Keributan Di Kafe
Keributan Di Kafe
Ia masih ingat peristiwa tahun lalu, saat anak pemilik resort datang ke Salzsee dan menjadi direktur di sana. Tanpa alasan jelas ia bersikap jahat kepada Fee dan menurunkannya menjadi pekerja kebersihan. Untunglah hal itu justru membawa anugerah kepada Fee karena ia dapat bertemu dengan Ren yang kemudian menjadi suaminya.
Ia dan Ren kini masih bersama dan sangat berbahagia. Di Kafe Magnolia, kebanyakan teman kerjanya kini mengetahui bahwa Fee telah menikah, sehingga mereka tidak ada bersikap iri kepadanya. Apalagi Fee adalah seorang gadis yang sangat ramah dan menyenangkan, sehingga mereka selalu bersikap baik kepadanya.
"Hei.. kenapa kau melamun?" tegur Ella sambil menyikut pinggang Fee pelan. "Tuh... ada tamu baru masuk. Sekarang giliranmu."
Fee tergugah dari lamunannya dan buru-buru mengangguk. "Duh.. maafkan aku. Tadi aku sedang memikirkan sesuatu."
Ia lalu permisi dan segera menghampiri tamu yang baru datang untuk menerima pesanannya. Sejak ia kuliah, ia meminta agar jam kerjanya disesuaikan menjadi pukul 12 siang hingga 4 sore. Sehingga ketika ia tiba, suasana biasanya sedang sangat padat oleh tamu.
"Eh.. ini kan mahasiswa di kampus kita," komentar salah seorang dari rombongan tamu yang baru datang. Dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan.
Fee mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang berbicara dan melihat ada beberapa wajah yang dikenalnya dari kuliah gabungan. Ah, mereka ini adalah teman sekolahnya. Dengan senyum ramah ia mengangguk ke arah mereka.
"Hallo, selamat datang. Silakan mau pesan apa?" tanyanya ramah.
Kelima orang itu tampak saling pandang. Ketiga gadis yang ada di meja tersenyum mengejek dan berbisik-bisik di antara mereka, membuat Fee merasa tidak enak hati. Apakah mereka sedang mengejeknya?
"Berapa gajimu di sini?" tanya seorang pemuda di antara mereka. Wajahnya dipenuhi senyum mencibir. "Kau butuh uang? Kenapa tidak bekerja untukku saja? Aku bisa membayarmu dua kali lipat."
"Maaf, aku suka bekerja di sini," kata Fee, berusaha mempertahankan ekspresi ramahnya. "Kalau kalian masih memerlukan waktu untuk memesan, aku akan meninggalkan kalian dan kembali lagi nanti."
Ia hendak berbalik pergi ketika lelaki yang satu lagi dengan cepat telah mencengkram lengannya.
"Heii.. kau ini tidak sopan kepada tamu, ya? Kami ingin memesan!" hardiknya.
"Lepaskan tanganku..." kata Fee sambil menarik tangannya dengan sekuat tenaga. "Jangan berbuat macam-macam di sini..."
"Hei, Hendrik, kau terlalu blak-blakan, hahaha..." cetus salah seorang gadis berambut panjang dan berkaca mata. "Perempuan itu harus diperlakukan dengan lembut."
Laki-laki yang dipanggil Hendrik masih belum melepaskan tangan Fee, melainkan mencengkramnya semakin kencang. "Hei.. jangan pergi. Kami mau memesan."
"Lepaskan aku... aku akan memanggil pelayan lain untuk menerima pesanan kalian.." Fee hendak meminta tolong kepada Ella, tetapi Hendrik telah menarik tubuhnya ke meja mereka hingga gadis itu terbentur meja dan menjatuhkan beberapa gelas yang ada di atasnya.
"Aww...!!"
Ella yang mendengar suara jeritan Fee segera berlari ke depan untuk menolong Fee, tetapi belum sempat ia melakukan apa-apa, tampak sesosok tubuh tinggi besar telah masuk ke dalam kafe mengikuti seorang laki-laki muda yang berjalan sangat cepat.
"Sini kubantu berdiri..."
Fee yang merasakan pinggangnya kesakitan dan hampir meneteskan air mata segera menoleh mendengar suara suaminya yang khas. Tanpa sadar ia segera memeluk Ren dan menangis di dadanya.
"Mereka menggangguku tanpa alasan," kata gadis itu dengan suara serak karena marah. Ia merasa sangat lega karena hari ini memang adalah hari biasanya Ren datang berkunjung ke kafe untuk makan siang dan melihat Fee.
"Tunggu di sini," kata Ren. Ia mendudukkan Fee di kursi lalu mendatangi Hendrik dan tanpa babibu langsung meninju hidungnya dengan sekuat tenaga hingga pemuda itu jatuh dari kursinya.
Seketika terdengar jerit kesakitan Hendrik yang dibanting dengan sangat keras, diikuti dengan teriakan kaget teman-temannya.
"Heiiiii....!! Kurang ajar! Kenapa kau memukulku?" bentak Hendrik kepada Ren yang kini berdiri di atasnya sambil melipat tangan di dada. Ia mengusap-ngusap pantatnya yang sakit dan berusaha kembali bangkit berdiri.
"Kau mengganggu wanita yang sedang bekerja," tukas Ren. Sepasang matanya yang berwarna madu tampak mengerikan ketika ia dalam posisi mengancam seperti ini. Fee sadar, ia belum pernah melihat Ren saat sedang marah. Ia hanya mendengar gosip sewaktu di Salzsee dulu bahwa suaminya adalah seorang lelaki yang ketus dan pemarah.. tetapi ia tidak pernah menyaksikannya sendiri.
Melihat Hendrik jatuh ke lantai dengan hidung berdarah, teman lelakinya ikut keluar dari kursinya dan hendak membantu Hendrik menghadapi Ren.
"Hei, brengsek! Kami tamu di sini..." Ia hendak melayangkan tinjunya ke rahang Ren, tetapi Karl yang melihatnya duluan, telah sigap menahan pukulan pemuda itu, lalu mendorongnya hingga tersungkur.
Karl tadi langsung mengikuti bosnya masuk ke dalam saat melihat nyonyanya diganggu pemuda iseng. Biasanya ia hanya menunggu di mobil sambil membaca berita atau tidur siang. Ia lalu berdiri menghadang kedua pemuda yang sedang tersungkur di lantai itu dengan ekspresi tidak kalah mengerikan dengan bosnya.
Namun demikian, karena tubuhnya lebih besar dan menakutkan, ia terlihat lebih mengintimidasi daripada Ren. Kedua pemuda itu saling pandang dan merasa bahwa mereka tidak akan memenangkan perkelahian fisik di kafe ini.
"Awas kalian... kau tidak tahu siapa ayahku..." desis Hendrik sambil memegangi hidungnya yang berdarah. "Aku akan membalas kalian!!"
Mereka berdua bangun dan berjalan-tertatih-tatih keluar kafe, diikuti ketiga teman wanita mereka. Salah seorang yang berambut kerinting menatap Fee dengan pandangan tajam.
"Dasar gadis udik tidak punya selera humor. Tadi Hendrik hanya bermain-main dan menggodamu. Seharusnya kau tidak usah terlalu kaku dan menyebalkan seperti tadi," cetusnya. "Kau tidak tahu siapa dia...."
Ia mengibaskan rambutnya dan berjalan pergi dengan langkah-langkah kasar. Kelima orang itu keluar dari kafe dengan membanting pintu di belakang mereka, mengagetkan semua orang.
Keributan itu segera memancing kerumunan di depan Kafe Magnolia yang ingin mengetahui apa gerangan yang terjadi. Beberapa tamu yang sedang makan di mejanya tampak agak terganggu oleh keributan barusan. Dengan terburu-buru, Ella, Stevan, dan staf lainnya segera menenangkan tamu-tamu itu.
Sementara itu Fee yang masih shock duduk di kursinya dengan tubuh gemetar. Ia belum pernah melihat Ren memukul orang, dan hal itu cukup membuatnya terkejut. Selain itu, tubuhnya juga masih terasa sakit karena tadi dicengkram Hendrik dan ditarik hingga menghantam meja.
"Sebaiknya kau minta izin pulang duluan. Kau pasti sakit," kata Ren sambil bersimpuh dan menyentuh kedua lutut Fee.
"Ti.. tidak biasa.." kata Fee terbata-bata. "Ini jam paling sibuk. Tamu kami banyak sekali. Perusahaan sudah sangat baik kepadaku dengan memberiku jadwal kerja yang sangat fleksibel, aku tidak boleh manja dan meminta macam-macam kelonggaran. Ini tidak adil untuk teman-teman kerjaku..."
"Kau tidak boleh membantahku. Lihat, dirimu.. masih gemetaran.." kata Ren tegas. Tanpa mendengarkan protes Fee, ia lalu mengangkat tubuh gadis itu dengan kedua tangannya.
"Ehh.. ki.. kita mau ke mana?" tanya Fee keheranan. Secara refleks ia mengalungkan kedua lengannya ke leher Ren.
Pemuda itu membawanya menemui Ella yang tertegun di tempatnya melihat pemandangan itu. "Aku mau membawa Fee pulang. Ia masih shock. Tolong mintakan izin untuknya."
Ella yang baru pertama kali melihat Ren dari jarak dekat seperti ini hanya dapat membuka bibirnya dengan ekspresi kaget... Ia hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang dapat keluar.