Logika London
Logika London
Mungkin inilah pesona seorang L. Seingat London, gadis itu sangat jarang tersenyum, kecuali saat difoto, karena ia adalah seorang artis yang sangat profesional. Dalam pemotretan, L bisa berganti pose dan tersenyum 20 kali dalam satu menit.
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, seingatnya L hampir tidak pernah tersenyum. Ekspresinya biasanya datar atau dingin. Banyak orang akan menganggapnya elegan dan sedikit angkuh, tetapi L tidak pernah mempedulikan pendapat orang-orang.
Tanpa sadar London menatap bibir mungil yang sedang cemberut itu dan menjadi terpaku. Entah kenapa bayangan-bayangan peristiwa malam itu kembali muncul di benaknya. Ia ingat bibir mungil itu mendesah dan merintih dengan sangat seksi ketika mereka bercinta di bawah pengaruh obat.
Pegangan tangannya pada tangan L menjadi mengendur saat ia menelan ludah dan membuang muka. Ugh... tadi hampir saja ia mencium bibir cemberut yang menggemaskan itu.
"Pokoknya kau tidak usah bekerja di rumah untuk beres-beres ataupun mencuci. Aku sudah menyiapkan orang untuk mengerjakannya 3 kali seminggu. Kau fokus saja pada latihanmu dan kesehatanmu."
Ia menyudahi makan malamnya lebih cepat dan bergegas ke kamarnya untuk beristirahat.
London tahu bahwa tinggal bersama L selama lima bulan ke depan akan menjadi berat karena ia harus menahan diri lebih dari biasanya dengan kehadiran gadis itu di sekitarnya. Ia tidak dapat menyangkal perasaannya bahwa ia mencintai L dan bersama dengan perasaan cinta, ia pun memiliki ketertarikan seksual kepada gadis itu.
Sebagai makhluk visual ia sering kali membayangkan bagaimana tubuh L tanpa pakaiannya. Tubuhnya yang mungil memiliki lekukan yang sempurna di tempat-tempat yang tepat. Bahkan perutnya yang sekarang agak membuncit malah membuatnya tambah menarik di mata London, mengingat perempuan itu sekarang sedang mengandung anaknya.
Saat ia pergi tidur tadi malam, ia harus meminum pil untuk membantunya memejamkan mata lebih cepat karena pikirannya terus mengembara pada gadis yang tidur di sebelah kamarnya dan membayangkan bagaimana L berbaring dalam dekapannya dan tidur bersamanya, memejamkan mata sambil merasakan bunyi detak jantung mereka yang mengalun seirama.
Ugh... Ia memarahi dirinya sendiri yang tidak bisa menahan perasaannya kepada L. Gadis itu bukan orang yang tepat untuknya. L terlalu materialistis dan terlalu egois.
London merasakan dilema dalam posisinya sekarang. Ia harus melawan perasaannya sendiri bila ia tinggal bersama L, tetapi ia juga tak mau membiarkan L sendiri tanpa dirinya selama kehamilannya. Ia ingin menjaga L dan anak dalam kandungannya dan memastikan anak itu tumbuh berkembang dengan sempurna tanpa masalah apa pun hingga dilahirkan ke dunia ini.
Melihat London menyudahi makan malamnya dan pergi ke kamar, L hanya bisa menghela napas. Pandangannya tertuju pada bunga-bunga yang ada di vas dan pada makanan enak yang ada di meja.
Dalam hati ia merasa terharu karena diperlakukan demikian baik oleh laki-laki ini. Mereka sudah mengenal selama empat bulan dan semakin lama mereka bersama, semakin L dapat melihat betapa baiknya perlakuan London kepadanya. Ia belum pernah bertemu laki-laki sebaik ini.
L bukan perempuan lugu yang tidak bisa melihat bagaimana pemuda itu menatapnya dengan sepasang mata sendu setiap kali mereka bersama. Ia tahu London benar-benar mencintainya dan ini membuatnya merasa resah.
Kalau situasinya lain, L mungkin sudah kabur jauh-jauh meninggalkan lelaki ini agar perasaannya kepada pria itu juga tidak tumbuh semakin dalam. Tetapi masalahnya kini ia sedang mengandung dan ia tidak punya pilihan lain selain tinggal di sini dan membiarkan London merawatnya.
Bila tinggal bersama L menjadi semacam siksaan bagi London, L pun merasakan hal yang serupa.
Ini sungguh akan menjadi lima bulan yang berat.
***
Keesokan paginya London kembali bangun oleh suara nyanyian dari ruang tamu. Entah kenapa ia tak pernah bosan mendengar suara L walaupun ia berkali-kali menyanyikan lagu yang sama.
Untuk festival nanti ia akan menyanyikan tiga buah lagu. Satu lagu Billie Yves yang sangat terkenal, yang juga merupakan lagu kesukaan Finland, ibu London, dan dua buah lagu L sendiri dari albumnya yang baru.
Saat London keluar kamar untuk menyiapkan sarapan mereka, ia terkejut melihat di meja sudah tersedia makanan hangat.
"Aku menghangatkan sisa makanan tadi malam di microwave. Tadi malam kau hanya makan sedkit," komentar L. Ia melipat matras yoga yang barusan dipakainya dan menyimpannya ke kamar lalu ikut bergabung dengan London di meja makan. "Aku mesti latihan dengan band dan penari pengiring hari ini. Kau bisa mengantarku ke studio?"
"Jam berapa?" tanya London sambil membuat teh di poci untuk mereka berdua.
"Jam satu siang."
Jam satu siang, London ingat ia masih ada acara rapat sekaligus makan siang dengan para direktur dari divisi investasi.
"Baiklah," katanya singkat. Jan bisa mewakilinya di rapat itu.
"Terima kasih."
L menerima cangkir berisi teh dari London dan menyesapnya. Mereka lalu sarapan dalam diam.
Pukul sembilan pagi, London pamit untuk bekerja dan berjanji untuk kembali jam 12 siang nanti untuk makan siang bersama dan kemudian mengantar L ke studio.
***
Saat sedang tidak sibuk dengan pekerjaannya, London menghabiskan banyak waktunya untuk membaca-baca referensi tentang kehamilan dan bayi.
Ada begitu banyak informasi yang menurutnya sangat menarik dan dulu tidak pernah ia pedulikan. Misalnya, jenis kelamin bayi sudah bisa diketahui di usia kehamilan lima bulan. Ia tidak sabar menunggu bulan depan ketika ia bisa mengetahui gender calon anaknya.
Berbeda dengan kakak dan kakak iparnya yang sama sekali tidak ingin mengetahui tentang gender anak mereka sebelum dilahirkan, London justru sangat ingin tahu.
Ini adalah pengalaman yang sangat mendebarkan baginya karena ia benar-benar tidak tahu apa yang harus diharapkannya dan ia tidak menyukai situasi di mana ia tidak memiliki persiapan dan pengetahuan yang cukup untuk menanganinya. Karena itulah ia sangat banyak membaca dan berusaha mencari informasi sebanyak mungkin.
"Jan, kau tahu bahwa kecerdasan dan tinggi badan anak itu ternyata menurun dari ibunya," komentar London sambil menurunkan buku yang sedang dibacanya ketika Jan masuk ke ruangannya sambil membawa setumpuk dokumen.
"Aku tidak tahu," jawab Jan. Ia lalu meletakkan dokumennya di meja London dan mengangkat bahu "Kalau begitu anak Anda nanti akan pendek. Nona L tingginya hanya 156 cm."
London mendelik mendengar ucapan blak-blakan asistennya ini. Ia tahu itu, tanpa perlu dibahas lagi. Ia sendiri cukup tinggi, 181 cm dan sangat proporsional, tetapi bila tinggi badan anaknya bergantung pada genetik dari pihak ibu, maka anaknya yang akan dilahirkan L memang akan pendek.
Dalam hati ia berharap anaknya akan terlahir perempuan, karena anak perempuan bertubuh mungil justru akan terlihat cantik dan menggemaskan, tetapi anak laki-laki yang pendek mungkin akan tumbuh menjadi anak yang rendah diri.
"Aku menyesal memberitahumu informasi ini," omel London mendengar ucapan Jan barusan. Ia menaruh bukunya di meja dan memeriksa beberapa dokumen yang barusan diantar Jan dan mencoret-coret beberapa angka yang tertulis di sana. "Aku sudah meneriksa dua laporan ini dan menuliskan pendapatku. Kau bisa bawa ini untuk rapat makan siang nanti. Aku mesti pergi ke suatu tempat."
"Baik, Tuan."
Jan tidak perlu bertanya untuk mengetahui bahwa urusan bosnya nanti pasti ada hubungannya dengan L.
***
Seperti janjinya kepada L tadi pagi, pukul 12 siang London sudah tiba kembali di apartemen mereka dan menjemput L untuk berangkat ke studio.
TOK TOK
Seperti biasa ia mengetuk dua kali dan masuk ke dalam apartemen.
"Kau sudah siap?" tanyanya kepada L yang sedang mematut diri di depan cermin. Ia keheranan melihat wajah gadis itu tampak keruh. L menoleh ke arahnya dan menggeleng lemah.
"Ugh.... aku tidak bisa menemukan baju yang menutupi perutku..." keluhnya.
Memang di usia kehamilan yang lebih dari empat bulan, tonjolan di perut L mulai terlihat. Tubuhnya mungil dan langsing, sehingga segala perubahan kecil dapat terlihat sangat jelas termasuk perutnya yang mulai membukit.
Sepasang mata hitamnya tampak mulai digenangi air mata.
London menjadi tidak tega melihatnya. Ia mengambil berbagai pakaian L yang bertumpuk di kursi dan sepertinya dari tadi ia sudah coba satu persatu untuk melihat mana yang paling pantas dan sekaligus dapat menyembunyikan kehamilannya. Ia meneliti satu persatu dan kemudian mengangkat sehelai gaun longgar yang bergaya bohemia.
"Ini bagaimana? Gaunnya longgar dan terlihat kasual. Kalau ditutupi jaket dari luar orang sama sekali tidak akan curiga," katanya dengan sabar.
L menyipitkan mata dan meneliti gaun pilihan London selama beberapa saat. Akhirnya ia mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk menerima gaun itu.
"Ugh... tapi gaun ini akan membuatku kelihatan gemuk..." keluhnya. "Semua penari pendukung pertunjukanku badannya langsing dan seksi. Aku akan kelihatan seperti karung beras di tengah mereka."
"Aishh... kau ini mau menyanyi atau fashion show, sih? Kan yang penting orang tidak memperhatikan perutmu," kata London. "Suaramulah yang membuatmu unik dan semua orang menyukaimu karena suaramu yang indah itu."
L mengerucutkan bibir mendengar kata-kata London tetapi ia menurut, membawa gaun longgar itu ke dalam kamarnya dan berganti pakaian. Ia keluar kamar sepuluh menit kemudian dengan gaun kasual bohemia tersebut dan sehelai jaket yang menutupi bentuk perutnya.
"Aku harus membeli pakaian yang seperti ini untuk pertunjukan di festival beberapa hari lagi," kata L kemudian. "Ugh... aku akan terlihat gemuk."
London hanya bisa memutar matanya mendengar keluhan gadis itu. Menurutnya L memiliki tubuh yang sangat indah. Apa pun pakaian yang dikenakannya, gadis itu akan selalu terlihat cantik. Ia tak mengerti mengapa L begitu memusingkan penampilannya.
"Tunggu sebentar aku mesti mengambil sesuatu di kamar," kata London setelah mereka selesai makan siang dan bersiap untuk berangkat ke studio.
Ia lalu masuk ke kamarnya dan menelepon Jan.
"Jan, kau tahu L akan tampil menyanyi di festival dengan diiringi para penari dan musisi, kan?" tanyanya sebelum Jan sempat menyapanya.
"Hmm.. iya, memang begitu," jawab Jan. "Memangnya kenapa, Tuan?"
"Tolong katakan kepada Briliant Mind Media untuk menyediakan hanya para penari dan musisi pengiring yang gemuk untuk mengiringi L. Minimal beratnya 100 kg kalau bisa."
"Hah? Kenapa? Perintah Tuan hari ini spesifik sekali, aku tidak bisa mengerti alasannya," Jan menggaruk-garuk kepalanya, berusaha mengerti logika bosnya di balik permintaan yang demikian aneh.
Dari mana mereka mencari para penari dan musisi yang beratnya 100 kg? Dan untuk apa?
"L merasa gemuk di antara para penari pengiring yang biasa dan itu cukup membuatnya stress. Aku tidak bisa membiarkan anakku dalam kandungannya ikut-ikutan stress. Agar L merasa lebih baik, aku tidak bisa membuatnya kurus, kan? Satu-satunya cara adalah membuat orang-orang di sekelilingnya menjadi gemuk."
London menutup panggilan teleponnya dan bergegas keluar untuk mengantar L ke studio.
Di kantornya, Jan masih terpaku di tempatnya dengan telepon menempel ke telinganya dan dan mulut yang menganga. Ia tidak tahu harus berkata apa. Bosnya juga telah menutup telepon begitu saja.