The Alchemists: Cinta Abadi

Aku tidak mau jatuh cinta kepadamu



Aku tidak mau jatuh cinta kepadamu

"Tuan... TUAAAN.... " Jan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah London yang sedang melamun. Pemuda itu tersentak dan melotot ke arah Jan yang menyandang jabatan sebagai direktur muda di Schneider Group, padahal dalam kenyataannya hanyalah bekerja sebagai asistennya dalam kehidupan personal maupun profesionalnya.     

"Kenapa memanggilku seperti itu?" tanya London sambil mengerutkan keningnya. "Aku tidak tuli, ya."     

Jan mendeham dan mengerling ke sebelah kiri. Barulah London menyadari Fritz Himmel, Direktur Keuangan, sedari tadi menatapnya dengan penuh perhatian dan berusaha meminta pendapatnya.     

Astaga, mereka sedang meeting direksi dan pikirannya tadi melayang entah ke mana.      

"Jadi bagaimana pendapat Tuan?" tanya Fritz sekali lagi. "Saya bisa mengulanginya kalau Anda perlukan. Saya lihat tadi Anda sedikit melamun. Kalau Anda sakit, saya juga tidak keberatan menunda laporan saya dan menjadwalkan ulang semuanya."     

London buru-buru melambaikan tangannya dan mengangguk.     

"Semuanya oke. Aku setuju." Ia lalu berdiri dan mengambil jasnya. "Sisanya kirim saja lewat email. Aku harus pergi."     

Payah. Ia belum pernah sampai melamun begini di tengah rapat bisnis sebelumnya. Ia sangat malu membayangkan kalau sampai desas-desus tentang dirinya sampai ke telinga ayahnya atau kakaknya, Terry.     

Tadi semuanya baik-baik saja. Rapat berjalan baik dan diskusi mereka sangat produktif. Lalu tiba-tiba ia menerima email dari Nick berupa lampiran sepuluh foto yang dipilihnya dari ketiga sesi pemotretan tiga hari lalu. Begitu membuka lampiran email, segera saja London terbenam dalam pesona sepuluh foto yang menampilkan seorang gadis paling cantik yang pernah dilihatnya.     

Perhatiannya pada presentasi Fritz Himmel berkurang menjadi hanya 50 persen saat ia mulai mengamati tubuh indah L di dalam foto dan sepasang matanya yang galak namun begitu memikat.     

Lalu perlahan-lahan perhatiannya pada presentasi Fritz menurun menjadi 30 persen, 20 persen, dan akhirnya nol persen saat ia scrolling untuk melihat foto-foto berikutnya.     

Presentasi Fritz Himmel: NOL PERSEN.     

Foto-foto L: SERATUS PERSEN.     

Ahh... selera Nick ternyata sama dengannya. Semua foto pilihannya adalah foto yang akan dipilih sendiri oleh London.     

Sial. Rupanya London terpaksa mengakui bahwa ia memang menyukai L. Belum pernah perhatiannya teralihkan demikian parah oleh seorang wanita sebelumnya.     

Setelah insiden barusan, London sadar ia harus membereskan masalah ini segera, kalau tidak ia akan menjadi bahan tertawaan Terry ketika kakaknya itu mendengar apa yang terjadi. Karena itulah ia memilih menghentikan rapat dan keluar untuk mencari L.     

"Rapat dibubarkan," seru Jan kepada para direktur lain sambil berlari mengejar London yang sudah berjalan keluar ruang rapat. Ia buru-buru berjalan menjajari langkah bosnya dan segera menebak apa yang ingin dilakukan London. "Tuan akan mencari L dan mengakui perasaan Tuan kepadanya?"     

London menoleh kepada Jan dan mengernyitkan kening. "Sok tahu. Aku hanya ingin memastikan perasaanku. Belum tentu aku memang menyukainya."     

"Lah... lalu bagaimana Tuan akan memastikan perasaan Anda kepadanya kalau bukan dengan menyatakan cinta?" tanya Jan keheranan.     

"Aku perlu bertemu dengannya dan mencari tahu apakah yang kurasakan ini adalah perasaan romantis kepada seorang perempuan, atau karena aku merasa bersalah kepadanya. Itu saja," jawab London.     

"Ah, baiklah. Anda perlu jadwal L hari ini atau tidak?" tanya Jan lagi. Ia membuka tabletnya dan dengan cepat meneliti satu dokumen. "Saat ini ia sedang di rumahnya menulis lagu, dan nanti sore dia akan berlatih menari di studio hingga pukul 7 malam, kemudian makan malam bersama calon produser album barunya di Medusa Restaurant."     

"Kalau begitu aku akan ke rumahnya," kata London, mengambil keputusan.     

Ia yakin kali ini L akan mau menemuinya kalau ia datang ke rumahnya, karena di saat terakhir mereka bertemu, gadis itu tidak lagi bersikap judes kepadanya.      

"Semoga berhasil," kata Jan sambil menepuk bahu bosnya pelan. London hanya mengangguk dan berlalu.     

Semoga berhasil dalam hal apa? Ia bertanya kepada dirinya sendiri.     

Semoga berhasil menjadi normal kembali, atau berhasil mengetahui perasaannya yang sesungguhnya kepada L, atau semoga berhasil mengajaknya kencan... atau...?     

London tiba di apartemen L sepuluh menit kemudian. Ia memutuskan untuk memencet bel ke unit L dan menunggu jawaban di lobi.     

"Siapa?" terdengar suara L dari interkom dan London buru-buru menjawab.     

"Ini aku, Killian Makela. Ada yang mau kubicarakan kepadamu.".     

L mengamati sosok London dari kamera lobi yang terhubung ke monitor di pintunya dan tampak berpikir selama beberapa saat. Akhirnya ia memencet tombol BUKA dan pintu lift segera terbuka bagi London agar ia dapat naik ke lantai 8 tempat unit L berada.     

Begitu keluar dari lift dan menemukan pintu unit yang dicarinya, London berdiri terdiam sesaat di depan pintu dengan tangan ragu-ragu hendak mengetuk pintu.     

Ternyata dugaannya benar. L mau menerimanya masuk dan bertemu dengannya... London tidak menyangka akan semudah ini.     

Sekarang ia sudah ada di depan pintu, namun entah kenapa London tidak tahu harus bicara apa.     

Tiba-tiba saja pintu dibuka dan L sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah buku di tangannya. Matanya tampak menilai London dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, dan sesaat kemudian bibir gadis itu menyunggingkan senyum tipis.     

"Masuk," perintahnya, dan seperti kerbau dicucuk hidung London masuk ke dalam. L menunjuk sofa di ruang tamu yang berwarna krem dan mempersilakan London duduk. "Duduklah, aku akan siap setengah jam lagi."     

Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan tidak keluar lagi.     

London hanya bisa duduk di sofa dengan kebingungan. Apa maksud L dengan mengatakan ia akan siap setengah jam lagi?     

Ia kan belum mengatakan tujuannya datang ke sini.     

"Dapur ada di sebelah kirimu. Kalau haus, ambil sendiri minuman dari kulkas." Terdengar suara gadis itu dari dalam kamar. London tertegun. Ia semakin tidak mengerti. L memang seorang manusia aneh. Semua tingkah lakunya sulit ditebak.     

"Terima kasih, aku baik-baik saja," balas London kemudian.     

Ia lalu memperhatikan sekelilingnya dan memutuskan untuk melihat-lihat apartemen L. Unit itu kecil tetapi ditata dengan apik dan terkesan sangat feminin. L memang seorang gadis yang feminin, pikir London kemudian, dan itu tercermin dalam pilihan warna-warna terang pada dekorasi dan perabotannya.     

Ah, ya... wajar saja, gadis itu masih sangat muda, seleranya masih agak kekanakan, pikir London. Ia membandingkan dengan penthouse-nya yang bernuansa gelap dan sangat elegan. Segalanya ditata oleh desainer profesional sesuai seleranya. Seleranya elegan, tidak seperti L.     

Sebagai contoh, London tidak mungkin menaruh meja merah jambu di sudut ruangan seperti yang ada di unit ini.     

Ya Tuhan... warnanya, pikir London.     

Entah kenapa meja merah jambu itu tiba-tiba sangat mengganggunya. London tak dapat membayangkan bila nanti L menikah dengannya dan gadis itu memaksa menaruh barang-barang berwarna merah jambu di rumah mereka. Sungguh mengerikan!     

Tiba-tiba London batuk-batuk sendiri.     

Ia tak percaya barusan pikirannya mengembara sejauh itu.     

Menikah dengan L? yang benar saja. Ini baru pertemuan ketiga mereka. Ia bahkan belum tahu apakah ia menyukai gadis itu. Ia justru datang kemari untuk memastikan perasaannya.     

Meja sudut merah jambu tadi memberi L nilai minus di kepala London. Bah, tidak mungkin dia mengorbankan tempat tinggalnya yang elegan untuk gadis yang akan memaksanya memasang meja konyol seperti itu di rumahnya.     

Ia lalu berjalan ke arah dapur dan melihat bahwa dapurnya yang kecil tampak cukup sering dipakai memasak.     

Hmm... Apakah ini artinya L bisa memasak?     

Wah... nilai minus dari meja tadi sudah ditutup oleh kemampuan L memasak. Skornya kembali menjadi netral.     

London lalu melihat ke balkon dan menemukan ada beberapa pot tanaman yang dirawat dengan baik.     

Ia mengangguk-angguk puas. Perempuan yang bisa memasak dan merawat tanaman membuatnya sangat senang. Skor sekarang menjadi 1-2.      

1 poin negatif untuk meja merah jambu.     

2 poin positif untuk memasak dan berkebun.     

Skor sudah berubah menjadi positif.     

Ha.     

"Baiklah, aku sudah siap." L akhirnya keluar dari kamar dan London yang berbalik untuk melihatanya seketika berdiri tertegun di tempatnya.     

L mengenakan gaun selutut yang anggun berwarna merah dan rambut diikat ekor kuda yang simpel, wajahnya hampir tanpa riasan, dan kakinya dihiasi sandal bertali merah senada dengan gaunnya. Membuatnya terlihat cantik sekali.     

Skor sekarang 1-12.     

1 poin negatif untuk meja merah jambu.     

2 poin positif untuk memasak dan berkebun.     

10 poin positif untuk penampilannya yang demikian mempesona, ditambah bibirnya yang akhirnya tersenyum.     

"Kau... cantik sekali," puji London tanpa sadar.     

"Terima kasih," balas L. Ia menarik tangan London keluar dari apartemennya dan memencet tombol lift. "Jadi, kemana kau akan membawaku kencan?"     

"Eh...?" London terkejut mendengar pertanyaan L. "Apa maksudmu?"     

L mengerucutkan bibirnya. "Kau ke sini bukannya mau mengajakku kencan?"     

"Aku..." London mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Kenapa kau mengira aku datang untuk mengajakmu kencan?"     

"Iiish..." L berkacak pinggang dan senyumnya seketika menghilang. Suaranya berubah menjadi sinis. "Kau datang ke sini dengan penampilan sangat rapi, bahkan sampai memakai jam palsu segala, untuk membuatku terkesan. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk mengajakku kencan?"     

London melirik jam tangannya dan seketika sadar, karena terburu-buru ia tadi bahkan tidak sempat berpikir untuk mengganti penampilannya sebelum datang ke apartemen L. Ia masih mengenakan pakaian mahal yang biasa ia pakai ke kantor, dengan sepatu kulit dan jam paling mahal di dunia.     

Merek pakaiannya memang tidak bisa terlihat, tetapi jam super mahal yang menghias pergelangan tangannya ini pasti sudah membongkar rahasianya, seandainya L tidak berpikir bahwa ia memakai jam palsu.     

Ia menutup jamnya dengan tangan kanannya dan mengangguk pelan, "Kau benar. Aku memang ingin mengajakmu kencan."     

L melipat kedua tangannya di depan dada dan menyipitkan matanya menatap London dengan penuh selidik. "Jadi aku benar, kan? Kenapa tadi kau pura-pura tidak mengerti?"     

"Aku tidak mengira kau akan setuju begitu saja." London mengaku.     

L mengerucutkan bibirnya. "Aku setuju, tapi hanya sekali ini. Ini yang pertama dan terakhir."     

Ia kembali memencet tombol pintu lift dan memberi tanda agar London masuk ke dalam begitu pintu lift membuka. Dengan patuh London menurutinya.     

Setelah mereka berada di dalam dan lift meluncur turun ke bawah, London akhirnya bertanya. "Kenapa ini kencan yang pertama dan terakhir?"     

L mengangkat bahu. "Karena aku tidak mau jatuh cinta kepadamu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.