Aku Menang...
Aku Menang...
"Sudah beberapa hari ini kau sibuk terus. Kapan kita bisa mengobrol lagi? Mama juga ingin sekali melihat Lily..." keluh Finland kepada anaknya itu.
"Maafkan aku, Ma. Aku memang mengacaukan semuanya. Aku berjanji akan secepatnya membereskan masalah ini dengan L." London tampak merasa bersalah. "Entah kenapa sekali berbohong, sulit sekali untuk keluar dari lingkaran kebohongan ini..."
Finland hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia mengerti bahwa pada awalnya London terlibat dalam situasi seperti ini karena ia jujur saja sedang mencari lingkungan pergaulan dengan orang-orang normal, bukan orang-orang sangat kaya, atau abadi, ataupun orang-orang yang memang tidak pernah mengalami kesusahan sama sekali dalam hidup.
Ia sebenarnya senang, anak lelakinya memikirkan untuk mengalami kehidupan sebagai manusia biasa, agar dapat lebih bersimpati kepada orang-orang di luar kaum mereka.
Finland sendiri sekarang telah lebih lama hidup sebagai Alchemist dibandingkan sebagai manusia biasa, tetapi ia masih ingat bagaimana rasanya hidup susah, mengalami sakit penyakit, dan berbagai masalah hidup yang kaum Alchemist tidak pernah rasakan.
Sayangnya, perjalanan London tidak mulus karena ia dijebak orang jahat, dan berakhir tidur dengan seorang gadis manusia biasa dan kemudian punya anak darinya. Sedari awal, pertemuan mereka diwarnai dengan ketidakjujuran karena London harus menyembunyikan jati dirinya.
Hal ini mengingatkan mereka semua kepada kisah Alaric dan Aleksis yang diwarnai kesalahpahaman dan perpisahan yang cukup menyedihkan karena mereka saling merahasiakan identitasnya.
Namun dalam kasus London dan L, untungnya mereka sudah dapat memastikan bahwa L bukanlah seorang alchemist yang merahasiakan identitasnya seperti Alaric. Terbukti dari catatan medisnya yang menyatakan L memang menderita penyakit jantung bawaan, dan ia alergi pada anestesi. Seorang Alchemist tidak akan mengalami masalah seperti itu sama sekali.
Sekarang mereka hanya perlu mencari tahu siapa ia sebenarnya dan masa lalu L, untuk mengetahui lebih banyak tentang gadis itu.
"Lalu apa rencanamu?" tanya Rune yang tertarik dengan kasus kakaknya.
Ia pun ingin London segera bersikap jujur kepada L agar mereka sebagai keluarganya dapat dengan bebas mengunjungi Lily. Sebentar lagi mungkin Lily akan dapat menangis dan Rune sudah tidak sabar ingin menguji coba mesin terbarunya.
"Aku akan mengajaknya makan malam romantis malam ini, dan mencari cara untuk mengungkapkan semuanya..." kata London kemudian.
"Wahh, semoga berhasil," komentar Terry yang baru keluar dari kamarnya dengan sebuah koper kecil. "Aku pulang dulu ke New York. Kabari aku perkembangannya."
London mengangguk. Ia memeluk kakaknya sebelum melepasnya pergi ke bandara. Ia tahu Terry sangat sibuk, tetapi bagi mereka keluarga adalah segalanya. Itulah sebabnya Terry meninggalkan pekerjaannya selama dua minggu dan mengunjungi Aleksis di Singapura, dan kemudian London di Jerman. Namun tentu ia tidak dapat berlama-lama dan harus kembali mengurusi pekerjaannya di New York.
Aldebar dan Lauriel sudah pamit dua hari yang lalu. Mereka juga masih memiliki urusan yang harus dibereskan. Aldebar akan memberikan sambutan di konferensi ilmuwan dunia beberapa hari lagi dan Lauriel hendak menemui Nicolae dan kedua cucunya yang sedang bertolak kembali ke Grosetto.
London menghabiskan waktu beberapa jam di rumah keluarganya dan membujuk ibunya yang berkali-kali mengeluh karena tidak dapat bertemu cucunya, barulah ia dapat pergi dan menjemput L ke rumah sakit.
"Aku berjanji, akan secepatnya membereskan urusan dengan L," kata London sambil mencium pipi ibunya dan masuk ke mobil. Ayahnya yang sedang melukis di beranda hanya geleng-geleng melihatnya.
***
Proses pemindahan Lily ke rumah berlangsung cukup mudah dan cepat. Dalam waktu dua jam saja setelah London tiba di rumah sakit untuk menjemput L dan anak mereka, segala sesuatunya telah dibereskan, dan pukul delapan malam Lily telah berbaring nyaman di inkubatornya di dalam ruang NICU pribadi di rumah ibunya.
L dan London sama-sama merasa terharu karena mereka akhirnya bisa bersatu kembali dengan anak mereka di rumah sendiri, dan tidak perlu ke rumah sakit setiap hari.
Setelah Lily diberikan ASI dan kesehatannya diperiksa, kedua perawat yang mengurusinya pamit untuk membereskan barang-barang mereka ke paviliun.
Mulai pukul sepuluh malam mereka akan bekerja bergantian untuk mengawasi Lily di ruang NICU, agar kedua orang tua sang bayi dapat beristirahat.
"Hmm... aku senang Lily sudah pulang," bisik L sambil menatap Lily yang berbaring diam di dalam inkubatornya. "Aku sangat ingin memeluknya... menggendongnya..."
London mengerti perasaan L, karena ia pun merasakan hal serupa. Saat ini mereka hanya bisa menyimpan keinginan itu dalam-dalam. Selama Lily masih berstatus bayi micro-premature dan tubuhnya masih sangat lemah, mereka tidak dapat memeluknya.
Mereka harus bersabar menunggu selama beberapa bulan.
"Kau mau makan malam sekarang?" tanya London sambil bangun dari duduknya. "Aku ingin menceritakan tentang wawancara pekerjaan tadi sambil makan malam denganmu."
L mengangguk. "Hmm.."
Keduanya lalu beranjak keluar dari ruang NICU Lily dan masuk ke dapur. London membawa makanan dari Mansion keluarga Schneider dan memanaskannya di microwave. Ia yakin L akan sangat menyukai masakan ayahnya.
"Maaf, aku tidak membuat makan malam kita sendiri. Tadi aku sempat mampir ke rumah kerabatku dan mereka memasak makanan kesukaanku, jadi aku bawa sebagian ke sini..." katanya sambil menata makanan di meja makan.
L mengangguk. "Tidak apa-apa. Aku tahu hari ini kau sibuk."
Ia membantu London menata alat makan mereka dan sesaat kemudian mereka sudah duduk menghadapi meja makan yang diisi hidangan-hidangan yang tampak lezat.
Ruang makan mereka memiliki pintu kaca geser yang besar dan menghadap ke kolam renang. Pintu itu sekarang dibuka dan mereka bisa melihat suasana di luar yang masih terang.
Matahari di musim panas baru terbenam antara pukul 21.00 atau 22.00, sehingga makan malam mereka kali ini masih diterangi oleh cahaya mentari senja yang indah. Namun demikian, London tetap menyalakan lilin di meja makan mereka, untuk memberikan suasana romantis.
L hanya tersenyum tipis melihat kelakuannya. Ia tidak berkata apa-apa dan hanya menikmati makan malam mereka.
"Aku sudah mengikuti wawancara, dan mereka bilang aku akan dihubungi paling lama dalam waktu seminggu untuk memberi tahu apakah aku mendapat pekerjaannya atau tidak," kata London setelah menyelesaikan hidangan utama dan mengambilkan kue cokelat sebagai hidangan penutup untuk mereka.
"Hmm... kedengarannya bagus," kata L. Ia mengambil sepotong kue cokelat dan menikmatinya dalam diam. London senang melihat sambutan L terlihat bagus.
Mereka lalu menikmati kue cokelat dan dessert wine untuk menutup makan malam pertama mereka di rumah yang baru.
Tepat pukul sepuluh saat makan malam mereka hampir selesai, London melihat jam tangannya dan menghitung dalam hati.
10, 9, 8, 7, 6, 5, 4,
"Tiga... dua... satu..." Ia menolehkan pandangannya ke luar dan senyuman nakal terukir di bibirnya.
"Kau lihat apa?" tanya L yang keheranan.
London tidak menjawab, dan L juga tidak mendesaknya untuk menjawab, karena gadis itu telah melihat tetes-tetes hujan turun membasahi taman di depan mereka dan riak airnya menghiasi kolam renang dengan indah.
Jan selalu tepat waktu. Hujan yang diminta London dikirim tepat pukul sepuluh malam.
Tanpa sadar L bangkit dari kursinya dan berjalan keluar. Ia memejamkan matanya dan mencium bau hujan di luar. Bau khas saat baru turun hujan itu dihasilkan oleh bakteri petrichor yang ada di tanah, dan ia sangat menyukainya.
London mengusap bibirnya dengan serbet dan menyelesaikan makanan penutupnya, lalu berjalan mendekati L. Ia berdiri tenang di belakang gadis itu dan mengamatinya sedang menikmati bau hujan, dengan pandangan penuh cinta.
Tampaknya sangat mudah membuat L bahagia, pikir pria itu. Lihatlah wajahnya yang gembira, dan senyumnya yang langka itu menghiasi wajahnya hanya karena turun hujan....
"Ahh... ini sangat menyenangkan," cetus L dengan suara gembira.
Ia membuka matanya dan berbalik hendak berbicara kepada London, ketika tiba-tiba gadis itu teringat bahwa kemarin mereka membuat taruhan.
Tanpa sadar tangannya menyentuh bibirnya yang sedikit terbuka, dan wajahnya memerah. Wajah L jelas menggambarkan bahwa ia sudah mengingat taruhan mereka kemarin, dan ia menyadari bahwa ia sudah kalah. Wajahnya yang cantik dan mata hitamnya yang berkilauan tampak terkejut.
Astaga... apa pun pengendalian diri yang tadi dimiliki London, sekarang sudah hilang entah kemana melihat ekspresi L yang menggemaskan itu. Ia berjalan merapatkan dirinya ke tubuh L dan menatap matanya dengan sepasang mata birunya yang berbinar-binar.
"Aku menang," kata pemuda itu dengan nada suara yang tak dapat menyembunyikan sukacitanya.
L tidak menjawab. Wajahnya tertunduk dan pipinya menjadi semakin merah.
London merasakan tubuhnya menjadi panas melihat L yang sedang tersipu-sipu, dan nafsunya menjadi bangkit, tetapi dengan sekuat tenaga ia menahan diri.
Ia tidak boleh melakukan lebih dari hanya mencium L. Gadis itu baru melahirkan...
London menyentuh dagu L dengan lembut dan mengangkatnya, kemudian dengan perlahan ia menurunkan wajahnya untuk mencium bibir L yang setengah terbuka.
Saat bibir keduanya bertemu, L dan London tanpa sadar saling memejamkan mata dan menikmati ciuman itu dengan dada yang hangat.