Killian Makela
Killian Makela
Mohon maaf tadi saya salah publish, side stories "Luna & Lauriel" harusnya masuk ke Volume 3 Side Stories, tapi nggak sengaja masuk ke volume 2. Tolong buka di Volume 2 aja ya, di bab 401, sesudah Volume 2 tamat.
***
Akhir-akhir ini Finland merasa semakin kesepian. Sudah beberapa bulan rumah mereka terasa begitu sepi karena Rune memutuskan untuk pindah tinggal bersama Aldebar agar lebih mudah melakukan proyek penelitian transponder yang sedang mereka kerjakan bersama, sementara London telah pindah ke Berlin dan lebih banyak menghabiskan waktunya di sana.
Sejak bertemu Lyana di pesta pernikahan kakaknya di Grosetto, London mulai menjalin persahabatan dengannnya. Lyana adalah seorang artis seni kontemporer yang sangat menyenangkan. Keduanya langsung cocok ketika berbincang-bincang tentang berbagai seni fotografi dan seni rupa, karena memiliki minat yang sama.
Lyana memiliki studio desain kecil di Berlin dan saat London tidak sibuk, ia sering mengunjunginya dan mereka akan minum bersama sambil mengobrol. Keduanya juga dapat bersahabat baik secara platonik karena tidak ada rasa cinta di antara mereka.
London yang selama ini hanya memiliki Rune dan Aleksis kakaknya sebagai teman, mulai menikmati kehidupan di luar sangkar emas orang tuanya dan bergaul di kalangan orang muda di Jerman, mengikuti Lyana yang ternyata cukup populer di sana.
"Aku ini hanya artist biasa dan orang-orang di komunitasku tidak ada yang tahu siapa diriku sebenarnya. Minggu depan, aku mau mengajakmu bertemu lebih banyak orang di pesta yang diadakan Stephan Zimmerman. Dia itu kolektor seni yang cukup berpengaruh dan bisa dibilang salah satu bujangan paling diidamkan di Jerman. Tapi...." Lyana menyipitkan matanya menatap London dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau tidak boleh mengaku sebagai pemilik Schneider Group. Kau harus pakai nama lain, dan sedikit menyamarkan penampilanmu. Aku tak mau kau nanti dirubung gadis-gadis matre yang hanya menginginkan kekayaanmu... Siapa yang tahu mereka akan melakukan tindakan sekeji apa untuk mendapatkanmu."
London bergidik mendengarnya. Ia seketika teringat peristiwa beberapa bulan lalu ketika datang ke perayaan ulang tahun Virconnect keempat dan kakak iparnya hampir dijebak tidur oleh seorang perempuan dengan obat perangsang.
Sejak itu ia sangat berhati-hati dan tidak ingin sampai terperangkap dalam jebakan yang sama. Itulah sebabnya ia merasa nyaman berteman dengan Lyana karena gadis itu sudah mengetahui siapa dia sebenarnya dan tidak pernah tampak berusaha melakukan hal-hal yang tidak pantas.
"Baiklah, aku mengerti." London mengangguk. "Aku bisa memakai nama tengahku dan marga ibuku. Aku akan punya dua persona. Di dunia bisnis aku menjadi diriku sebenarnya dan di kalangan orang biasa aku bisa menjadi orang biasa juga."
"Nah, itu bagus sekali. Dengan demikian kau bisa menyaring siapa saja orang yang sungguh-sungguh ingin menjadi temanmu dan siapa yang menginginkan sesuatu darimu." Lyana tersenyum lebar. "Kalau begitu, kita harus menyiapkan cerita tentangmu. Jadi kalau ada orang yang menanyakan siapa dirimu, kau bisa bilang.. oh, kau ini seorang tukang listrik atau apa... ahahahaha."
London mengerutkan keningnya dan berpikir sejenak. "Hmm... aku bisa menjadi fotografer miskin yang sedang berjuang menjual karyaku ke media. Aku bisa membeli kamera murah. Atau aku bisa menjadi peternak biri-biri... Sewaktu kecil dulu aku dan adikku memang pernah membesarkan segerombolan biri-biri di New Zealand... hahaha."
"Hmm.. fotografer saja, lebih masuk akal. Lalu kau mau pakai nama siapa?"
"Nama tengahku adalah Killian, dan marga ibuku adalah Makela."
"Wahh.. namamu cukup unik. Aku suka Killian Makela." Lyana mengangguk-angguk. "Nah, sekarang, penampilanmu... Walaupun kau cukup baik dalam menghindari media, aku yakin satu dua orang pernah melihat gambarmu di internet. Mungkin kau bisa pakai kacamata yang jelek sekali dan pakai baju yang tidak modis."
London memutar matanya. "Kacamata masih oke lah, tapi dari mana aku dapat baju yang tidak modis?"
Lyana tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Dengan gemas ia menepis kepala London. "Aku tahu kau ini anak orang kaya dan selama ini hidupmu di sangkar emas, tapi aku tidak mengira kau ini sungguh menyedihkan. Masa itu saja tidak tahu? Kita bisa ke toko barang bekas di pusat kota. Pasti aku bisa membantumu mencari pakaian yang jelek di sana. Kau tidak usah kuatir. Minggu depan kalau kau ke studioku lagi, aku akan menyiapkan beberapa setel pakaian lusuh untukmu. Fotografer dan para pekerja seni itu kan biasanya miskin. Kau harus tampil meyakinkan."
London mengangguk gembira. Rasanya ide-ide Lyana selalu menyegarkan. Ia tak sabar bertemu banyak orang baru di pesta itu dan mulai menggunakan alter egonya sebagai Killian Makela.
Tentu sangat menyenangkan bisa bertemu banyak orang dan berteman dengan mereka tanpa harus kuatir mereka menyukainya hanya karena hartanya.
***
"Aku merasa sedih karena anak-anak sudah mulai menemukan kehidupan mereka sendiri..." keluh Finland setelah menutup sambungan Virconnect untuk mengobrol dengan Rune dan London.
Rune masih asyik dengan proyeknya bersama Aldebar, sementara London dengan antusias menceritakan rencananya untuk mencari teman dengan menggunakan identitas baru.
Caspar yang duduk di sampingnya hanya tersenyum jahil mendengar keluhan istrinya. "Kan aku sudah bilang, solusinya adalah punya anak lagi... Biar rumah kita tidak sepi lagi."
Finland memukul bahunya karena gemas. "Kau ini...."
"Aku kan tidak salah?" tanya Caspar sambil pura-pura mengaduh kesakitan. "Coba bilang, apa yang membuatmu keberatan?"
"Ish... anak perempuanmu sedang mengandung dan akan segera melahirkan bayinya. Masakan aku ibunya akan melahirkan bayi juga dalam jarak berdekatan. Ini tidak wajar!" cetus Finland.
"Lho... memang beginilah masyarakat kita. Tidak ada yang wajar di dalamnya kalau menurut standar manusia biasa. Adikku, Flora lahir ketika aku berusia 100 tahun, dan Aldebar lahir ketika aku berusia 238 tahun. Bayangkan, di mana letak kewajarannya?"
Finland menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya benar. Tidak ada yang dapat dianggap wajar dalam masyarakat Alchemist ini. Manusia biasa akan menua saat mereka sudah menginjak usia 40-an tahun, tetapi lihatlah Finland, umurnya sekarang sudah 54 tahun dan penampilannya masih seperti gadis berusia 25 tahun saja.
"Sudah 30 tahun... tapi rasanya aku masih sulit terbiasa," keluh Finland. "Dan di rumah ini, hanya aku yang masih sulit menerima kenyataan ini. Anak-anak kita semuanya dilahirkan dalam budaya dan kehidupan orang Alchemist, buat mereka ini semua wajar. Ugh... rasanya hanya Jean yang bisa mengerti perasaanku..."
Caspar mengangguk penuh pengertian. Ia lalu menarik Finland untuk duduk di pangkuannya dan mengusap rambutnya. "Kau mau bertemu Jean dan mengobrol dengannya? Kita bisa mengundang mereka ke rumah kita. Rasanya sejak acara pernikahan waktu itu, kalian belum bertemu lagi kan?"
Finland menatap Caspar dengan penuh terima kasih dan kemudian mengangguk. "Aku mau. Terima kasih karena kau sudah mengerti aku..."
"Tentu saja." Caspar mencium bibir Finland dengan mesra dan tersenyum jahil, "Aku tidak keberatan menerima bentuk terima kasihmu... hehe."
Finland tahu apa maksud suaminya dan ia hanya tertawa sambil tersipu. Caspar sangat suka menggodanya dan sikapnya tidak pernah berubah walaupun mereka sudah menikah selama 31 tahun.
Caspar tidak pernah pelit mencurahkan kasih sayangnya dan menunjukkan betapa ia memuja istrinya dengan terang-terangan menyatakan bahwa ia menginginkan Finland tanpa pernah merasa puas.
Kehidupan pernikahan mereka sangat menyenangkan secara psikologis dan seksual, dan Finland selalu merasa bersyukur ia menerima lelaki ini sebagai suaminya tiga dekade yang lalu. Seumur hidupnya yang lebih dari setengah abad, ia belum pernah jatuh cinta kepada siapa pun selain kepada Caspar.
Sewaktu ia masih mahasiswa, ia pernah menyukai Tony Wu dan Jean, tetapi perasaannya kepada mereka hanya sebatas menyukai dan kemudian sayang sebagai sahabat.
Baru kepada Casparlah ia menemukan belahan jiwa yang mengerti dirinya dan menerima segala ketakutan dan kekurangannya, sehingga Finland mau membuka hati dan menyerahkan diri.
Berbeda dari apa yang banyak ia dengar, bahwa pasangan biasanya akan pelan-pelan berkurang rasa cintanya setelah menikah lama, yang ia rasakan justru sebaliknya.
Kedekatan batinnya dengan Caspar semakin kuat. Mereka semakin saling mencintai, dan seiring dengan Finland yang semakin bertambah matang, ia dapat kini mengimbangi kematangan Caspar dalam berpikir dan bersikap.
"Uhmm.. baiklah... aku bisa menunjukkan rasa terima kasihku," balas Finland dengan senyum menggoda. "Di sini atau di kamar?"
Caspar tidak menjawab, ia hanya tertawa pelan sambil bangkit berdiri masih dengan Finland di pangkuannya, sehingga ia otomatis menggendong istrinya di kedua tangannya. Dengan penuh semangat ia berjalan ke kamar tidur mereka sambil melancarkan ciuman-ciuman menggoda pada Finland.
Kamar mereka sangat megah dengan jendela besar dari lantai hingga langit-langit yang membuka ke taman yang kini dipenuhi bunga-bunga tulip di musim semi. Tetapi malam ini jendela itu ditutupi tirai blackout untuk memberi privasi bagi penghuninya.
Sesampainya di kamar, Caspar segera membaringkan istrinya di tempat tidur besar mereka dan melanjutkan cumbuannya di sana. Hampir setiap hari keduanya bercumbu dan bercinta selama tiga puluh tahun, tetapi entah kenapa ia tidak pernah merasa bosan.
Ia ingat dulu sekali ia sudah bosan dengan perempuan yang dikencaninya setelah tidur dengan mereka satu dua kali, sementara dengan perempuan satu ini, ia tidak pernah merasa cukup.
Kini ia tak dapat membayangkan tidur dengan wanita lain sama sekali, dan kehidupannya sebagai playboy di masa lalu rasanya hanya seperti mimpi yang tidak nyata. Ugh... ia sekarang sangat keras mewanti-wanti anak-anak lelakinya agar tidak mengikuti kelakuannya yang buruk itu.
Dalam hati ia sangat senang Aleksis sudah menemukan suami yang sangat mencintai dan memujanya, dan Caspar bisa melihat betapa bagi Alaric tidak ada wanita yang lebih menarik daripada Aleksis, sama seperti Finland bagi Caspar sekarang. Ia merasa lega karena kelakuan buruknya di masa lalu tidak menghadirkan karma untuk anak perempuannya.
Ia melampiaskan rasa syukur atas kebahagiaannya sekarang dengan menggauli dan memuaskan wanita yang memberinya semua kebahagiaan ini.
Tanpa Finland di sisinya, mungkin sampai sekarang ia masih berganti-ganti wanita dan tidak akan memiliki ketiga anaknya yang menjadi sumber kebahagiaannya sekarang. Walau apa pun yang terjadi, ia takkan mau menukar mereka dengan seisi dunia.
***
"Sayang... selain bertemu Jean... rasanya aku juga mau melakukan sesuatu yang sudah sangat lama kuhindari," kata Finland saat mereka berbaring sambil berpelukan setelah selesai bercinta. Napas keduanya sudah mulai teratur dan detak jantung mereka kini bergerak seirama.
"Apa itu?" tanya Caspar tertarik. Ia menatap Finland dan berusaha menebak jalan pikirannya. Apa gerangan yang tiba-tiba diinginkan istrinya ini?
"Aku mau datang ke Indonesia dan menapak tilas kehidupanku di sana. Sudah lebih dari 30 tahun aku tidak pulang..." kata-kata Finland sebenarnya mengejutkan Caspar tetapi pria itu menjaga ekspresinya tetap terlihat tenang.
"Kau bilang kau tidak pernah menganggap Indonesia sebagai rumahmu," kata Caspar. "Kenapa tiba-tiba ingin pulang ke sana?"
Finland mengangkat bahu. "Entahlah. Selama ini aku selalu menghindarinya karena pengalaman burukku selama tinggal di sana. Tetapi kupikir-pikir, setelah 30 tahun, aku seharusnya sudah bisa pulih dan tidak lagi membenci tempat itu. Kurasa sudah saatnya berdamai dengan masa lalu."
Caspar menatap Finland dengan penuh perhatian dan kemudian mengangguk. "Aku senang kau berpikir seperti itu."
"Sudah saatnya," Finland menoleh dan tersenyum. Caspar mengangguk.
"Aku akan menemanimu." Ia mencium istrinya lalu mengusap kepalanya pelan. "Sekarang tidurlah. Aku akan mengatur perjalanannya besok."
"Mmmm... terima kasih. Aku mencintaimu," bisik Finland. Ia memejamkan mata dan tidur. Caspar masih memandanginya untuk beberapa saat dan berpikir.
Finland selalu menolak datang ke Indonesia selama puluhan tahun mereka bersama. Rupanya luka hatinya saat dulu tumbuh dewasa di sana dan mengalami hinaan serta siksaan dari teman-teman sekolahnya meninggalkan bekas yang sangat dalam, sehingga tanpa sadar ia membenci negara itu dan berusaha untuk menghindari datang ke sana.
Caspar tidak pernah memaksanya untuk ke sana, walaupun ia berharap suatu hari Finland mau membuka diri dan berdamai dengan masa lalunya.
Ia tidak menyangka, tiba-tiba saja, 30 tahun kemudian, Finland akan mengusulkan sendiri untuk kembali ke Indonesia. Ia berharap ketika mereka ke sana, Finland benar-benar bisa memulihkan hatinya dan tidak lagi mengingat-ingat perbuatan jahat teman-teman sekolahnya dulu.