Tamu VVIP Yang Membingungkan
Tamu VVIP Yang Membingungkan
Pasti ketiduran sambil duduk begini tidak senyaman tidur dengan berbaring lurus, pikir Fee.
Sayangnya ia tidak dapat dan tentu saja tidak berani berbuat apa-apa untuk membetulkan posisi tidur sang tamu. Ia sangat takut membangunkan tamu VVIP ini karena reputasinya di antara para staf.
Akhirnya, dengan sangat hati-hati dan mencoba untuk sama sekali tidak menimbulkan suara, Fee berjingkat-jingkat menutup semua jendela dan pintu lalu menutupkan gorden blackout di kamar, sehingga sebentar kemudian suasana sudah berubah menjadi sangat gelap.
Setidaknya, kalau suasana benar-benar menjadi gelap, beliau bisa tidur dengan lebih nyenyak, pikir Fee.
Setelah memastikan sang tamu tetap tertidur pulas, Fee kemudian membereskan trolinya dan robot pembersih, lalu keluar dari Villa no. 4. Ia mengunci pintu di belakangnya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara, sebelum kemudian kembali ke ruangan petugas kebersihan.
Ms. Amanda tadi mengatakan ia boleh beristirahat dan mengambil tugas membersihkan setelah makan siang. Maka, ia pun memutuskan untuk duduk di dapur dan mengobrol bersama juru masak sambil menikmati sarapan paginya yang tertunda.
***
Setelah istirahat dan makan siang, Fee kembali bekerja membersihkan beberapa suite dan kamar di resort. Ia menyelesaikan semua tugasnya pada pukul 5 sore dan segera berkemas-kemas untuk pulang.
Setelah berganti pakaian dan pamit pada rekan-rekannya, Fee mengambil sepedanya dari parkiran resort dan segera mengayuhnya untuk pulang ke rumah.
Lima menit setelah Fee menghilang, tiba-tiba terdengar bunyi panggilan telepon masuk ke kantor bagian Housekeeping. Ms. Amanda segera mengangkatnya dan menyapa sang penelepon dengan suara ramah.
"Selamat sore, dengan housekeeping. Ada yang dapat saya bantu?"
Tuan Friedrich merapikan kerah kemejanya sambil menjepit gagang telepon ke bahunya. Matanya berkerjap-kerjap berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang datang dari luar.
Barusan ia membuka gorden blackout yang menutupi semua jendela kamarnya dan membuat suasana gelap gulita. Kini cahaya matahari yang menyoroti masuk dari arah barat malah membuat matanya menjadi silau.
"Selamat sore, ini dari Villa No. 4. Aku mau minta supaya staf kebersihan yang tadi membersihkan vilaku, menjadi pembersih tetap untukku. Aku tidak mau yang lain."
Tanpa menunggu balasan dari ujung sana, ia telah mematikan panggilan dan menaruh teleponnya di meja samping tempat tidur, di dekat vas porselen berisi rangkaian bunga lavender yang cantik.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, masih tak percaya bahwa ia telah tertidur begitu pulas selama hampir enam jam. Hal ini hampir tidak pernah terjadi sebelumnya!
***
Fee hanya bisa membulatkan matanya keheranan ketika mendengar perintah Ms. Amanda pagi itu. Ia disuruh untuk selalu membersihkan Villa no. 4 karena sang tamu VVIP ternyata sangat menyukai pekerjaannya. Tadinya Fee sempat kuatir beliau merasa bahwa dirinya telah lancang dengan menaruh lavender di kamarnya. Namun, ternyata malah sebaliknya.
Ia menarik napas lega dan mengangguk. Baiklah. Kalau memang ia ditugaskan untuk menjadi pembersih tetap Villa No. 4 karena tamu VVIP mereka menyukai pekerjaannya, maka Fee akan menganggapnya sebagai kehormatan.
Ia membaca jadwal hari ini dan menyadari bahwa seperti kemarin, ia juga diminta datang pukul 10 pagi. Akhirnya ia mengerjakan beberapa kamar di sayap barat resort sebelum kemudian bergegas menuju Villa No. 4 dengan troli kebersihannya.
Pukul 10 tepat, ia sudah tiba di depan pintu. Fee mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu lalu mendorong trolinya masuk. Setelah menyetel robot pembersih untuk menyapu dan mengepel seperti kemarin, Fee segera berjalan ke arah kamar tidur.
Ia sangat senang karena akhirnya ranjang yang selama beberapa hari selalu rapi, kini akan menjadi sedikit berantakan karena sang tamu menggunakannya untuk beristirahat.
Suasana hatinya menjadi gembira saat memikirkan bahwa perhatian kecilnya dengan bunga lavender kemarin berhasil membuat Tuan Friedrich mengantuk dan tidur. Tanpa sadar bibirnya menyenandungkan lagu kesukaannya.
"Eh... Astaga..." Suara nyanyiannya seketika terhenti, berganti desahan tertahan, bersamaan dengan tubuhnya yang membeku di tempat.
Ketika ia masuk ke dalam kamar, Fee menemukan ternyata sang empunya kamar masih ada di tempat. Tuan Friedrich sedang duduk di meja kerja di seberang tempat tidurnya sambil menyilangkan kaki. Ia tampak sedang membaca sesuatu.
Suara desahan tertahan Fee barusan membuat pria itu terhenyak dari bukunya dan mengangkat wajah untuk melihat arah datangnya suara.
Sepasang matanya berwarna cokelat sangat terang, hampir terlihat seperti madu, tampak terpaku ketika melihat Fee berdiri di tempatnya dengan tubuh kaku dan ekspresi kaget.
Keduanya saling menatap untuk beberapa lama tanpa ada yang mengeluarkan suara.
Fee merasa malu karena ternyata ia bernyanyi sembarangan, tanpa mengetahui bahwa ada orang lain di ruangan yang sama.
Dan oh.. ia tadi menyanyi karena suasana hatinya sangat gembira karena pemuda tampan yang dilihatnya kemarin pagi ternyata berhasil tidur karena dirinya.
Namun, saat melihat bahwa ternyata pria itu kini ada di hadapannya dalam keadaan bangun, tiba-tiba saja Fee tidak tahu harus bersikap seperti apa. Tanpa sadar ia menunduk.
Saat pandangannya tertumbuk pada seragam petugas kebersihannya yang jelek, tiba-tiba saja rasa tidak percaya diri dan malu menghinggapi dadanya.
"Ma.. maafkan saya sudah lancang...." ucapnya dengan terbata-bata. Fee membungkuk berkali-kali dan segera berlari keluar dari kamar. Ia menarik trolinya masuk ke dapur dan segera mulai bersih-bersih.
Tuan Friedrich akhirnya tersentak dari lamunannya ketika melihat gadis cantik berseragam petugas kebersihan itu berlari keluar dari kamarnya. Ia masih sedikit terkejut ketika menyadari bahwa petugas kebersihan yang membersihkan kamarnya kemarin adalah gadis cantik yang menarik perhatiannya dua hari lalu saat ia baru datang ke resort.
Ternyata gadis itu bekerja di resort ini...
Sebagai petugas kebersihan? Rasanya sulit dipercaya...
Ia bangkit dari kursinya dan melangkah keluar dari kamar dengan kedua tangan di dalam saku. Ia mendengar suara-suara barang dibersihkan dan ditata dari arah dapur dan segera menuju ke sana.
Ia kemudian berdiri di ambang pintu dan memperhatikan gadis tukang kebersihan itu sedang mencuci piring dan teko kopi beserta cangkir-cangkirnya. Pria itu mengerutkan keningnya. Entah kenapa, melihat gadis itu bekerja bersih-bersih, hatinya merasa tidak tega.
Sepasang tangan mungil itu seharusnya tidak dipakai untuk bekerja kasar...
"Selamat pagi," sapa pria itu dengan suara ramah.
Fee terperanjat mendengar suara yang tiba-tiba menyapanya dari belakang dan tak sengaja menjatuhkan teko porselen yang sedang dipegangnya ke lantai. Dengan panik gadis itu buru-buru mengambil pecahannya.
Tuan Friedrich tak mengira suaranya membuat gadis itu demikian terkejut hingga menjatuhkan teko ke lantai yang langsung pecah berkeping-keping. Ia segera berjalan cepat menghampiri Fee dan bersimpuh di sampingnya.
"Maaf, aku membuatmu terkejut. Sini biar aku yang memunguti pecahan kacanya," kata pria itu dengan nada suara yang tetap tenang.
Fee menjadi semakin panik ketika menyadari kini sang tamu justru ikut bersimpuh di lantai dan memunguti pecahan kaca yang begitu banyak. Karena kalut, tanpa sengaja jari telunjuk gadis itu tergores pecahan kaca yang cukup besar.
Spontan bibirnya mendesis kesakitan. Darah merah segera mengucur dari ujung jarinya yang tersayat cukup dalam, dan menetesi lantai dengan cukup deras.
"Aduh.. Ma.. maafkan aku..." gadis itu bicara berulang-ulang.
Rasanya ia ingin menangis. Pagi ini seharusnya pekerjaannya berlangsung baik-baik saja. Tetapi sejak ia melihat Tuan Friedrich di kamarnya tadi, tidak ada satu pun pekerjaannya yang berjalan dengan benar.
Tidak hanya itu, kini ia malah menghancurkan satu teko porselen yang harganya sangat mahal!
"Ssshh... sini, jangan panik." Kembali terdengar suara Tuan Friedrich yang bicara dengan ketenangan yang sama seperti tadi. "Kita obati dulu lukamu."
Fee tertegun saat merasakan tangan pria itu menepuk pundaknya pelan dan kemudian menarik tangannya untuk berjalan meninggalkan dapur menuju ruang tamu.
"Tunggu di sini," perintah pria itu dengan tegas sambil menepuk bahu Fee agar duduk di sofa.
Ia lalu masuk ke kamarnya dan kembali tidak lama kemudian dengan kotak P3K. Ia lalu bersimpuh di lantai, membuka isi kotak dan mengeluarkan antiseptik, plester, dan salep luka.
Fee masih belum dapat berkata apa-apa. Ia hanya tertegun, duduk di sofa sambil memperhatikan pria di depannya membersihkan luka di jari telunjuknya dengan telaten dan kemudian menaruh plester dengan rapi.
"Goresannya cukup dalam," komentar pria itu setelah memastikan plesternya menempel sempurna dan kemudian menutup kotak P3K-nya.
Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap langsung ke sepasang mata biru Fee yang cemerlang.
Untuk sesaat pandangan keduanya kembali bertemu dan mereka terdiam. Tidak ada yang mengeluarkan suara, hingga akhirnya kesadaran kembali pada Fee dan gadis itu buru-buru mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Tuan. Maaf, aku sudah merepotkan," kata gadis itu dengan suara agak malu. "Aku kaget karena tidak mengira Tuan masih ada di villa. Jadi aku tidak tahu bagaimana harus bersikap."
Pria itu mengangguk dan untuk pertama kalinya, ia pun tersenyum. "Aku yang mengagetkanmu tadi. Jadi aku juga meminta maaf."
Fee menjadi terpesona melihat senyum di wajah tampan itu. Ia tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tuan Friedrich tersenyum? Apakah ia sedang bermimpi?
Tamu VVIP mereka ini memiliki reputasi tertentu di antara para staf. Banyak yang tidak mau berurusan dengannya karena ia sangat angkuh dan keras. Tapi, mengapa dari awal, Fee sama sekali tidak menemukan kesan itu?
Sepenglihatannya sekarang, pria ini sangat perhatian dan ramah. Sama sekali tidak terlihat angkuh dan menakutkan. Bahkan barusan ia juga meminta maaf karena telah mengagetkan Fee.
Gadis itu tiba-tiba merasa sangat bingung.