The Alchemists: Cinta Abadi

Kesepakatan L dan London



Kesepakatan L dan London

"Jadi kalau aku membawa bunga, cincin, dan bersimpuh dengan satu lutut, kau akan menerima lamaranku?" tanya London penuh harap.     

Ia tinggal mengirim SMS kepada Jan dan malam ini juga semua bisa disiapkan, pikirnya.     

L menatapnya agak lama dan kemudian menggeleng.     

"Kenapa kau ingin sekali menikah denganku, sih? Kita ini hampir tidak kenal sebelum kau mengetahui bahwa aku hamil dengan anakmu. Aku ini orangnya konservatif. Aku hanya mau menikah sekali seumur  hidup. Walaupun aku menentukan sangat banyak syarat untuk lelaki yang menjadi suamiku, aku tentu akan setia dan mengabdikan hidupku untuknya, sama seperti aku menuntutnya untuk mengabdikan hidupnya untukku..." kata gadis itu tegas. "Kalau kau hanya ingin menikahiku karena Lily, lupakan saja. Ini tahun 2050. Orang zaman sekarang sudah tidak menikah semata karena alasan anak."     

"Tapi aku juga konservatif sepertimu, kok. Seisi keluargaku... bahkan keluarga besarku hanya menikah satu kali, dan kami semua sangat setia. Kami hanya mengabdi pada satu pasangan..." bantah London. "Aku ingin menikah denganmu karena begitu banyak alasan, terlalu banyak hingga aku tak akan selesai menyebutkan semuanya bahkan sampai malam tiba."     

Untuk pertama kalinya hari itu L tampak tersenyum mendengar kata-kata London yang dinilainya terlalu berlebihan. Ia menutup bibirnya dengan punggung tangan kirinya, menyembunyikan senyumnya. Hal ini membuat London senang karena ia melihat L sudah mulai baikan.     

"Kau ini mulutnya manis sekali," komentar gadis itu sambil memutar matanya.     

"Aku sungguh-sungguh," kata London lagi.     

Ia tidak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan L bahwa ia memang mencintai gadis itu dan ingin menghabiskan seumur hidupnya bersama L dan Lily. Dulu waktu ia pertama kali melihat L di pesta Stephan, ia sudah mengagumi kecantikannya dan keindahan suaranya. Cinta? Belum... dulu belum sejauh itu.     

Tetapi setelah mereka tinggal bersama selama dua bulan lebih saat ia memaksa L untuk ikut dengannya demi agar ia bisa membantu gadis itu selama kehamilannya, pelan-pelan ia sudah jatuh cinta kepada L. Mendengarkan suara L menyanyi setiap pagi saat ia bangun tidur adalah kemewahan hidup yang menurut London jauh lebih bernilai daripada apa pun di dunia ini.     

Ahh.. apalagi kalau bisa setiap malam tidur di samping sang pemilik suara dan bangun tidur di sampingnya setiap pagi... hidup London akan terasa sempurna.     

"Heii.. kau melamun lagi," tegur L menggugah London dari  khayalannya barusan. Pemuda itu sedang membayangkan bisa tidur bersama L setiap malam dan melihat gadis itu setiap pagi saat ia membuka mata pertama kali. Khayalannya sangat indah sampai liurnya hampir menetes.     

"Ehh.. maaf," London tersenyum. "Aku hanya sedang memikirkan bagaimana aku bisa meyakinkanmu bahwa aku sungguh-sungguh dengan semua ucapanku."     

"Kau bisa dengan mulai menunjukkan niat baik untuk hidup di jalan yang lurus dan tidak lagi berhubungan dengan orang-orang dari dunia hitam," komentar L. "Kau juga harus lebih berambisi dan mencari pekerjaan yang menghasilkan uang. Demi Lily, aku rela menanggung semua biaya kita selama beberapa tahun ke depan. Tapi aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak menghasilkan. Kau punya maksimal tiga tahun untuk memiliki penghasilan lebih besar dariku..."     

Sepasang mata London seketika berseri-seri mendengar kata-kata L.     

"Jadi... begitu aku sudah punya uang lebih banyak darimu, aku bisa melamarmu dan kau akan menerima? Tentu aku akan melakukannya dengan benar... dengan membawa bunga, cincin berlian yang sangat besar, berlutut, membawa rombongan orkestra, dan lain-lain..." kata London penuh harap. Ia sudah mendengar bagaimana ayahnya melamar ibunya. Ahh.. ia juga bisa bersikap romantis seperti ayahnya.     

"Hmm..." L tidak menjawab ya, tetapi ia juga tidak menjawab tidak, dan itu sudah cukup untuk London. Ia menjadi semakin bersemangat.     

Sebenarnya ia ingin sekali bertanya tentang Danny Swann, dan mengapa ia memanggil L dengan nama Marianne waktu itu, juga apa sebenarnya hubungan mereka.     

Tetapi melihat L sedang dalam suasana hati yang baik, London tidak ingin merusak keadaan dan memancing pertengkaran baru. Ia pikir L pasti akan menceritakan kepadanya apa yang perlu ia ketahui.     

"Baiklah... aku akan melamar pekerjaan yang bagus dan bergaji tinggi. Kemarin aku mendengar bahwa di kantor pusat Schneider Group sedang banyak lowongan pekerjaan," kata London kemudian.     

"Hmm.. itu bagus. Itu grup perusahaan yang sangat besar dan kalau pekerjaanmu bagus, kariermu di sana bisa maju. Sebenarnya agensi yang menaungiku ada di  bawah Schneider Group. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik."     

"Iya, semua fasilitas perawatan di rumah sakit ini disediakan oleh Schneider Group. Pemiliknya kudengar memang sangat baik, juga tampan..." cetus London sambil mengerling ke arah L.     

Gadis itu tampak mengerutkan kening mendengar kata-kata London.     

"Oh, iya... kau memang bilang Tuan London Schneider yang memberikan semua fasilitas ini...  Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku tidak mengerti mengapa ia sebaik ini kepadaku." L memijit keningnya mencoba memikirkan alasan yang masuk akal.     

"Katanya dia penggemarmu nomor satu," kata London. "Bukankah ia pernah menonton penampilanmu di konser menyambut musim panas lalu?"     

L mengangkat bahunya. "Aku hanya melihatnya dari jauh. Kami tidak pernah bertemu langsung. Hmm... kalau begitu, setelah aku keluar dari rumah sakit aku harus mengucap terima kasih kepadanya, atau setidaknya mengirimkan bunga kepadanya."     

"Aku bisa membantumu mengirimkan bunga ke kantornya di Schneider Tower, aku akan melamar pekerjaan ke sana besok," kata London buru-buru.     

"Terima kasih. Maaf aku merepotkanmu," L mengangguk. "Aku tidak tahu bunga apa yang pantas, kau pilih saja."     

"Baik." London tersenyum jahil.     

Ia akan menerima bunga dari L! Tentu ia senang sekali.     

Walaupun ia juga yang akan membeli bunga itu besok, tetapi tetap saja, bunga itu adalah pemberian L untuknya sebagai tanda terima kasih.     

"Aku mau beristirahat, tubuhku lelah sekali. Kalau nanti Pammy datang, tolong bangunkan aku." L kemudian bangkit dari sofa dan kembali ke tempat tidur. London hanya memandang gadis itu berbaring dan beristirahat.     

Dadanya terasa damai. Di sebelah kirinya L sedang tidur tenang di tempat tidur rumah sakit, dan di sebelah kanannya Lily sedang tidur di inkubator, berusaha tumbuh dan menjadi sehat, agar mereka bisa berkumpul bertiga sebagai keluarga.     

Untuk mengisi waktu akhirnya London memutuskan untuk membuka tabletnya dan membereskan beberapa pekerjaan kantornya. Ia juga memberi tahu keluarganya untuk datang ke rumah sakit pukul 9 malam setelah L tertidur. Ia ingin memberi kesempatan kepada mereka untuk melihat Lily.     

Sebelum mereka datang, ia juga sudah berkoordinasi dengan Jan untuk mampir menemuinya ke rumah sakit karena ia hendak membahas rencana mereka selanjutnya, mengingat L ingin membeli rumah dan pindah ke sana untuk dapat merawat Lily dengan lebih baik.     

London sudah memberi instruksi agar Jan mencarikan rumah bagus di area Grunewald, tempat rumah keluarganya berada. Jan harus membeli rumah itu dan kemudian memasang papan tanda bahwa rumah itu dijual. Besok atau lusa, kalau ia dan L mencari rumah untuk dibeli, ia akan mengarahkan L untuk melihat-lihat rumah di area Grunewald.     

"Baik, Tuan. Kebetulan aku sedang berbicara dengan Alex. Dia bisa membantu mencarikan rumah yang Tuan minta," kata Jan lewat telepon. "Aku akan datang ke rumah sakit setelah makan malam."     

London mengangguk puas. Seperti biasa Jan memang dapat diandalkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.