Kesedihan Aleksis
Kesedihan Aleksis
Nicolae segera menyimpulkan bahwa Mischa diikat di sudut ruangan dan para pelaku menyiksanya dan kemudian memaksanya melihat kekasihnya dibunuh dengan kejam. Setelah puas, mereka lalu pergi meninggalkannya.
Mischa menyeret tubuhnya sendiri untuk menghampiri Lisa yang sudah terkapar tak bernyawa. Sejak tadi ia hanya tercenung sambil memeluk tubuh gadis itu yang kini mulai dingin. Nicolae merasa tak perlu menginterogasi Mischa apa yang terjadi saat ini juga. Yang terpenting adalah merawat lukanya dan membawa pria itu pergi dari sini.
Ia segera berjongkok dan memeriksa luka-luka di tubuh Mischa. Kondisinya sangat parah, tetapi tidak mengancam jiwa. Nicolae lega sekaligus keheranan. Di satu sisi, ia senang karena Mischa tidak akan mati, tetapi di sisi lain ia merasa heran dan kuatir... mengapa para penjahat itu sengaja membiarkan Mischa hidup?
Kalau mereka memang ingin menghalangi Mischa untuk mencegah komplotan mereka menculik Vega, bukankah akan lebih aman bagi mereka untuk menghabisinya sekalian bersama Lisa? Apa tujuan para penjahat itu sebenarnya?
Semua ini membuatnya bertanya-tanya. Nicolae menoleh ke arah Marion yang sudah memeriksa sekitar mereka dan memastikan tidak ada orang selain mereka di penginapan itu. Gadis itu juga sudah mengambil banyak foto untuk nanti mereka gunakan sebagai bahan penyelidikan.
"Marion... Kita harus membawa Mischa pergi. Kau membawa obat-obatan bersamamu?" tanya Nicolae. Marion mendekati mereka dan mengangguk.
"Aku membawa obat luka ajaib. Oleskan ke luka-lukanya agar tidak terinfeksi dan cepat sembuh." Gadis itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik pakaiannya dan menyerahkannya kepada Nicolae. "Semua ini sangat mengherankan..."
Nicolae mengangguk setuju. Rupanya Marion sepemikiran dengannya. "Aku juga berpikir begitu. Tolong ambilkan air dari wastafel."
Marion mengambil mangkuk dari meja dan mengisinya dengan air dari wastafel lalu menyerahkannya kepada Nicolae. Gadis itu lalu menarik handuk dari kamar mandi dan menaruhnya di samping Mischa. "Bersihkan dulu lukanya. Aku akan mengambil kotak P3K dari mobil."
Setelah berkata demikian, Marion segera berlalu. Ia kembali lima menit kemudian dengan kotak P3K dan membukanya di lantai. Dari situ ia mengeluarkan perban, gunting, dan lain-lain. Nicolae telah membuka pakaian Mischa dan dengan sangat lembut meminta pria itu untuk melepaskan mayat kekasihnya.
"Mischa.. biarkan aku mengobatimu. Nanti kau bisa membalaskan kematian Lisa. Sekarang, kau harus pulih dulu. Kami memerlukanmu untuk melacak dan mengejar orang-orang itu..."
Mischa tidak menjawab. Hanya wajahnya yang membeku dan matanya yang tampak berduka, menyorotkan bahwa ia mengerti ucapan Nicolae. Ketika pria itu menarik lepas tubuh Lisa dari pelukan Mischa, ia tidak menolak.
Dengan handuk bersih yang diberikan Marion, Nicolae membersihkan luka-luka di tubuh bagian atas Mischa dan kemudian mengoleskan minyak obat. Karena pakaian Mischa sudah kotor berlumuran darah, mereka mengambil jubah tidur dari lemari dan menutupkannya ke tubuh pria itu.
"Sekarang kita harus pergi secepatnya," kata Nicolae. Ia memberi tanda kepada Marion dan gadis itu dengan sigap mengambil pakaian Mischa dan menghapus semua jejak yang menunjukkan kehadiran mereka di sana.
Nicolae menyerahkan kunci mobil ke tangan Marion kemudian memapah Mischa keluar dari penginapan itu.
"Lisa..." gumam Mischa lemah. Kepalanya dimiringkan ke belakang, hendak menatap wanita yang dicintainya sekali lagi sebelum ia pergi.
"Maaf, kita tak dapat membawanya, dia telah tiada," kata Nicolae lembut. Nada suaranya dipenuhi simpati. "Biarkan polisi yang mengurus kasusnya di sini. Nanti kami akan mengatur agar jenazahnya dibawa ke Paris dan kau bisa melihatnya di sana."
Mischa tercenung lagi. Sebutir air mata meluncur turun ke pipinya. Ia memejamkan mata dan menahan emosinya agar tidak meluap. Ia sadar, saat ini prioritasnya adalah memulihkan diri, agar ia bisa membalas dendam.
Akhirnya ia mengangguk. Dengan tanpa suara, Nicolae memapahnya keluar dari penginapan menuju ke mobilnya yang diparkir di pinggir jalan. Marion mengikuti di belakangnya sambil menghapus setiap jejak mereka.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah meninggalkan pusat kota Provins dan kembali menuju Paris.
***
Semua orang kelelahan dan cemas, tetapi tidak ada yang mau beristirahat. Alaric dan Aleksis sama sekali belum tidur dari sejak mereka menerima kabar penculikan Vega. Tubuh Alaric lebih kuat secara fisik, tetapi Aleksis mulai terlihat melemah. Saat ia bangkit dari kursi hendak mengambil minuman, tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung dan ia pun terkulai ke lantai.
Alaric yang ada di sampingnya dengan secepat kilat menahan tubuh istrinya dan memeluknya. Ia tahu Aleksis mengalami tekanan batin yang sangat berat.
"Sayang.. sebaiknya kau beristirahat. Biar aku yang mengurus ini semua. Kau harus tetap sehat untuk anak-anak kita," bisiknya dengan suara lembut. Ia sendiri merasakan tekanan yang sama, tetapi ia berusaha tidak menunjukkan emosinya di depan orang-orang. "Aku akan menemanimu di kamar. Kau harus tidur."
Tanpa menunggu jawaban Aleksis, ia lalu menggendong tubuh gadis itu dan membawanya ke kamar. Aleksis sempat hendak menolak, tetapi kemudian ia sadar bahwa Alaric benar.
Setelah Alaric meletakkan tubuh Aleksis di tempat tidur, gadis itu menarik tangannya dan mencengkramnya sekuat tenaga. "Bagaimana.. bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Vega?"
Suaranya terdengar dipenuhi kepiluan yang merobek-robek hati Alaric menjadi serpihan kecil. Ia merasa sangat menyesal membiarkan anak-anaknya menjalani kehidupan seperti orang biasa. Walaupun ia menyediakan pengamanan, tetapi tetap saja hal seperti ini dapat terjadi.
Menurutnya, tempat paling aman di dunia bagi anak-anaknya adalah dalam pengawasan matanya secara langsung. Setelah semua ini berlalu, ia tidak akan membiarkan mereka terancam bahaya lagi. Ia tak akan pernah melepaskan pandangannya dari mereka.
"Tidak akan terjadi apa-apa," bujuk Alaric. "Aku akan memastikan Vega bak-baik saja..."
Aleksis sangat ingin mempercayai suaminya. Namun, pagi ini ia terpaksa melihat kenyataan bahwa Alaric masih belum berhasil memperoleh informasi apa pun tentang siapa penculik Vega, apa yang mereka inginkan, mengapa mereka melakukannya, dan bagaimana nasib anak perempuan mereka sekarang.
Semua ini membuat bendungan di hatinya yang semalaman berusaha ia tahan, kini menjadi jebol. Aleksis kemudian menangis meraung-raung. Suara tangisannya yang begitu pedih membuat semua orang yang mendengarnya merasa miris. Lauriel dan Caspar terutama merasa hati mereka seperti ditusuk sembilu.
Anak perempuan yang sangat mereka cintai, yang mereka rela mati untuknya, kini mengalami kesedihan yang lebih buruk dari kematian. Mereka sangat mengerti bagaimana rasanya kehilangan anak. 35 tahun yang lalu mereka harus menghadapi situasi yang demikian berbahaya saat Aleksis diculik Alexei dan diracun hingga membahayakan jiwanya.
Sungguh.. mereka tak menyangka Aleksis akan mengalami kemalangan seperti ini. Kehilangan anak perempuan satu-satunya dan tidak tahu bagaimana nasibnya...