Rencana Pernikahan
Rencana Pernikahan
Sebagai anak Alaric Rhionen, yang sangat dihormati Mischa, Vega tahu akan mudah saja baginya memaksa Mischa untuk menuruti apa pun permintaannya, tetapi gadis itu tahu diri. Ia tidak boleh memaksa orang lain melakukan hal yang tidak mereka inginkan.
Karena itu, Vega akhirnya tidak bertanya lebih lanjut. Ia menikmati makan malamnya dengan santai dan mengajak Mischa bicara hal-hal remeh. Orang-orang yang ada di meja sekitar mereka, dan tamu yang lewat, semuanya tampak tertarik melihat dua orang manusia yang demikian rupawan duduk makan berdua sambil mengobrol itu.
Walaupun Vega masih remaja, kecantikannya sudah sangat menonjol. Rambutnya yang panjang tergerai hingga pinggang memiliki warna platinum yang cantik, membingkai wajahnya yang seperti peri dalam dongeng. Bibirnya yang mungil berwarna merah alami dan sepasang matanya bulat besar berwarna biru cerah.
Penampilannya yang segar ala remaja tampak kontras dengan pemuda tampan yang duduk bersamanya, mengenakan pakaian serba hitam dan penampilan formal. Orang-orang yang melihat mereka hanya dapat bertanya-tanya apa hubungan di antara mereka sebenarnya.
Mereka tidak mungkin pasangan kekasih karena perbedaan umur mereka yang demikian jauh, tetapi mereka juga tidak terlihat seperti kerabat. Sikap di antara keduanya masih agak canggung, tidak seakrab anggota keluarga pada umumnya.
"Terima kasih atas makan malamnya," kata Vega saat akhirnya mereka menyudahi acara makan malam tersebut. "Besok kami akan pulang ke Paris, lalu lanjut ke Italia. Apakah Kak Mischa juga akan mengikuti kami ke Paris?"
Mischa mengangguk. "Benar. Aku akan pulang ke Bucharest setelah kalian semua tiba di Grosetto dengan tidak kurang suatu apa."
"Wahh.. benarkah?" Vega tersenyum lebar sekali. Ia sangat senang mendengar Mischa masih akan menemani mereka di ibukota Prancis itu. "Kalau begitu nanti begitu kita tiba di Paris, biar aku yang mentraktir Kak Mischa makan malam."
Mischa tertegun mendengar kata-kata Vega. Rupanya gadis ini tidak membuang waktu, pikirnya.
"Baiklah. Aku tunggu," jawab pria itu akhirnya.
Ia kini benar-benar yakin bahwa Vega memang menyukainya. Dalam hati Mischa merasa sedikit tersanjung. Namun demikian, ia sama sekali tidak memikirkan hal itu lebih jauh. Ia tahu Vega masih sangat muda. Cinta monyet yang ia miliki sekarang pasti akan hilang seiring dengan gadis itu tumbuh dewasa.
"Aku akan pulang ke penginapan dengan berjalan kaki," kata Vega sambil bangkit berdiri. "Terima kasih sekali lagi."
"Hmm... biar aku temani," kata Mischa menawarkan. "Cuacanya sangat bagus untuk jalan-jalan."
Setelah Mischa membayar makanan mereka, ia menemani Vega berjalan pulang ke penginapannya yang terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota. Di sepanjang perjalanan keduanya tidak berkata apa-apa.
Mischa berjalan dengan kedua tangan di saku seperti biasa, sementara Vega terlalu bahagia dan dadanya dipenuhi perasaan sukacita sehingga ia tidak mau bicara apa-apa yang dapat merusak suasana. Dalam hati ia hanya ingin perjalanan mereka ke penginapan tidak akan berakhir.
Sayangnya, keinginannya tidak terkabul. Lima belas menit kemudian mereka telah tiba di depan penginapan dan Vega terpaksa harus mengucap selamat berpisah.
"Terima kasih, Kak Mischa telah mengantarku pulang. Sampai bertemu di Paris," kata gadis itu dengan sepasang mata berbinar-binar.
"Selamat beristirahat," kata Mischa sambil mengangguk. Ia lalu berbalik pergi dan berjalan ke arah berlawanan. Ia mengangkat tangannya tanpa menoleh untuk mengucap selamat tinggal. "Sampai jumpa besok di Paris."
Altair yang sedang sibuk dengan ponselnya dan berbincang-bincang dengan JM tampak keheranan melihat Vega masuk ke kamar dengan wajah sumringah.
"Kau kenapa?" tanyanya sambil menutup ponselnya sebentar. "Seperti yang habis menang lotre."
"Bukan urusanmu," cetus Vega sambil melepaskan sepatunya dan berbaring di tempat tidurnya dengan wajah masih dipenuhi senyum.
Altair tampak mengerutkan kening dan mengamati Vega selama beberapa saat, tetapi akhirnya ia memutuskan bahwa Vega pasti akan menceritakan sendiri apa yang dialaminya kalau ia mau. Altair tidak pernah memaksa saudaranya.
Ia akhirnya kembali fokus pada ponselnya dan melanjutkan mengobrol dengan JM.
***
Nicolae menerima laporan dari Marion bahwa Larkin telah mencabut semua posting di Darknet yang menyudutkannya dan Goose serta meminta maaf secara publik. Ia langsung melakukannya keesokan harinya.
"Pasti waktu dia bangun dia langsung sadar bahwa aku tidak main-main dengan racunku," kata Marion sambil tertawa. "Dia sudah mencabut semuanya dan meminta maaf, aku telah memberinya penawar, tetapi aku juga menaruh pelacak padanya dan berhasil menemukan lokasi markas rahasianya. Kalau sampai dia macam-macam lagi, aku akan langsung mendatanginya dan menghukumnya dengan tanganku sendiri."
"Ah.. baiklah. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Marion. Aku sangat menghargainya," kata Nicolae senang. "Oh, ya.. tolong kosongkan jadwal kalian tanggal 1 Agustus mendatang ya..."
"Kenapa?" tanya Marion ingin tahu. "Apakah itu tanggal pesta pernikahan kalian?"
"Benar," jawab Nicolae sambil tersenyum lebar. Akhir-akhir ini ia memang sangat banyak tersenyum. Kehadiran Marie dan Summer membuatnya sangat bahagia. "Kami sedang mempersiapkan semuanya. Kalian akan segera menerima undangan resmi."
"Ahhh... aku sangat bahagia mendengarnya," Marion tertawa kecil. "Ahh.. aku menjadi iri kepada kalian orang-orang muda. Aku dan Jean tidak pernah merayakan pesta pernikahan kami. Kami hanya menikah di catatan sipil."
Nicolae ikut tertawa mendengarnya. Ia ingat saat itu, Terry yang menjadi saksi pernikahan ayahnya dan Marion. Situasi saat itu memang tidak memungkinkan mereka untuk merayakan pernikahan mereka besar-besaran.
"Kalian selalu bisa merayakannya nanti kalau usia pernikahan kalian sudah mencapai 25 tahun atau 50 tahun, atau malah satu abad. Selalu ada alasan untuk perayaan," kata pemuda itu dengan santai. "Aku dan Marie juga menikah hanya di kapel rumah sakit dengan petugas catatan sipil. Kali ini aku hanya ingin memberikan yang terbaik baginya, karena kebetulan pernikahan kami yang sebelumnya sudah dibatalkan."
"Ahh.. jangan diambil hati. Aku hanya bercanda," kata Marion dengan ringan. "Baiklah, aku tahu kalian sibuk. Merencanakan pernikahan pasti membutuhkan sangat banyak energi dan waktu. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Selamat ya. Aku menunggu undangannya."
"Tentu saja," kata Nicolae sebelum menutup teleponnya.
Marion benar. Pasangan calon pengantin dibuat sangat sibuk oleh rencana pernikahan mereka. Luca adalah butler yang sangat efisien, tetapi ia tetap membutuhkan masukan dan persetujuan dari Nicolae dan Marie tentang undangan, menu makanan, acara, dekorasi dan lain-lain.
Setelah menelepon Marion, Nicolae memutuskan untuk mengabari Caspar apa yang terjadi. Bagaimanapun Caspar adalah ketua klan dan ia ingin Caspar yang nanti menikahkannya dengan Marie. Ia juga harus memastikan bahwa Aldebar akan membuat ramuan keabadian untuk istri dan anaknya.