The Alchemists: Cinta Abadi

Berterima kasih kepada hujan



Berterima kasih kepada hujan

London mengelus dada dan menyimpan barang-barangnya ke kamar. Setelah mandi, ia lalu bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk mereka.     

Walaupun tidak terlalu menyukai memasak, London bisa memasak dengan baik jika diperlukan, karena sejak ia kecil ia telah menyaksikan ayahnya yang sering berkutat di dapur menyiapkan makanan-makanan lezat bagi mereka sekeluarga.     

Ini rupanya menjadi keahlian yang berguna saat ia berada dalam situasi seperti yang dialaminya sekarang.     

"Makan malam sudah siap, ayo ke ruang makan," katanya sambil mengetuk pintu kamar L.     

L muncul dari balik pintu dan mengangguk. Ia mengikuti London ke ruang makan dan mereka lalu makan dengan tenang.     

"Aku sudah menyelesaikan daftar hal-hal yang aku sukai, dan hal-hal yang aku benci," kata L setelah menyelesaikan makan malamnya. Ia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya dan menyerahkannya ke tangan London.     

Pemuda itu mengangguk dan memeriksa isi kertas dari L. Hmm... ada 5 hal yang ia sukai, dan 2 hal yang ia benci.     

"Ini saja?" tanyanya. Ia mengira L akan menuliskan sangat banyak hal yang ia sukai, tetapi ternyata hanya ada 5. "Kau menyukai es krim di musim panas, bunga, pantai, warna merah jambu, dan boneka beruang. Semuanya cukup sederhana...."     

L hanya mengangkat bahu.     

London meneliti dua hal yang dibenci L. "Kau benci suara keras dan kau benci dibohongi... Ini juga cukup sederhana. Aku tidak mengira, ternyata kau ini cukup normal."     

"Apa katamu?" L mendelik. "Tadinya kau pikir aku ini makhluk tidak normal???"     

London buru-buru menyentuh tangan gadis itu dan mengusapnya dengan lembut untuk meredakan kesewotan L. Sungguh gadis ini cepat sekali marah. "Ahahaha... aku hanya bercanda. Kau normal sekali. Makanya aku heran. Wanita luar biasa sepertimu, tadinya kukira sangat high maintenance dan merepotkan, ternyata tidak sama sekali. Kau sangat mudah diurus."     

Dalam hati ia memang membenarkan bahwa walaupun L memiliki reputasi tertentu, dan sikapnya menyebalkan, pada dasarnya gadis ini cukup baik dan tidak menyusahkan. Ia tidak pernah mengeluhkan tempat mereka tinggal, maupun apa yang mereka makan setiap hari. Selama beberapa hari tinggal bersama, L juga belum pernah meminta macam-macam atau sengaja merepotkan London.     

Ia mengikuti perjanjian mereka dengan menjaga kesehatannya dan memberi tahu London segala kegiatannya dan menerima diantar jemput sesuai kebutuhannya, tidak mencoba-coba pergi diam-diam atau melakukan hal-hal bodoh di belakang pemuda itu.     

Secara keseluruhan London menganggap L tidak pernah merepotkannya.      

Hmm.. malah, hingga kini ia juga tidak mengidam atau melakukan hal aneh-aneh akibat kehamilannya. Sungguh gadis yang low maintenance!     

"Aku memang mudah diurus karena aku sudah belajar mandiri sejak aku masih kecil di panti asuhan," cetus L. Ia menyilangkan tangannya di dada.     

London terkesima mendengar kata-kata L. Baru kali ini gadis itu membicarakan masa lalunya yang dibesarkan di panti asuhan.     

"Hm... kau besar di panti asuhan? Sejak umur berapa?" tanyanya dengan suara lembut, berusaha tidak menyinggung L. "Kau diperlakukan baik di sana?"     

L menatapnya dengan pandangan kosong. Terlihat ia tidak suka membahas tentang masa lalunya. "Aku masuk panti asuhan sejak umur 8 tahun. Aku tinggal di sana sampai usiaku 16 tahun. Setelah memenangkan kontes menyanyi aku bekerja sebagai penyanyi di kafe-kafe dan hidup mandiri."     

London ingat, saat usianya 16 tahun ia masih bertingkah kanak-kanak dan sering kali nakal bersama adiknya Rune. Tetapi L telah mengurus dirinya sendiri dan bekerja mencari uang sejak ia masih demikian muda. Pemuda itu merasa terharu mendengar cerita masa lalu L.     

"Kau tidak sekolah?" tanya London lagi.     

L menggeleng. "Tidak ada waktu. Tapi nanti aku akan mengejar ketertinggalanku dan belajar dengan guru pribadi, supaya aku bisa mendapatkan gelar universitas dan menjadi orang terhormat."     

"Oh..." London mengangguk-angguk. Sebenarnya mudah saja baginya meneruskan pendidikan untuk L. Ia akan memanggil semua profesor bidang ilmu yang diinginkan gadis itu untuk memberinya pelajaran pribadi.      

"Bagaimana denganmu?" tanya L tiba-tiba.      

"Aku?" London menunjuk dirinya sendiri. Ia tidak mengira L akan tertarik menanyakan tentang masa lalunya.     

"Kau berasal dari Amerika? Akhir-akhir ini aksen Amerikamu sudah hilang, kau cepat beradaptasi," komentar L. "Kau tidak dibesarkan di panti asuhan juga kan? Bagaimana kehidupanmu? Kenapa bisa terdampar ke Jerman sini?"     

"Oh... aku tidak dibesarkan di panti asuhan, kau benar. Aku punya keluarga yang sangat bahagia. Ayah dan ibuku masih hidup, Aku juga punya seorang kakak perempuan dan seorang adik laki-laki."     

"Oh, yang tinggal di Singapura itu?" tanya L.     

"Kau masih ingat? Benar. Kakakku sekarang sedang berada di Singapura. Adikku di Swiss. Minggu depan ia akan datang. Mungkin kau bisa bertemu dengannya," kata London tersenyum.     

"Hmm.. entahlah. Aku tidak yakin aku punya muka untuk bertemu keluargamu. Lagipula kita sudah sepakat setelah anak ini lahir kita akan mengambil jalan sendiri-sendiri. Rasanya semakin sedikit orang yang mengetahui hubungan kita, semakin baik," kata L menanggapi ucapan London.     

"Hubungan kita? Memangnya kita punya hubungan apa?" tanya London pura-pura tidak mengerti.     

L hanya memutar bola matanya dan mendengus. "Kau tahu maksudku. Jangan berpura-pura bodoh. Sekarang kita terhubung oleh anak ini. Begitu dia lahir dan aku pergi dari sini, hubungan itu akan putus dengan sendirinya."     

London mendesah. "Aku mengerti."     

Keduanya tidak berkata apa-apa lagi. Pembicaraan tentang anak mereka seakan menjadi paku yang mematikan setiap arah pembicaraan.      

London kemudian membereskan peralatan makan mereka dan mencucinya di bak cuci. L menawarkan membantunya, tetapi ditolak pemuda itu.     

"Kau beristirahat saja. Latihan tadi pasti membuatmu lelah. Biar aku yang membereskan," katanya sambil mendorong tubuh L kembali ke ruang tamu.     

L menurut dan akhirnya berjalan ke kamarnya untuk beristirahat.     

London membereskan piring-piring mereka dengan cepat dan kemudian masuk ke kamarnya juga. Ia lalu mengeluarkan sebotol wiski dan gelas lalu menikmati minuman di balkon kamarnya sambil merenung.     

Pembicaraannya dengan L malam ini cukup mendalam. Gadis itu bahkan mau berbagi sedikit tentang masa lalunya.     

Mengingat kehidupan L yang cukup keras sejak ia masih di panti asuhan dan kemudian hidup mandiri sejak tiga tahun lalu, London menjadi tersentuh.     

Rasanya ia ingin sekali menebus semua kesulitan hidup yang dulu dialami gadis itu. Sayangnya L sama sekali tidak mau memberinya kesempatan.     

Ia menatap langit yang mendung dan digelayuti awan-awan tebal, semendung hatinya yang resah memikirkan L dan anak mereka. Setelah menghabiskan segelas wiski dan menelan sebutir obat tidur, barulah London merasa mengantuk dan beranjak tidur.     

***     

Ia baru tidur selama satu jam ketika tiba-tiba telinganya dikagetkan bunyi suara petir dari luar yang bersahut-sahutan. Ugh... ramalan cuaca memang mengatakan malam ini akan turun hujan. Ia bangun dan beranjak ke lemarinya untuk mengambil noise canceling earphone (sumbat telinga peredam bunyi) agar tidurnya tidak terganggu.     

Eh..?     

Telinganya yang tajam mendengar sayup-sayup ada suara tangisan di dekat kamarnya.     

Apakah L yang menangis?     

Secara spontan sepasang kakinya segera bergegas keluar kamar dan mengetuk pintu kamar L.     

"L... kau tidak apa-apa?"     

Suara tangisan itu terdengar semakin jelas. London menjadi sangat kuatir.     

"Aku buka pintunya ya... Aku akan memeriksa keadaanmu."     

Untunglah L tidak mengunci pintu kamarnya. London membuka pintunya dengan mudah dan ia bergegas masuk.     

Pemandangan yang ada di depannya tampak sangat menyedihkan.     

L sedang duduk meringkuk di sudut tempat tidurnya sambil memeluk bantal dan wajahnya terlihat sangat ketakutan.     

"Hei.. hei.. kau kenapa?" London buru-buru menghampiri gadis itu. L mengangkat wajahnya dengan sepasang mata yang berlinang air mata, membuat London sangat terkejut. "Astaga... apa yang terjadi?"     

Pertanyaan London seketika terjawab ketika terdengar bunyi petir sekali lagi dan L tambah mengkerut ketakutan.     

Ia segera teringat daftar hal yang dibenci L tadi; L benci suara keras.      

Apakah.. apakah bunyi petir ini begitu mengganggunya? pikir London keheranan.     

London merasa bingung. Ia belum pernah melihat orang dewasa yang demikian ketakutan pada suara petir. L mengingatkannya pada Pangeran Siegfried Kecil, anjing kakaknya yang menggemaskan itu, selalu meringkuk ketakutan saat hujan deras tiba diiringi kilat dan petir yang menyambar-nyambar.     

"Sshh... jangan takut.. ada aku di sini..." London merasa sangat tersentuh. L yang biasanya dingin dan menyebalkan itu kini tampak sangat rapuh di depannya. Jiwa kelaki-lakiannya sangat terpanggil untuk melakukan apa pun demi melindungi gadis itu. "Aku di sini.. jangan takut."     

Pelan-pelan ia memeluk L dan mengusap kepala gadis itu dengan lembut. L menatapnya dengan pandangan penuh terima kasih.     

"Terima kasih... suaranya keras sekali.. Aku tidak suka... Seperti .. seperti... mendengar suara tembakan..." bisik gadis itu terbata-bata.     

"Hmm... kau benar. Tidak usah takut. Aku akan bersamamu di sini hingga petirnya berhenti." London memeluk L semakin erat. Gadis itu lalu menyusupkan kepalanya ke dada London seolah mencari perlindungan padanya.     

Hal ini membuat dada pemuda itu berdebar-debar. Ia mencium aroma rambut L yang sangat enak itu begitu dekat dengan hidungnya. Dan desah napas gadis itu terasa hangat di dadanya. Lalu, tubuhnya yang selembut marshmallow kini menempel erat pada tubuhnya.     

Tubuhnya menegang dan kepalanya mulai membayangkan hal yang indah-indah bersama L, tetapi dengan penuh tekad ia berusaha menyingkirkan pemikiran-pemikiran itu. L sedang benar-benar ketakutan. Tidak sepantasnya ia malah memikirkan seks di saat seperti ini, rutuknya pada diri sendiri.     

Dalam hati ia berterima kasih kepada hujan yang turun begitu deras diiringi kilat dan petir dan membuat L ketakutan. Setidaknya malam ini, ia bisa merasakan kembali tubuh gadis itu dalam pelukannya.     

"Kau tidur ya... aku akan menjaga di sini... Tidak usah takut," bisiknya berkali-kali. L mengangguk dan secara spontan memeluknya ketika terdengar suara petir sekali lagi.     

Akhirnya malam itu L tidur dalam pelukan London. Walaupun sepanjang malam pemuda itu tidak bisa memejamkan mata, ia sangat bahagia karena bisa memeluk gadis yang ia cintai semalaman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.