The Alchemists: Cinta Abadi

L



L

"Tuan mau apa?" tanya Jan Van Der Ven keheranan saat melihat London mengamati dirinya di depan cermin sambil mengatur-atur kacamatanya agar terlihat pas di wajahnya. Sejak awal tahun ini Jan telah mulai bekerja untuk London sebagai asisten pribadinya dan baru kali ini ia melihat majikannya berlaku aneh.     

Matanya juga sudah menangkap sebuah kamera butut di meja kerja London. Astaga... apa kira-kira yang sedang direncanakan London kali ini?     

"Hmm... kau tahu Stephan Zimmerman?" tanya London sambil menyipitkan mata. Ia melihat dirinya ternyata terlihat pantas sekali memakai kacamata. Selama ini ia tidak tahu karena matanya memiliki penglihatan sangat tajam, dan sebagai seorang Alchemist ia tidak akan pernah mengalami kondisi mata minus ataupun plus.     

"Hmm... tahu sedikit," kata Jan sambil mengangkat bahu. "Dia anak orang kaya yang senang berpesta dan reputasinya buruk."     

"Buruk? Setahuku dia kolektor barang seni. Lyanna mengajakku ke pesta yang diadakan Stephan, biar aku mulai bersosialisasi di antara orang-orang muda di Jerman."     

"Hmm... aku pernah satu sekolah dengan adiknya. Mereka sekeluarga itu tipikal orang kaya yang arogan dan senang merendahkan orang lain," jawab Jan dengan nada muak.     

London tertegun mendengarnya. "Benarkah? Apakah adiknya pernah memperlakukanmu dengan buruk?"     

Jan tertawa kecil. "Tidak. aku tidak apa-apa. Keluargaku sama kayanya dengan mereka, adiknya tidak bisa menindasku. Tapi aku tidak suka caranya memperlakukan guru-guru dan para murid beasiswa. Dia sangat arogan."     

"Oh, begitu..." London mengangguk-angguk. Tentu saja Jan tidak dapat ditindas oleh anak orang kaya di sekolah karena keluarga Van Der Ven sendiri cukup terpandang di Jerman. Sebelum meninggal, Kurt adalah pimpinan Schneider Group menggantikan ayahnya, Stanis.     

Sejak masih muda Jan telah disiapkan untuk menjadi penerus keluarga Schneider seperti ayah dan kakeknya, sehingga ia diberikan pendidikan terbaik dan ini semua sudah menjadi rahasia umum di kalangan atas di Jerman. Orang-orang bahkan lebih mengenal wajahnya daripada London Schneider sendiri karena pemuda itu memang sedari dulu sangat menjaga privasinya.     

"Jadi apa hubungannya?" tanya Jan kemudian. "antara kamera butut, kacamata, dan... Stephan Zimmerman?"     

"Hmm... Lyana menyarankanku untuk menyamar sebagai orang biasa. Katanya kalau orang sampai tahu aku adalah pemilik Schneider Group, akan ada banyak gadis materialistis yang akan merubungku. Jadi aku akan datang ke pesta Zimmerman sebagai fotografer miskin, sahabat Lyana dari Amerika."     

Jan mengangguk. "Masuk akal. Tuan mau aku ikut ke pesta bersamamu? Aku sudah mengenal banyak orang di kalangan atas sini. Aku bisa memberitahumu siapa-siapa yang harus dihindari, dan siapa yang bisa dijadikan teman."     

London menyipitkan matanya dan tersenyum mendengar tawaran Jan. "Hah, boleh juga. Di sana aku hanya mengenal Lyana. Akan asyik kalau kau datang juga. Kau bisa mendapatkan undangan?"     

Jan hanya tertawa pelan. "Tentu saja. Aku kenal hampir semua orang kalangan atas di Jerman."     

"Bagus. Tapi di sana kau tidak boleh memanggilku 'Tuan'. Kalau tidak penyamaranku akan sia-sia," kata London tegas.     

Jan mengangguk sambil tersenyum. Ia sangat menyukai bosnya ini karena London memperlakukannya seperti adiknya sendiri. Usia mereka hanya berbeda dua tahun dan mereka langsung cocok ketika baru pertama kali bertemu.     

Sebagai anggota keluarga Van Der Ven, Jan juga mengetahui rahasia keluarga Schneider yang hidup abadi dan muda selamanya. Sepuluh tahun lagi ketika London 'menghilang' dari publik, maka Jan-lah yang akan menggantikan posisinya.     

"Baiklah, Tuan. Lalu aku harus memanggilmu apa?" tanya Jan akhirnya.     

"Hmm... aku akan menggunakan nama Killian Makela. Jangan lupa."     

"Baiklah."     

***     

Sore itu London mampir ke studio Lyana untuk mengambil pakaian lusuh darinya dalam melengkapi penyamarannya. Lyana memberikannya seperangkat baju-baju lusuh yang didapatnya dari penampungan orang miskin di pusat kota dan gadis itu sangat puas tertawa melihat London bertransformasi menjadi orang miskin.     

"Ahahaha... jangankan gadis materialistis, sepertinya gadis miskin pun enggan mendekatimu," komentar Lyana sambil mengamati London dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Hmmm... walaupun kau sangat tampan, tapi penampilanmu terlalu miskin."     

London hanya mengangkat bahu. Ia lebih senang bila orang-orang menerimanya sebagai dirinya sendiri, dan karena kepribadiannya, bukan kekayaannya.     

"Baiklah... Kita berangkat sekarang?" tanyanya.     

Lyana mengangguk. "Kita naik mobilku saja ya, kan kita tidak mau menarik perhatian kalau datang dengan mobilmu."     

"Jan akan bertemu kita di pesta. Kau masih ingat asistenku, kan?"     

"Ya, tentu saja. Nah... dia harus berhati-hati karena gadis-gadis akan mengincarnya habis-habisan." Lyana mengingatkan. Ia kemudian tersenyum sendiri. "Hahaha.... gadis-gadis itu tidak tahu siapa pemilik Schneider Group sebenarnya."     

London ikut tersenyum membayangkannya. Yah, Jan memang dari keluarga kaya, tetapi kekayaannya tidak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan keluarga Schneider. Ia tentu berharap Jan tidak akan terjebak gadis-gadis materialistis, tetapi karena ia mengenal Jan, London percaya bahwa asistennya itu cukup berpengalaman dan tahu bagaimana menjaga dirinya.     

Lyana dan London naik mobil VW Lyana ke mansion Zimmerman yang megah di pusat kota. Malam itu halaman mansion yang luas telah dipenuhi berbagai macam mobil mewah dan satu persatu tamu naik tangga menuju ke dalam mansion dengan pakaian terbaik mereka.     

Hampir semua yang datang adalah orang-orang muda keturunan keluarga kaya di kota Berlin dan sekitarnya. Sebagian lagi adalah seniman dan selebriti yang menjadi anggota komunitas yang diakrabi Stephan.     

Sebelum datang ke pesta ini, London telah menyelidiki Stephan dan menemukan bahwa pemuda berusia 30 tahun itu adalah seorang kolektor karya seni yang cukup berpengaruh. Ia menjadi patron beberapa seniman instalasi berbakat yang kemudian menjadi terkenal.     

Dengan bantuannya juga beberapa seniman miskin berhasil menjadi seniman yang karyanya kemudian menjadi buruan para kolektor dan berbagai galeri di seluruh dunia. Selain bergerak di bidang seni rupa, ia juga memiliki perusahaan media dan hiburan yang mengangkat para penyanyi dan musisi berbakat untuk mendapatkan panggung di tingkat dunia.     

Itulah sebabnya, Stephan selalu dikelilingi oleh gadis cantik yang ingin diangkat olehnya agar menjadi terkenal. Hal ini membuat Stephan dikenal sebagai playboy yang sering bergonta-ganti kekasih. Beberapa kali ia juga terlibat tuduhan pelecehan seksual tetapi tidak ada kasusnya yang berhasil dibuktikan.     

Ketika Lyana masuk ke dalam ruang pesta yang besar, ia segera menarik London agar ikut bersamanya. "Kau jangan jauh-jauh dariku."     

London mengangguk. Ia terpesona melihat ada begitu banyak orang yang hadir di pesta kali itu. Stephan sepertinya sangat ahli mengadakan pesta. Berbagai hiburan yang disediakan sangat menarik dan membuat para tamu kagum. Hidangan yang disajikan juga berasal dari chef kelas dunia. Ini mengingatkan London akan pesta-pesta meriah yang sering diadakan pamannya, Aldebar.     

"Selamat malam, Stephan," Lyana buru-buru menarik London ke tengah ruangan ketika ia melihat Stephan duduk sambil berbincang-bincang dengan beberapa gadis cantik.     

"Heii... Lyana, pelukis kesayanganku. Apa kabar?" tanya Stephan sambil mencium pipi Lyana. "Kau datang dengan siapa?"     

"Aku datang dengan fotografer yang membantuku membuat bukuku yang baru. Ini Killian Makela. Ia sangat berbakat dan ingin mendapat kesempatan untuk mengenal banyak calon klien..." Lyana menepuk bahu Killian. "Ini Stephan Zimmerman, tuan rumah yang kuceritakan. Ia kenal banyak orang kaya yang pasti membutuhkan jasamu."     

"Hei... selamat malam, Stephan. Namaku Killian."     

Stephan menatap London dengan pandangan menyipit, "Kau satu-satunya orang kalangan bawah yang tidak memanggilku 'Tuan'. Aku menyukaimu."     

London baru sadar kesalahannya. Ah, tentu saja... sekarang ia sedang menyamar sebagai orang miskin. Tentu orang akan mengharapkannya bersikap penuh hormat kepada orang-orang seperti Stephan. Tetapi sejak kecil ia terbiasa diperlakukan sebagai tuan besar, maka secara alami ia memperlakukan Stephan tadi seperti kepada orang setara.     

"Ah, maaf, aku dari Amerika, jadi tidak biasa dengan formalitas," London menggelengkan kepalanya sedikit.     

"Tidak apa-apa. Aku juga tidak suka formalitas." Stephan menepuk bahu London dan mengambilkan segelas minuman untuknya dari baki yang ada di meja sampingnya. "Mari kita bersulang untuk pertemuan ini."     

"Terima kasih." London menerima gelas minuman dari Stephan dan bersulang dengannya.     

"Kau datang di saat yang tepat. Bintang pestanya baru akan tampil. Dia adalah alasan mengapa aku mengadakan pesta ini." Stephan tersenyum lebar setelah menghabiskan minumannya. Ia menunjuk ke arah panggung kecil di tengah ruangan megah itu. London dan Lyana mengikuti arah pandangannya dan seketika lampu ruangan digelapkan, dan panggung disinari beberapa lampu kebiruan yang indah.     

Saat lampu dimatikan dan cahaya di panggung menyorot ke bagian tengah, terdengar suara-suara seruan tertahan di antara tamu, dan muncullah seorang gadis paling cantik yang pernah dilihat London ke tengah panggung lalu mengambil mikrofon.     

"Only love can hurt like this...." desahan pelan terdengar dari bibir merah muda gadis itu, dan kemudian ia memejamkan mata dengan dramatis. Saat matanya kembali membuka, bibirnya mulai melantunkan sebuah lagu dengan suara merdu yang menghipnotis siapa pun yang mendengarnya.     

"Siapa dia?" tanya London tanpa sadar. Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari gadis cantik yang sedang menyanyi di panggung dan membuai semua tamu hingga tak satu pun sanggup bersuara.     

Pesonanya mengingatkan London pada siren, makhluk gaib setengah ikan dari mitologi Yunani yang bisa menghipnotis para pelaut dengan suara nyanyian mereka sehingga pelaut-pelaut itu terjebak dan tenggelam di dalam badai.     

"Itu L," kata Stephan sambil tersenyum tipis. "Calon superstarku yang baru."     

"L?" London tidak mengerti.     

"Namanya Elle, tetapi ia lebih senang menulis namanya dengan huruf 'L' saja. Orangnya agak aneh," Stephan menatap London. "Kau menyukainya?"     

London terbatuk-batuk mendengar pertanyaan blak-blakan dari Stephan. "Uhuk.. apa maksudmu? Aku cuma ingin tahu namanya."     

"Hmm.. lupakan dia," kata Stephan sambil memandang London dengan tatapan agak menghina. "Kau bukan tipenya. DIa hanya mau pacaran dengan orang super kaya. Bahkan kalau hanya sekadar kaya, dia tidak akan memandang sebelah mata."     

"Oh.." London menatap Elle yang sedang menyanyi dengan penuh penghayatan dan hatinya entah kenapa menjadi sedikit kecewa.     

Ah, sayang sekali. Elle ternyata salah satu gadis materialistis yang mengincar harta. Walaupun London termasuk lelaki super kaya, ia tidak mau menjalin hubungan dengan gadis yang hanya menginginkan hartanya.     

Sayang sekali....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.