     

Lauriel tampak berpikir sejenak, dan sesaat kemudian ia pun mengangguk. "Baiklah... terima kasih. Aku sangat menghargainya..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.