London Menyesal
London Menyesal
Sepanjang malam pemuda itu tidak bisa memejamkan mata, ia sangat bahagia karena bisa memeluk gadis yang ia cintai semalaman.
Ketika hari sudah pagi, London akhirnya merasakan kantuk dan ia tertidur justru ketika matahari muncul di kaki langit. L yang terbangun kemudian perlu waktu beberapa saat untuk mengingat apa yang terjadi semalam, dan mengapa ada London di tempat tidurnya, memeluknya.
Ia teringat peristiwa dengan hujan dan petir, dan bagaimana London datang untuk membuatnya merasa aman. Setelah berpikir beberapa saat, ia akhirnya beringsut bangun pelan-pelan agar tidak membangunkan pemuda itu. L lalu turun dari tempat tidur dan menatap wajah tampan pemuda yang berbaring di ranjangnya dengan pandangan rumit.
Dengan sangat perlahan ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah London dan mencium keningnya. L kemudian mengambil jubah tidurnya dan berjalan keluar kamar dengan langkah halus. Setelah pintu kamarnya ditutup L di belakangnya, London membuka mata pelan-pelan, dan ia menyentuh keningnya yang tadi dicium L.
Seulas senyum terukir di wajahnya.
L barusan berinisiatif menciumnya!
Ia sungguh harus berterima kasih kepada hujan.
Pelan-pelan London mengambil ponselnya dan mengetik beberapa pesan kepada Jan. Ia sengaja tidak menelepon karena tidak ingin L tahu bahwa ia terbangun. Ia tak mau gadis itu mengusirnya keluar dari kamarnya.
[Jan, sudah sampai mana proyek penelitian pengendali cuaca kita?]
[Tuan, ini baru jam 7 pagi. Otakku belum masuk kantor.] balas Jan lima menit kemudian.
[Begitu otakmu masuk kantor tolong kirim laporannya kepadaku.] Ia merenung sejenak lalu menulis pesan berikutnya. [Kalau Profesor Purdee sudah berhasil dengan percobaannya mengendalikan cuaca, aku mau kau secepatnya menyuruh dia menurunkan hujan petir di area dekat apartemenku.]
Senyum tipis menghiasi wajah London saat ia membaringkan kepalanya di bantal Elle dan memejamkan mata untuk melanjutkan tidurnya. Hmm... tempat tidurnya masih terasa hangat bekas ditiduri L, dan ia bisa mencium wangi tubuh gadis itu masih tertinggal di balik selimutnya.
***
London akhirnya bangun pukul 10 pagi ketika hidungnya mencium bau masakan di udara.
Hmm... siapa yang memasak? Apakah L? Bukankah dia tidak mengerti cara menggunakan kompor di sini? pikir London keheranan.
Ia sangat tidak rela meninggalkan tempat tidur L, tetapi ia sadar sudah saatnya ia bangun. Dengan malas-malasan ia keluar kamar L dan menemukan gadis itu sedang memasak di dapur.
"Lho... kenapa kau memasak?" tanyanya keheranan.
L yang sedang memotong sayuran menjawab tanpa menoleh, "Aku lapar. Kau tidak bangun-bangun."
"Aishh... maafkan aku, sini biar aku yang melanjutkan." London buru-buru mengambil pisau dari tangan gadis itu dan menggantikannya memotong sayuran. "Kau duduk saja yang manis. Kau mau makan apa?"
"Apa saja, aku tidak cerewet." L mengangkat bahu.
London tampak mengerutkan keningnya. "Uhmm.. kau ada mengidam atau apa? Ini sudah empat bulan lebih kan? Kalau ada apa pun yang kau inginkan... apa pun itu, aku akan coba memenuhinya."
L mengerucutkan bibirnya dan menggeleng.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya berharap tidak akan ada petir lagi seperti tadi malam. Itu sungguh mengerikan..." Sorot matanya tampak redup dan keringat dingin terlihat mengaliri pelipisnya. "Terima kasih, tadi malam kau menjagaku..."
Kata-kata yang diucapkan L dengan suara lemah itu membuat London tersentuh. Rupanya L benar-benar ketakutan tadi malam. Ia mengingat-ingat, kalau tidak salah L menyamakan bunyi petir yang bersahut-sahutan itu seperti bunyi tembakan.
Apakah L pernah mengalami sesuatu yang traumatis dengan bunyi tembakan sehingga kini ia sangat benci suara keras? London hanya dapat bertanya-tanya sendiri. L pasti tidak mau menjelaskan.
"Aku kan sudah bilang, selama lima bulan ini aku akan memastikan kau dan anak kita baik-baik saja," jawab London sambil mengangkat bahu.
Ia lalu melanjutkan memasak dalam diam, sementara L duduk di meja makan dan mengamati pekerjaannya. Setengah jam kemudian mereka sudah duduk bersama di ruang makan menikmati sarapan yang sangat terlambat.
"Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan lagi..." keluh L setelah makan dan ia melihat keluar jendela betapa cuaca terlihat gelap. London baru teringat pesan yang tadi dikirimnya kepada Jan dan buru-buru mengambil ponselnya.
[Penelitian pengendali cuaca Profesor Purdee sudah berhasil. Hujan petir segera dikirim ke pusat kota.] Jan sudah membalas pesannya beberapa jam yang lalu.
Astaga! Penelitian Profesor Purdee berhasil??
Memang Jan ini punya tangan ajaib, pikir London. APA PUN yang dimintanya pasti terlaksana. Ia melihat keluar lewat balkon dan menyipitkan matanya melihat gumpalan awan gelap berarak di angkasa dan di kejauhan ia sudah melihat kilat menyambar dan terdengar suara guruh perlahan.
Sebentar lagi kilat itu akan bergerak ke arah sini dan demikian pula bunyi petirnya, pikirnya. Ia menoleh ke samping dan melihat L berjalan ke balkon mengikutinya dengan wajah pucat pasi. Gadis itu juga sudah melihat cuaca yang memburuk, dan ia jelas tampak ketakutan.
Aduh... Tadi pagi London hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan meminta Jan untuk menghubungi Profesor Purdee agar menurunkan hujan petir di area apartemennya untuk menakuti L agar ia bisa kembali memeluk gadis itu. Tetapi kini, saat hujan petir yang diharapkannya segera tiba dan ia melihat betapa L tampak ketakutan, tiba-tiba saja dadanya dipenuhi perasaan bersalah.
Ah, mengapa ia egois sekali?
[Jan, aku tidak mengira penelitian Profesor Purdee sudah semaju ini. L tidak suka petir. Tolong nanti pastikan tidak ada hujan petir sama sekali di area rumah kami dan perhatikan juga cuaca di daerah-daerah yang akan didatangi L. Pokoknya di mana pun ia berada, jangan sampai ia mendengar suara petir lagi.]
Tepat saat ia memencet tombol SEND, terlihat kilat sangat besar menyambar di dekat gedung apartemen mereka dan satu detik kemudian terdengar suara petir yang begitu memekakkan telinga. L spontan memeluk London dan menangis di dadanya. Ia sangat ketakutan.
Entah kenapa kali ini London tidak merasa senang karena L memeluknya. Ia justru merasa sangat bersalah dan setiap isak tangis gadis itu membuat hatinya terasa sesak. Pakaiannya di bagian dada sudah basah oleh air mata L hanya dalam waktu beberapa menit saja.
"Sssh.. maafkan aku..." bisik London pelan.
Ia tak bisa membatalkan hujan petir yang sudah dikirim, sehingga selama setengah jam itu terpaksa ia harus menanggung perasaan sesak menyaksikan L yang ketakutan menangis terus-menerus dalam pelukannya.
Bukan ini yang ia mau. Ia merasa sangat menyesal.