Dijebak
Dijebak
"Tentu saja tidak. Aku hanya akan menikah denganmu kalau kau ini super kaya. Kaya saja tidak cukup," jawab gadis itu sambil mengangkat bahu acuh.
London memijat keningnya. Benar juga. Dia lupa kalau L hanya mau pacaran dengan laki-laki sangat kaya.
"Hm.. baiklah. Kau ini sangat menarik, tapi kalau aku adalah orang sangat kaya, aku belum tentu mau menikah denganmu. Kalau yang kau tawarkan hanyalah kecantikanmu apa nilai tambahnya bagiku? Ada begitu banyak wanita cantik di dunia ini. Kecantikan perempuan juga akan luntur setelah sepuluh tahun. Jadi kalau kau ini investasi, bisa dibilang kecantikanmu adalah investasi yang buruk. Nilainya hanya akan berkurang, tidak seperti rumah yang harganya semakin lama semakin mahal."
L tampak menyipitkan matanya, menatap London dengan kilatan berbahaya di sepasang mata hitamnya. Semua kata-kata London yang diucapkannya dengan nada santai itu tampak membuat L tersinggung.
"Perempuan cantik di dunia ini sangat banyak, tapi hanya ada satu L," desis L tidak mau kalah. "Tapi, kau tahu apa? Kau hanya laki-laki sok tahu. Kalau kau memang mengerti investasi seperti yang barusan kau bilang, kau tidak akan duduk di sini mengemis pekerjaan sebagai fotografer."
London merutuk dirinya sendiri. Melihat L cemberut, ia malah tambah terpikat dan ingin terus mengganggu L agar gadis itu tambah marah. London sama sekali tidak tersinggung dengan kata-kata pedas L. Ah, ia justru senang L bersikap judes kepadanya, daripada berbaik-baik dan menjilatnya karena tahu ia adalah seorang pria sangat kaya.
"Kata siapa aku menjadi fotografer karena aku miskin?" tanya London lagi dengan nada acuh. "Ini adalah profesi yang aku sukai. Keperluanku sedikit, jadi aku tidak perlu mencari uang banyak-banyak."
L melipat tangannya di dada dan akhirnya melengos. Ia tidak mau lagi mempedulikan London. "Terserahmu kalau begitu. Laki-laki yang egois memang hanya memikirkan dirinya sendiri. Kalau kau tidak punya ambisi untuk menjadi maju, sukses dan kaya, maka kau pantas untuk hidup sendiri selamanya. Jangan bawa-bawa wanita untuk masuk dalam kehidupanmu yang susah itu."
Lyana tak dapat lagi menahan tawanya melihat pertengkaran London dan L. Di meja itu hanya ia yang tahu rahasia London dan kecaman demi kecaman L sedari tadi terhadap London membuat Lyana menjadi geli. Ia tidak sabar melihat sampai kapan London akan bertahan dihina sebagai orang miskin.
Huh, kalau sampai L tahu siapa London sebenarnya, ia pasti akan sangat terkejut, pikir Lyana.
Stephan kembali mencoba meraba paha L. "Sudahlah... kenapa sih kau buang-buang waktu melayani Kiliian. Sebaiknya kau melayani aku saja. Aku berjanji beberapa bulan lagi kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan. Tapi... kau tahu apa yang harus kau lakukan."
"Stephan! Sudah kubilang aku bukan perempuan seperti itu!" L menepis tangan Stephan dengan marah, tetapi kali ini Stephan tidak mau ditolak. Ia menahan tangan L dan meremas tangannya dengan sangat kuat hingga gadis itu mengaduh kesakitan. "Le... lepaskan aku!!"
Stephan menarik L ke pangkuannya dan mencengkram dagu gadis itu dengan kasar. "Kau jangan sok ya! Kau bisa seperti sekarang karena bantuanku. Aku bukan Killian yang bisa kau rendahkan!"
"Stephan!!" L masih berkeras melepaskan diri tetapi Stephan lebih kuat dan kini ia memaksa hendak mencium L. Dengan wajah muak L berusaha sekuat tenaga menghindar tetapi sedikit demi sedikit wajahnya menjadi semakin dekat dengan Stephan. Air mata mulai menetes ke pipi L dan bibirnya mengkerut penuh kebencian.
Akhirnya, karena sadar fisiknya lebih lemah dari Stephan, akhirnya L memejamkan mata, tidak mau melihat Stephan yang masih memaksa menciumnya.
BRUK!!
Tiba-tiba terdengar suara pukulan dan seketika cengkraman Stephan terlepas. Dengan keheranan L membuka matanya dan melihat Stephan tersungkur di lantai dengan bibir berdarah, sementara London berdiri dengan wajah marah dan posisinya tampak habis memukul seseorang. Tinjunya masih terkepal di depan dadanya.
Selama dua detik L tampak terpana melihat laki-laki yang tadi dikecamnya justru membelanya dari Stephan yang ingin melecehkannya.
"Terima kasih..." gumamnya pelan, lalu sambil mengusap matanya yang basah, L segera berlari keluar.
Lyana masih menekap bibirnya karena terkejut. Ia melihat beberapa petugas keamanan sudah bergerak maju hendak mendekati London tetapi matanya yang tajam telah melihat seorang lelaki yang pura-pura mabuk telah menghalangi langkah para petugas itu dengan kakinya sehingga satu persatu mereka jatuh terjerembab.
"Hei!! Awas kau!!" maki seorang petugas keamanan yang barusan jatuh. Ia bangkit dan hendak memukul laki-laki mabuk yang tadi menjegal kakinya tetapi laki-laki itu terhuyung dan seperti tanpa sengaja justru berhasil menghindari pukulan. Karena penasaran, si petugas keamanan kembali berusaha memukulnya tetapi si pria mabuk kembali berhasil menghindar.
Petugas-petugas yang lain berusaha membantu temannya, tetapi tiba-tiba muncul lima lelaki bertubuh besar yang kemudian berdiri di samping si laki-laki mabuk dan tanpa babibu segera menyerang para petugas keamanan. Perkelahian segera berlangsung dan suasana menjadi kacau.
"Astaga... " Lyana menoleh ke arah London yang mengangkat bahu. Gadis itu sadar walaupun sedang menyamar, para pengawal London tentu selalu mengikuti majikannya dan memastikan ia tetap aman di mana pun ia berada.
Maka ketika tadi London memukul Stephan, mereka segera bergerak mengacaukan suasana agar para petugas keamanan Stephan tidak bisa menyentuh London. Ugh... kenapa bisa jadi begini, pikir Lyana. Hanya gara-gara seorang perempuan...
"Stephan... tolong maafkan Killian. Dia dari Amerika dan masih grasa-grusu... dia tidak bermaksud memukulmu..." Lyana buru-buru membantu Stephan berdiri. Ia harus mendamaikan kedua pria itu, kalau tidak, para pengawal London bisa menghabisi seisi rumah Stephan dan Lyana yang akan kena getahnya.
Stephan menatap London dengan mata dipicingkan sambil mengusap bibirnya yang berdarah.
"Heh... kau ini punya nyali juga ya... Berani sekali kau memukulku..." desisnya. Ia melihat ke sekeliling dan menggerutu melihat anak buahnya malah terlibat perkelahian dengan tamu, sementara L telah menghilang entah kemana.
"Kau seharusnya tidak memaksa perempuan yang bilang tidak," kata London. Ia mulai menyesal datang ke pesta Stephan.
"Cih... kau masih membelanya padahal tadi dia sudah menghinamu," kecam Stephan. "Kau ini suka kepada L? Dia itu cuma gadis materialistis! Kau bukan tipenya."
London memutar matanya. Ia sudah mendengar sepuluh kali betapa matre-nya L itu dan rasanya ia sudah mulai bosan. So what? Toh dia tidak berminat mengejar L. Walaupun L itu cantik dan suaranya indah, kematreannya sudah cukup membuat London ingin menjauh. Sebagai seorang Alchemists, wajah cantik saja bukanlah hal yang penting baginya. Semua kaum Alchemists memiliki wajah rupawan dan sempurna, dan itu bukanlah hal yang dianggap sebagai nilai lebih seseorang.
"Stephan. Aku minta maaf sudah memukulmu, tetapi aku tidak menyesal melakukannya. Menurutku perbuatanmu tadi sudah keterlaluan," kata London akhirnya. "Aku juga tidak menyukai L. Jadi jangan kaitkan ini dengan dirinya."
Sebelum London selesai bicara Stephan telah memukul bahunya hingga pemuda itu terhuyung. Tubuhnya cukup kuat sehingga pukulan Stephan tidak terlalu menyakitinya. Ketika ia hendak membalas, Lyana buru-buru memeluknya dan menahan London.
"Aduh... aduhhh... kalian ini, sok macho sekali, pakai berkelahi segala. Ini sudah bukan zamannya ya laki-laki berkelahi karena perempuan!" Gadis itu mendengus. Ia lalu berbisik cepat ke telinga London. "Tolong maafkan Stephan sekali ini ya. Orangnya memang brengsek tapi dia punya pengaruh luas di kota ini. Kalau kau cari masalah dengannya sekarang, sampai kapan pun kau tidak akan bisa mencari teman di sini. Kecuali kau mau tampil sebagai London Schneider dan membuka identitasmu. Itu pilihanmu."
Lyana lalu mendorong dada Stephan. "Kau sudah memukulnya, kan? Sekarang kalian impas ya? Aku tak mau kedua temanku berkelahi karena perempuan. Kalau kalian masih berkelahi aku akan menyatakan putus hubungan dengan kalian berdua!!"
Kedua pemuda itu saling menggulung lengan bajunya dengan tampang masam. Selama beberapa saat keduanya saling menatap kesal. Akhirnya Stephan yang mengalah dan di bibirnya tersinggung senyuman tipis.
"Kau ini boleh juga. Orang miskin tapi berani memanggil namaku tanpa embel-embel tuan, dan bahkan barusan kau berani memukulku. Hmm... memang orang Amerika berbeda dari kita di sini..."
Ia lalu mengulurkan tangannya. "Aku akan menuruti kata-kata Lyana dan melupakan kejadian barusan."
Agak ragu-ragu London akhirnya balas mengulurkan tangan dan menyalam Stephan. Ia juga tidak senang menambah musuh. Tadi ia hanya ingin mencegah Stephan melecehkan L, tetapi ia lega kalau Stephan bisa jera dan tidak memperpanjang masalah ini.
Begitu London dan Stephan berjabatan tangan dan kembali duduk, perkelahian di tengah ruangan antara para pengawal London yang menyamar dengan para petugas keamanan Stephan pelan-pelan berhenti. Pengawal London menyadari majikannya tidak lagi dalam bahaya, maka mereka bubar dengan sendirinya.
Stephan lalu bersikap seolah tidak ada apa-apa dan kembali memanggil gadis-gadis cantik yang tadi mengerubunginya untuk menemaninya minum.
"Sebagai tanda bahwa aku tidak menyimpan dendam, mari kita minum," Ia menjentikkan jarinya dan sesaat kemudian seorang pelayan datang dengan nampan berisi dua buah gelas. Dengan tenang Stephan menuang wine ke masing-masing gelas dan menyerahkan satu kepada London. "Cheers!"
Pelan-pelan London kembali menjadi rileks dan duduk tenang di tempatnya. Stephan ini memang sesuai dengan reputasinya. Ia arogan dan agak brengsek, tetapi ia pada dasarnya tidak jahat, pikir London. Ia meminum wine-nya berbarengan dengan Stephan lalu meletakkan gelasnya kembali di nampan.
Lyana tampak lega melihat kedua pria itu sepertinya sudah berdamai.
"Huh... kalian tadi sempat membuatku kuatir," omelnya. Ia menepuk bahu London dan bicara banyak hal, berusaha mencairkan suasana. London dan Stephan pelan-pelan mulai bisa bersikap sopan terhadap satu sama lain.
London mulai merasa tenang dan lengah. Pelan-pelan ia malah merasa mengantuk dan kemudian suara Lyana mulai terdengar sayup-sayup di telinganya.
***
London membuka matanya pelan-pelan dan segera merasakan seluruh tubuhnya terasa panas. Entah kenapa pikirannya tidak bisa bekerja dengan baik. Dengan kepala pusing ia berusaha duduk dan menyadari ia berbaring di sebuah tempat tidur besar yang nyaman. Tanpa pikir panjang ia membuka kancing bajunya dan segera melepaskan kemejanya, tubuhnya terasa panas dan tidak nyaman.
Di mana aku? pikirnya kesal. Walaupun kemejanya sudah dilepas tubuhnya tetap terasa panas dan dadanya sesak. Selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya segera dilemparnya ke lantai.
Saat itulah London baru melihat ada seseorang berbaring di sampingnya yang tadi tertutup selimut.
Astaga... ini kan....?
Tanpa sadar ia menelan ludahnya. L tampak cantik sekali dengan wajahnya yang tidur damai seperti malaikat dan bibirnya yang sedikit terbuka.