The Alchemists: Cinta Abadi

Menunggu Setahun



Menunggu Setahun

London tertegun mendengar kata-kata L. Gadis itu tidak ingin jatuh cinta kepadanya? Kenapa tiba-tiba bicara cinta, tiada angin tiada hujan begini?     

"Hmm... begitu ya?" tanyanya sambil melirik L. "Kenapa memangnya? Aku ini tidak pantas untukmu?"     

L menggeleng. "Bukan tidak pantas, tapi kau bukan orang yang aku butuhkan."     

"Butuhkan? Jadi kau menentukan cinta atau tidaknya kepada seorang laki-laki berdasarkan dari seberapa besar kau bisa memanfaatkan mereka?" tanya London lagi. Ia kembali kecewa, walaupun dari awal ia sudah tahu L itu gadis seperti apa. "Kau ini pragmatis sekali."     

"Setidaknya aku jujur," L mengangkat bahu. "Jadi kita mau kencan di mana?'     

London berpikir sejenak. Di Hotel St. Laurent ada sebuah restoran yang sangat romantis karena memiliki taman gantung yang indah dan sore seperti ini belum terlalu banyak orang yang datang untuk makan malam.     

Tempat tinggalnya sendiri terletak di penthouse di puncak gedung dan ia bisa dengan mudah mengatur aksesnya di sana. Ia tinggal menyuruh Jan berkoordinasi dengan manajer restoran untuk memperlakukannya seolah-olah ia adalah tamu biasa.     

"Rahasia," jawab London akhirnya. Pintu lift terbuka dan ia mengulurkan tangannya untuk menggandeng L. Gadis itu menurut dan keduanya berjalan bergandengan menuju mobil BMW yang dikemudikan Dave.     

L sesaat berdiri terdiam dan mengamati mobil itu, lalu London dan akhirnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya baru masuk ke dalam lewat pintu yang dibukakan untuknya. Mereka lalu melaju ke Hotel St. Laurent tanpa berkata  apa-apa.     

Setibanya mereka di sana, manajer restoran, Hadley, segera menyambut kedatangan London dan L dan mengarahkan mereka ke meja terbaik di luar ruangan yang menghadap ke taman gantung.     

"Selamat datang, Tuan Makela. Meja pesanan Anda sudah siap." Hadley mempersilakan mereka duduk dan sebentar kemudian London dan L sudah memegang masing-masing segelas champagne di tangan mereka.     

"Kau terkesan?" tanya London sambil mengangkat gelasnya dan tersenyum menatap L. Gadis itu menatapnya lama sekali dan akhirnya menggeleng. London menjadi bingung. Kenapa gadis ini sulit sekali ditebak jalan pikirannya? Ia mengerutkan keningnya dan kembali bertanya apa maksud gelengan L barusan. "Kau tidak suka?"     

"Aku suka, tetapi menurutku ini terlalu berlebihan dan tidak realistis. Aku tidak suka laki-laki yang boros dan menghamburkan uangnya hanya untuk membuat terkesan orang lain. Aku tahu kau bukan orang berada, kenapa harus berpura-pura sok berkelas untuk membawaku kencan? Aku tidak akan menolak kalau kau mengajakku makan burger di taman pinggir sungai sambil mengamati kapal-kapal yang lewat, misalnya."     

L mendentingkan gelasnya ke gelas London dan meneguk minumannya. Ia melihat ke sekeliling mereka dan tampak acuh tak acuh pada keindahan taman gantung yang selama ini selalu mengundang decak kagum para tamu.     

London sungguh tidak mengerti. Kenapa susah sekali membuat gadis ini terkesan?     

"Aku pikir kau hanya mau pacaran dengan laki-laki super kaya... Kenapa kau mau kencan denganku?" tanya London yang masih penasaran.     

L menatapnya dengan ekspresi keheranan seolah London adalah murid SD yang menanyakan pertanyaan sederhana yang seharusnya diketahui jawabannya oleh semua murid SD.     

"Aku mau kencan denganmu bukan berarti aku mau pacaran denganmu, ya. Aku hanya memberimu kesempatan karena tidak tega melihatmu sudah berusaha keras. Kau memberanikan diri datang ke rumahku, kau berdandan, dan jelas kau sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa. Kupikir, kita juga perlu bicara untuk membereskan 'hal itu', supaya kita bisa melanjutkan hidup dan melupakan peristiwa buruk yang sudah terjadi," jawab L akhirnya. "Apa kau mengerti sekarang?"     

London mengangguk. "Jadi... kau menerima ajakanku hanya untuk bicara, dan bagimu tempatnya sama sekali tidak penting, di pinggir sungai sambil makan burger pun tidak apa-apa bagimu, karena... untukmu ini sebenarnya bukan kencan. Kau sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk memiliki perasaan apa-apa kepadamu."     

L mengangguk. "Aku senang kau mengerti. Aku tidak tega melihatmu menghabiskan begini banyak uang untuk hal yang sia-sia. Jadi, untuk membantumu, aku tidak akan memesan makanan. Kita minum saja dan berbincang-bincang."     

London mengangguk pelan. Sebenarnya kalau dipikir-pikir L ini baik juga. Di satu sisi, ia tahu Killian Makela adalah pria miskin yang berusaha setengah mati membuatnya terkesan, tetapi karena Killian tidak memiliki banyak uang, L sengaja tidak mau memorotinya.     

Tetapi di sisi lain, itu berarti ia sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada Killian untuk membuatnya terkesan. Ia tidak menganggap Killian sebagai laki-laki yang akan pantas untuk mendekatinya untuk hubungan lebih lanjut.     

Memikirkan ini, London hanya bisa menelan ludah. Tadinya ia sudah memikirkan untuk membuka saja rahasianya kepada L, dan mengatakan bahwa sesungguhnya ia sangat kaya dan seisi gedung tempat mereka sekarang sedang duduk menikmati sampanye adalah miliknya.     

Tetapi karena L sama sekali tidak mau memberinya kesempatan, ia pun mengurungkan niatnya.     

"Baiklah... kita minum saja." London mengangguk setuju. "Dan bicara."     

"Silakan dimulai." L menyesap minumannya dan menatap London. "Kau bilang mau bicara. Kau duluan."     

London terkesima melihat perlakuan gadis yang lebih muda delapan tahun darinya ini. L yang masih 19 tahun bisa terdengar sangat dewasa kalau ia sedang bicara seperti ini.     

"Aku tahu kau tidak ingin mengungkit peristiwa yang telah terjadi itu..." Akhirnya London memulai kata-katanya. "Tetapi aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, setelah.. setelah peristiwa itu. Bagaimanapun aku dibesarkan orang tuaku untuk menjadi lelaki baik-baik dan aku sangat menyesali peristiwa itu terjadi kepadamu... Aku ingin bertanggung jawab, dan akan memastikan orang yang bersalah mendapatkan hukumannya."     

L menatap London dengan penuh perhatian. "Itu tidak perlu. Stephan sudah ada yang mengurus. Rupanya ada korban-korban lain yang mengadukannya dan mereka sudah mendapat bantuan pengacara besar untuk memastikan ia tidak akan pernah keluar dari penjara. Orang miskin seperti kita tidak akan dapat berbuat apa-apa, jadi bersyukurlah sudah ada yang menanganinya."     

London hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.     

Seandainya L tahu Londonlah yang bertanggung jawab memastikan Stephan masuk penjara, pasti gadis itu tidak akan bicara begini.     

"Kau sepertinya anti sekali menjadi orang miskin," komentar London. "Aku belum pernah bertemu orang yang begitu bersemangat ingin menjadi kaya. sebersemangat dirimu."     

"Semua orang pasti ingin menjadi kaya. Yang bilang tidak adalah orang-orang munafik." L mengangkat bahu.     

"Ada dua cara untuk menjadi kaya. Yang pertama adalah dengan kekuatan sendiri, menjadi sukses dengan berusaha keras dan memulai dari bawah. Yang kedua adalah karena keturunan. Kau lahir di keluarga kaya dan semuanya disediakan untukmu sejak kau dilahirkan, kau tinggal mengambil saja." London menyesap minumannya dan tampak berpikir. "Aku pun bisa saja suatu hari nanti menjadi kaya, asalkan aku bekerja keras. Tapi kenapa kau tidak mau memberiku kesempatan?"     

"Aku tidak mau menikahi seseorang karena potensi mereka. Aku mau menikahi seseorang karena apa adanya diri mereka," jawab L. "Aku hanya berusaha menjadi orang yang jujur kepada diriku sendiri dan orang lain."     

"Aku tidak mengerti."     

"Hmm.. begini. Kalau aku menginginkan seorang laki-laki yang romantis sebagai suami, tetapi pria yang aku pacari tidak romantis, aku tidak boleh menikahinya dengan harapan suatu hari nanti pria itu akan berubah menjadi romantis. Itu artinya aku tidak menerima dia apa adanya. Aku menerima dia karena aku berharap pada potensinya untuk suatu hari nanti berubah menjadi romantis."      

"Oh... lalu?"     

"Begitu juga, kalau aku menginginkan menikah dengan lelaki kaya, tetapi aku pacaran dengan lelaki miskin, dengan harapan suatu hari nanti lelaki miskin itu akan berubah menjadi kaya. Artinya aku tidak mencintai lelaki itu apa adanya, dengan kemiskinannya melainkan karena berharap suatu hari akan terjadi keberuntungan dan ia dapat menjadi kaya... Buat apa berpura-pura seperti itu? Aku jujur sedari awal aku sudah menentukan syarat kepada siapa pun yang ingin mendekatiku bahwa aku tidak mau hidup susah."     

"Hmm... masuk akal." London mengangguk-angguk. "Jadi, karena aku miskin, kau sama sekali tidak akan memberiku kesempatan untuk mendekatimu?"     

L menggeleng. "Maafkan aku. Kau sangat baik, dan kau juga terlihat menarik. Aku takut kalau aku memberimu kesempatan, aku akan jatuh cinta kepadamu dan melupakan prinsipku sendiri."     

Sepasang mata London berkilauan mendengar L barusan menyebutnya sebagai lelaki baik.     

"Menurutmu aku ini baik? Aku juga menarik? Jadi yang kurang dariku hanyalah kekayaanku saja?"     

"Benar."     

"Bagaimana kalau aku bisa menjadi kaya dalam waktu satu tahun, apakah kau akan mau menjadi kekasihku?"     

"Hm... mungkin saja. Kita lihat satu tahun lagi."     

"Kalau begitu, maukah kau menungguku selama setahun supaya aku bisa memaksimalkan potensiku dan menjadi kaya? Kalau aku tidak berhasil menjadi kaya seperti yang kau inginkan, maka kau bisa meninggalkanku, dan aku tidak akan protes sama sekali," kata London sambil tersenyum. Ia merasa sangat senang dengan arah pembicaraan mereka.     

Kalau L bersedia, London akan punya waktu satu tahun untuk berpikir. Ia dapat membuka rahasia identitasnya atau tidak, tergantung pada interaksi mereka selama satu tahun ke depan. Ia akan melihat dulu apakah L memang pantas untuknya atau tidak. Kalau ia merasa L memang wanita yang tepat untuknya, maka setahun lagi ia akan memberi tahu gadis itu yang sebenarnya.     

Kalau tidak, maka London akan menghilang dari kehidupan L tanpa pernah membuka identitasnya sebagai salah satu orang terkaya di bumi saat ini.     

Siapa tahu malahan dalam setahun ke depan ia justru bisa mengubah pendirian gadis itu. Yang ia butuhkan hanya waktu.     

"Kau mau menjadi orang kaya dalam waktu satu tahun?"  tanya L sambil mengerutkan keningnya. "Kau ini percaya diri sekali ya."     

"Kau tinggal jawab setuju atau tidak."     

"Baiklah. Selain uang, aku juga menyukai kepercayaan diri. Aku berharap kau benar-benar bisa menjadi kaya dan berkuasa... dengan begitu kehidupanmu akan menjadi lebih baik. Aku bisa menunggu kalau hanya setahun," jawab L akhirnya.     

London tersenyum lebih lebar. "Aku akan membuktikan kepadamu bahwa setahun ke depan aku akan menjadi orang kaya dan kita akan bisa makan sepuasnya di sini, tidak hanya sekadar minum."     

"Baiklah."     

"Cheers!" London mendentingkan gelasnya ke gelas L. Mereka lalu meneguk minumannya bersama-sama.     

"Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu berkeras mendekatiku?" tanya L kemudian. Ia menatap London dengan penuh perhatian.     

"Uhm... karena..." London menelan ludah dan mencoba mencari pilihan kalimat yang tepat. "Karena aku merasa bertanggung jawab kepadamu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan tanggung jawab itu. Kau bahkan tidak mau memberiku kesempatan karena aku miskin. Jadi satu-satunya cara adalah dengan memenuhi syarat pertama yang kau tetapkan, yaitu menjadi kaya. Lalu kemudian, kita bisa putuskan nanti apa yang sebaiknya kita lakukan."     

"Hmm... terima kasih. Aku tidak salah duga. Kau memang laki-laki baik...." L menghela napas panjang. Ia lalu menghabiskan minumannya dan beranjak berdiri. "Aku tidak menyalahkanmu atas peristiwa yang terjadi, kita sama -sama korban. Tetapi kalau aku bisa menjadi motivasi bagimu untuk meningkatkan dirimu agar menjadi lebih maju, maka aku senang mendengarnya. Aku paling benci orang malas yang tidak mau berusaha. Aku berharap kau akan sukses dan memperoleh apa yang kau inginkan."     

"Kau mau kemana?" tanya London.     

"Pulang. Aku sudah mendengar apa yang ingin kau katakan. Aku akan menunggumu setahun. Aku juga akan sangat sibuk selama setahun ke depan untuk mempersiapkan album baru dan memulai karierku di Brilliant Media. Aku tidak akan punya waktu memacari lelaki lain."     

London buru-buru bangkit mengikutinya. "Biar kuantar."     

"Tidak usah, aku bisa sendiri. Lagipula aku ada janji makan malam dengan produserku di Medusa. Selamat tinggal." L berjingkat dan mencium pipi London lalu berjalan keluar dari restoran.     

Pemuda itu hanya berdiri terpaku di tempatnya. Ciuman L di pipinya masih terasa hangat bahkan hingga lima menit setelah gadis itu pergi.     

Hmm... apa tadi yang mereka bicarakan selama minum bersama? Ia sudah tidak terlalu ingat.     

Yang jelas L mengatakan bahwa London adalah lelaki baik dan menarik, dan L bersedia menunggu pemuda itu setahun untuk bisa membuktikan dirinya dapat menjadi kaya, sebelum gadis itu mencari calon suami lain yang sangat kaya dan sesuai kriterianya semula.     

Ini berarti London akan memiliki waktu satu tahun untuk menguji perasaannya kepada L dan mengambil keputusan.     

Ini kesepakatan yang tidak buruk, pikirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.