Mengenang masa lalu
Mengenang masa lalu
Kenyataan bahwa keduanya tidak memesan wine sama sekali membuat mereka segera yakin bahwa tamu VVIP mereka ini sedang mengandung, dan para gadis pelayan hanya dapat saling berbisik-bisik memuji betapa anak pasangan ini nanti akan menjadi sangat rupawan karena mewarisi gen kedua orang tuanya.
"Aku masih ingat saat pertama bertemu denganmu di Sky Bar ini, kau menyamar sebagai pelayan," komentar Alaric sambil menyesap tehnya, memandang Aleksis dengan wajah geli. "Apa-apaan sih kau waktu itu? Sampai memanjat tembok setinggi itu..."
"Aku malas kalau harus lewat bawah dulu. Lagipula aku sebelumnya baru datang ke Sky Bar dan para pelayan akan mengenaliku kalau aku menyamar." Aleksis ikut tersenyum. "Apa yang kau pikirkan saat kau melihatku waktu itu?"
Alaric memutar matanya, berusaha mengingat-ingat kembali peristiwa sepuluh tahun yang lalu itu, "Aku tidak ingat persisnya, tetapi yang jelas menurutku kau terlalu cantik untuk menjadi pelayan restoran."
"Ahh... saat itu aku terkesan karena kau baik sekali," kata Aleksis jujur. "Aku tidak menyangka kau adalah Pangeran Siegfried yang kucari-cari. Aku sampai bertengkar dengan Pavel dan ia hampir melemparku dari lantai 100... Gila."
"Kau tidak bisa menyalahkannya. Pavel memang mencurigaimu sebagai mata-mata korporat. Sikapmu saat itu memang mencurigakan."
"Iya... tapi aku harus berterima kasih kepadanya. Kalau bukan karena Pavel, aku akan percaya ucapanmu bahwa kau, Pangeran Siegfried-ku, sudah meninggal..." Aleksis mengerucutkan bibirnya dan matanya pelan-pelan digenangi air mata. "Kau tega sekali waktu itu.. pura-pura sudah mati untuk menghindariku...."
Alaric sudah menduga malam ini Aleksis akan menangis lagi, karena seharian ia tampak baik-baik saja. Sudah hampir dua minggu ia menghadapi istri yang demikian sensitif dan sering sekali menangis dan ia sudah terbiasa, maka jika Aleksis tidak menemukan bahan untuk ditangisi selama seharian, justru Alaric yang akan heran.
"Maafkan aku, waktu itu aku memang bodoh sekali," jawab Alaric sama sekali tidak berusaha membela diri. Tentu sepuluh tahun yang lalu ia punya alasan kuat kenapa ia sengaja menghindari Aleksis dan pura-pura mengatakan bahwa dirinya sudah mati, tetapi malam ini ia tidak merasa perlu membantah istrinya.
"Kau juga menolak cintaku sampai dua kali..." omel Aleksis lagi. "Kau ini jahat sekali kepadaku waktu itu..."
Alaric menolak cinta Aleksis saat mereka baru bertemu karena ia tidak ingin mempermainkan perasaan gadis itu, sebab Alaric saat itu ia memang tidak mau membuka hati kepada siapa pun. Ia tidak mau kehilangan orang yang akan meninggalkannya saat mereka menjadi tua dan mati. Dan saat itu ia juga tidak mengetahui Aleksis juga seorang abadi seperti dirinya.
Tetapi lagi-lagi ia mengangguk dan tidak membantah.
"Kau benar. Aku menolakmu karena aku takut jatuh cinta kepadamu... Itu aku akui. Aku hanya seorang laki-laki biasa yang banyak melakukan kesalahan dan kebodohan." Ia tersenyum saja. "Aku beruntung kau tidak menyerah begitu saja. Sekarang aku tidak sanggup membayangkan apa jadinya hidupku tanpamu."
Akhirnya Aleksis puas dan tidak mengomel lagi sehingga mereka bisa makan dengan tenang. Selesai makan malam mereka pulang ke mansion Alaric di Bukit Timah. Tempat itu sangat jarang didatanginya selama empat tahun terakhir ini dan seperti semua kediamannya yang lain, mansion itu telah dilengkapi dengan sistem AI canggih sehingga mereka tidak lagi membutuhkan pelayan.
Dengan bahagia Aleksis segera berlari-lari kecil ke taman belakang dan melihat keadaan taman bonsai Alaric yang dulu sangat disukainya.
"Ah.. aku suka sekali tempat ini," bisiknya bahagia. "Aku mau tinggal di sini sepanjang musim dingin."
Alaric mengangguk. Ia tidak keberatan. Baginya tinggal di mana saja tidak ada bedanya. Tetapi kalau Aleksis sangat menyukai tinggal di sini, tentu ia akan dengan senang hati mengabulkannya. Baginya rumahnya adalah di mana pun Aleksis berada.
"Kita bisa tinggal di sini sampai bulan Maret kalau kau mau. Di musim semi kita kembali ke Eropa dan menikmati keindahan musim semi. Anak-anak juga bisa datang kemari kalau mereka inginkan."
"Aku senang sekali!" Aleksis mencium suaminya dengan perasaan sangat gembira. Setelah puas melihat-lihat taman bonsai yang indah itu ia bergerak ke perpustakaan. Alaric sudah bisa menebak apa yang ingin dilakukan gadis itu.
Benar saja, dengan antusias Aleksis mengeluarkan seperangkat permainan Baduk dan mengacungkan beberapa biji Baduk ke arah Alaric. "Mau bermain satu set bersamaku? Aku sudah banyak berlatih selama sepuluh tahun ini."
"Tentu saja. Tapi sekarang sudah sangat malam, kenapa tidak beristirahat saja. Besok kita bisa main sepuasnya." Alaric segera meralat kata-katanya ketika melihat air mata kembali menggenang di mata istrinya. "Uhm... baiklah. Kita bisa main satu set."
Dalam hati ia sudah bertekad untuk mengalah agar permainan mereka cepat berakhir.
Aleksis menaruh papan baduk di meja dan sesaat kemudian mereka pun sudah menekuni biji baduk masing-masing. Aleksis mengambil biji hitam dan Alaric mengambil biji putih. Setelah hampir satu jam bermain, Alaric mulai mengalah. Ia sudah sangat ahli bermain sehingga bisa mengalah tanpa menimbulkan kecurigaan. Beberapa kali ia pura-pura mengomel karena salah langkah dan membuat Aleksis tersenyum penuh kemenangan.
"Astaga.. permainanmu meningkat pesat. Aku mengaku kalah..." kata Alaric kemudian. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan memasang wajah kecewa. Aleksis melompat gembira begitu Alaric mengaku kalah. Jiwa kompetitifnya memang sangat tinggi dan ini merupakan pertama kalinya ia menang bertanding baduk melawan Alaric, sehingga hatinya sangat senang.
"Yeahhhh!!!! Akhirnya aku mengalahkanmu juga... Setelah berlatih selama 18 tahun..." Senyum kemenangan Aleksis kemudian berubah menjadi senyum haru. "Oh, kerja kerasku membuahkan hasil..."
Dan ia kembali menangis.
Alaric hanya bisa menghela napas. Ia tahu Aleksis sekarang benar-benar sangat sensitif karena hormon kehamilannya yang menyebalkan, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Dalam hati ia memuji Nicolae yang dulu bertahan menghadapi Aleksis selama tiga bulan ketika Aleksis kabur dari rumah dan tinggal bersamanya.
"Tentu saja kerja kerasmu membuahkan hasil, dan kau layak menerima hadiah karena sudah berusaha keras. Aku akan menepati janjiku dan mengabulkan satu permintaanmu kalau kau mengalahkanku," kata Alaric sambil merapikan peralatan baduk mereka. "Apa yang kau inginkan?"
"Uhm... aku tidak tahu apa yang kuinginkan sekarang. Bisakah aku menyimpan permintaan ini untuk suatu hari nanti?" tanya Aleksis di sela isaknya.
"Tentu saja... tentu saja." Alaric mengacak rambut Aleksis setelah menaruh kotak Baduknya di lemari dan menarik tangan Aleksis dari duduknya. "Sekarang sudah jam 1 pagi. Tidur ya?"
Akhirnya Aleksis mengangguk. Mereka pun beristirahat di tempat tidur. Seperti biasa Alaric memeluk istrinya dari belakang. Saat Alaric hampir saja berhasil terlelap, Aleksis berbalik dan menghadapnya.
"Sayang..." bisiknya.
Alaric membuka matanya dan menatap Aleksis dengan pandangan bertanya, "Ya?"
"Aku menyebalkan sekali ya... Aku benci diriku yang begini sensitif dan gampang menangis..." bisik Aleksis lagi.
"Kau tidak menyebalkan. Lagipula kata Nicolae ini hanya sampai trimester kedua. Tidak lama kok," kata Alaric tegas. "Sekarang tidur ya."
"Kau jangan meninggalkanku kalau aku menyebalkan ya..." rajuk Aleksis, masih berkeras tidak mau tidur.
Alaric melihat jam tangannya dan mendesah. Sudah jam 2 pagi.
"Tentu tidak. Lagipula kau tidak menyebalkan, Sayang." Ia lalu membujuk Aleksis dengan berbisik, "Kau tahu kalau sampai aku membuatmu menangis sudah banyak orang yang antri siap membunuhku. Orang nomor satu adalah aku sendiri. Jadi jangan pikirkan hal konyol seperti itu lagi."
"Hmm... baiklah." Aleksis akhirnya mengangguk dan kembali meringkuk sambil menarik tangan Alaric ke dadanya, agar kembali memeluknya dari belakang.
Alaric memastikan gadis itu benar-benar tidur dan tidak ada pertanyaan lagi sebelum kemudian ia berani memejamkan mata.
Sampai trimester kedua... hmm, berarti empat bulan lagi hidup seperti ini, pikirnya sebelum terlelap.