Pengakuan London
Pengakuan London
Lidahnya sempat menjelajah mulut L dan memancing desahan beberapa kali dari bibir gadis itu yang segera membuat London sadar bahwa ia harus mengakhirinya.
Sepuluh detik lagi, mungkin ia akan mengalah pada nafsunya dan membopong L ke kamarnya untuk melakukan hal-hal tidak senonoh kepada gadis itu.
Saat kedua bibir mereka lepas dan wajah mereka berada hanya berjarak beberapa sentimeter dari satu sama lain, London menatap L dengan penuh cinta, sementara gadis itu balas menatapnya dengan pandangan rumit.
Lalu, tanpa terduga-duga, sesaat kemudian senyum tipis tersungging di bibir L.
"Eh... kau tersenyum?" tanya London agak bingung. Dari respons L tadi ia merasakan bahwa L juga menikmati ciuman mereka sama seperti dirinya, tetapi ia sama sekali tidak menyangka L akan menghadiahinya senyuman, walaupun tipis.
Apakah ada hal menarik atau lucu? pikirnya keheranan.
L mengangguk. Ia melepaskan dirinya dari rangkulan London lalu berjalan ke meja makan dan menuang segelas dessert wine lagi untuk dirinya. Dengan anggun ia melangkah ke teras dan duduk di kursi teras yang nyaman, menikmati pemandangan hujan yang romantis sambil menyesap wine-nya.
"Apa... apa yang lucu?" tanya London masih keheranan. Ia juga menuang segelas dessert wine untuk dirinya dan berdiri di samping kursi L yang tampak khimad memperhatikan hujan. Setelah beberapa lama barulah L bersedia menjawab pertanyaannya.
Wajahnya tampak datar saat ia menoleh ke arah London dan mengangkat gelas wine-nya, lalu menjawab dengan suara acuh. "Kau menang... dan mendapatkan hadiahmu, sebuah ciuman. Padahal kalau aku menang, hukumanmu adalah mengabdi kepadaku seumur hidupmu."
London perlu waktu lima detik untuk mencerna kata-kata L, dan kemudian saat ia mengerti maksudnya, ia hampir mengguyur kepalanya sendiri dengan wine yang ada di gelasnya.
Ughhh... bodohhhh sekaliiii kau, London Schneiderrrrr.
Sebenarnya, kalau L memang, justru akan lebih menguntungkan bagi London, karena ia bisa dengan tidak tahu malu mengikuti L selamanya... dengan alasan ia kalah taruhan.
Ahhh.. kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? rutuknya dalam hati.
Hanya karena hadiah kecil, sebuah ciuman, ia begitu mudah tergoda. Padahal... kesempatan untuk mengikuti L selamanya adalah hal yang jauh lebih besar daripada satu ciuman. Seharusnya dalam kasus mereka, kalah bagi London akan lebih menguntungkan daripada menang.
Pepatah jelas-jelas mengatakan 'perempuan selalu benar". Kenapa ia bisa melupakan hal sepenting itu?
Seharusnya dalam taruhan ini ia membiarkan L merasa benar dengan prakiraan cuacanya, seharusnya ia membiarkan L menang dulu dalam taruhan mereka. Ia toh bisa mendatangkan hujan keesokan harinya... tidak harus malam ini.
Pepatah juga mengatakan "A happy wife means a happy life" (Istri yang bahagia membuat hidup suami bahagia). Jadi kalau L bahagia, tentu sikapnya akan sangat menyenangkan dan membuat rumah mereka menjadi bahagia.
Ah... pokoknya, kalau sampai nanti ia berhasil menikahi L. London berjanji tidak akan pernah lupa lagi pepatah yang mahapenting ini.
Perempuan selalu benar, dan Istri yang bahagia akan membuat suami bahagia.
Ugh... seandainya saja tadi ia membiarkan L menang.
Sayangnya penyesalan selalu datang belakangan dan kini nasi sudah menjadi bubur.
"Uhmm... kita bisa taruhan lagi?" tanya London dengan suara murung. Ia setidaknya harus mencoba mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya barusan.
Mendengar kata-kata London, L justru menoleh ke arahnya dengan pandangan menakutkan. "Kau mau memberi contoh buruk kepada anakmu dengan membiasakan diri berjudi??? Taruhan itu termasuk judi, tahu!"
"Ugh... iya, kau benar..."
Dan London pun kehilangan kata-kata. Mungkin malam ini memang ia yang menang taruhan tentang hujan, tetapi entah kenapa akhirnya justru ia merasa dirinyalah yang kalah.
Pikirannya menjadi berkabut dan ia tidak dapat lagi memikirkan bagaimana mengembalikan suasana menjadi romantis seperti tadi, sebelum mereka berciuman.
Kalau sudah begini, bagaimana bisa ia menyampaikan rahasianya kepada L? Tadinya ia ingin sekali menceritakan bahwa dirinya sebenarnya adalah seorang manusia yang hidup abadi dan akan tampak muda selamanya.
Ia juga berasal dari salah satu keluarga paling kaya dan berkuasa di dunia... dan kalau L menikah dengannya, L akan dapat menikmati itu semua.
L akan diberikan ramuan keabadiaan, sehingga ia akan dapat menjadi awet muda selamanya seperti London, dan ia akan dapat hidup bersama anak mereka tanpa harus mengalami masa-masa tua dan sakit penyakit.
Dan tentu saja, kalau ia menikah dengan London, segala milik pria itu akan menjadi miliknya. Apa pun yang ia inginkan di dunia ini akan ia dapatkan...
Semua itu membuat London menjadi sakit kepala.
Sebenarnya seorang alchemist memiliki ketahanan tubuh yang sangat kuat, dan ia tidak pernah sakit. Tetapi perasaan stress dan salah makan bisa membuat mereka mengalami nyeri pada perut ataupun kepala, dan itulah tepatnya yang sekarang sedang dirasakan London.
Kepalanya terasa berat saat memikirkan betapa tadi ia sudah merusak suasana. Seharusnya sekarang ia bisa menyampaikan rahasianya dan bersikap jujur kepada L.
"Aku hanya bercanda, kok..." cetusnya sambil menghabiskan wine di gelasnya. "Aku tidak akan memberi contoh buruk kepada Lily."
L menoleh lagi kepadanya dan mengangguk. "Bagus. Kita tidak boleh sering-sering taruhan. Itu kebiasaan buruk."
"Hmm... kau benar," balas London.
Di dalam kamusnya L selalu benar, dan ia berjanji akan selalu mengalah dalam taruhan-taruhan mereka mendatang. Itu juga kalau L mau bertaruh lagi...
"Aku sakit kepala, kalau begitu aku tidur dulu," kata London sambil menyentuh bahu L. "Jangan lama-lama di luar. Nanti kau masuk angin."
L mengangguk.
"Selamat tidur," kata gadis itu tanpa menoleh. Perhatiannya sudah tersita oleh hujan di luar sana.
Setelah membereskan piring bekas makan malam mereka, London lalu masuk ke kamarnya. Ia membaringkan diri dan mencoba memejamkan mata.
Tadi itu adalah kesempatan bagus untuk jujur kepada L, tetapi ia mengacaukannya. Kenapa sulit sekali mencari momen yang pas? Ia mengeluh kepada dirinya sendiri.
Wajah sedih ibunya kembali terbayang-bayang di benaknya. Finland sangat ingin bertemu Lily dan datang mengunjungi London sesering mungkin. Tetapi karena London masih merahasiakan identitasnya, maka akan sulit bagi Finland untuk datang.
Bukan hanya L masih cemburu kepadanya, tetapi juga ia tidak akan percaya bahwa Finland sebenarnya adalah ibu kandung London, karena wajah dan penampilannya masih terlihat seperti gadis berumur 20-an.
Setelah bolak-balik di tempat tidur dan mencoba memejamkan mata tanpa hasil, akhirnya London menyerah.
Tidak bisa dibiarkan begini terus. Ia harus menceritakan yang sebenarnya kepada L.
Ia telah berjanji kepada ibunya untuk membereskan masalahnya malam ini. Ia tidak bisa terus-menerus membiarkan keluarganya menemui Lily secara sembunyi-sembunyi. Mau sampai kapan ia merahasiakan semuanya? Lily juga berhak mengenal keluarga dari pihak ayahnya...
Akhirnya ia bangun dari tempat tidur dan keluar kamar untuk mengaku dosa kepada L. Ia harus menyelesaikan semuanya malam ini.
London masih menemukan sosok L di tempatnya semula. Gadis itu duduk menghadap kolam renang dengan gelas wine di tangan dan wajah memperhatikan hujan.
London memutuskan mengungkapkan semuanya.
"L..." London berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan isi hatinya. Ia berdiri dekat sekali dari kursi L dan mulai berbicara.
"Maafkan aku selama ini telah membohongimu..." Suaranya terdengar mulai emosional. Ia menguatkan hati untuk menerima kemarahan L karena telah dibohongi selama ini. "Aku membohongimu soal namaku, keluargaku, tentang rumah ini, tentang fasilitas di rumah sakit... tentang... sangat banyak hal. Semua itu bermula karena niat tidak sengajaku untuk menjalani hidup seperti orang biasa... Pertemuan pertama kita yang kacau membuatku tidak dapat jujur kepadamu... Tetapi aku ingin menghentikan semua kebohongan itu sekarang..."
London menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya. Ia ingin L mendengar semuanya dengan lengkap sebelum ia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menjawab. Maka ia buru-buru menjelaskan semuanya.
"Namaku sebenarnya London Schneider. Aku adalah pemilik Schneider Group. Aku yang memastikan semua urusan rumah sakit beres untukmu dan Lily. Aku juga bekerja sama dengan Jan dan Pammy untuk memberikanmu rumah ini. Aku melakukan semuanya karena aku mencintaimu dan Lily. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik kepada kalian.." Ia menelan ludah. "Aku juga bukan manusia biasa. Aku ini dari kaum Alchemist. Kami hidup abadi dan muda selamanya. Sepuluh tahun dari sekarang, bahkan seratus tahun dari sekarang... wajahku tidak akan berubah.
Finland yang membuatmu cemburu itu? Dia bukan temanku.. melainkan ibuku. Saat ini umurnya sudah hampir 60 tahun... tetapi seperti yang kau lihat sendiri, ia masih saja terlihat muda... Hujan ini? Aku yang memintanya. Aku meminta hujan diturunkan tepat pukul sepuluh malam, agar aku menang taruhan darimu. Aku minta maaf... karena telah membohongimu..."
London akhirnya mencurahkan semua isi hatinya, dan entah kenapa sakit kepala yang tadi ia rasakan sekarang mulai menghilang.
Sekarang ia hanya dapat menunggu tanggapan L... dan kemarahannya.
Dengan dada berdebar-debar London berdiri diam di tempatnya, menunggu L berbalik menatapnya dengan sepasang mata melotot marah, atau sedih karena merasa ditipu.
Ia sudah siap.