Kak Mischa Keren Sekali
Kak Mischa Keren Sekali
"Kau mau aku menggendongmu? Di sini ada kursi roda," kata Mischa tegas.
"Aku tidak mau kursi roda. Aku mau menghukummu karena sudah menjatuhkanku dan membuat tubuhku sakit-sakit," cetus Vega.
"Apa tidak ada hukuman lain?" tanya pria itu keheranan.
"Aku ingin membuatmu merasakan tubuh sakit-sakit karena pegal menggendongku pulang ke penginapanku," tukas Vega sambil menyipitkan matanya dengan ekspresi kesal. "Kau pikir aku ini sekarung kentang yang bisa dijatuhkan begitu saja?"
"Aku tidak..."
Sebelum Mischa menyelesaikan kalimatnya, Vega telah mengambil ponselnya dan memencet nomor telepon Alaric.
"Ayah... ini aku. Aku sekarang di rumah sakit..." Vega tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba saja Mischa telah membungkuk dan menaruh gadis itu di punggungnya. Vega tersenyum jahil saat melingkarkan tangan kirinya di leher Mischa sementara tangan kanannya memegang telepon. "Aku di sini bersama Kak Mischa. Tadi aku terjatuh di jalan karena pusing kepanasan. Sekarang Kak Mischa akan mengantarku pulang. Dia baik sekali."
"Oh, begitu, ya? Kalau cuacanya terlalu panas, mungkin lebih baik kau beristirahat saja. Ayah akan minta Nicolae menelepon gurumu untuk memberimu kelonggaran," terdengar suara Alaric di telepon.
"Ah... bisa juga. Nanti aku saja yang memberi tahu Papa Nic," kata Vega. "Baiklah, aku cuma mau melaporkan keadaanku saja. Nanti begitu tiba di hotel aku akan menelepon Ayah lagi."
"Baiklah. Salam buat Mischa," kata Alaric sebelum menutup telepon.
Vega lalu menyimpan ponselnya dan tersenyum penuh kemenangan lalu memeluk leher Mischa.
"Terima kasih kau tidak mengatakan apa-apa kepada Tuan," kata Mischa sambil menoleh ke belakang. "Aku akan membawamu pulang. Tapi apa kau tidak malu diperhatikan orang-orang?"
Ia sudah menyadari betapa orang-orang yang mereka lewati tampak memperhatikan keduanya. Mereka memang sangat menarik perhatian. Seorang pria tampan berpenampilan formal dengan pakaian serba hitam yang kontras dengan rambut pirangnya yang rapi sedang menggendong seorang gadis remaja cantik di punggungnya.
"Kenapa? Kakak malu?" tanya Vega dengan nada tak acuh. Ia tahu dirinya telah berbuat sangat nakal hari ini dengan mengerjai Mischa, tetapi ia tidak dapat menahan diri. Ia sangat menyukai kakak angkatnya, sejak mereka pertama kali bertemu di lift.
Mungkin karena tanpa disadarinya Mischa mengingatkannya akan ayahnya sendiri.
Mischa tidak menjawab pertanyaan Vega dan meneruskan berjalan tanpa mengindahkan pandangan orang-orang. Ia memutuskan untuk melakukan saja permintaan Vega dan segera menyudahi ini. Toh, baginya hanya sekadar menggendong gadis itu bukanlah hal yang berat.
"Kak Mischa!! Kita berhenti sebentar," kata Vega tiba-tiba sambil menepuk bahu pria itu dengan penuh semangat. "Aku mau beli manisan apel itu!"
Tangannya lalu menunjuk ke arah kanan, tempat sebuah kios pedagang makanan kecil berada. Dengan patuh Mischa berjalan ke arah kios itu dan berhenti di depannya. Dengan gembira Vega menunjuk apel merah bersalut gula yang ditusuk dengan stik dan meminta Mischa membelikannya untuknya.
"Kau ini umur berapa sih?" tanya Mischa sambil mengeluarkan uang dari sakunya dan membayar harga manisan apel itu kepada pedagang. "Seharusnya kau sudah berumur 16 tahun, kan?"
"Benar. Ulang tahunku sebentar lagi. Kakak tahu juga," kata Vega dengan ceria. Ia menerima manisan apel dari tangan pedagang lalu kembali menepuk bahu Mischa agar kembali melanjutkan berjalan. "Apakah Ayah sering menceritakan tentang aku?"
Mischa mengangguk. "Benar. Setiap kami bertemu ia selalu menceritakan tentang kalian berempat. Ia sangat menyayangi kalian."
"Ahh... benarkah?" Vega menikmati apelnya sambil berbincang-bincang dengan Mischa. "Bagaimana ayahku dulu? Aku tahu Kakak sudah tinggal bersama ayahku sejak Kakak masih keci. Dulu Ayah masih kejam dan membenci manusia... Bagaimana sikapnya dulu?"
"Hmm.. sekarang ia juga masih tidak menyukai manusia," komentar Mischa. "Tetapi.. yah, dulu dia jauh lebih keras dan tertutup. Kadang sangat sulit bagiku dan saudara-saudaraku untuk dapat mengerti apa yang ia pikirkan. Tetapi ia sangat penyayang... Kalau kami tidak mengetahui siapa dia sebenarnya, kami tidak akan pernah mengira ia seorang pembunuh."
Vega tertegun mendengar penjelasan Mischa. Ia sedikit banyak pernah mendengar sepak terjang ayahnya di masa lalu. Bedanya Alaric dengan Nicolae sangat kentara, walaupun mereka adalah saudara kembar. Alaric hidup dipenuhi kekerasan dan ia membenci manusia, ia malah pernah bertujuan untuk menguasai dunia dan mengatur siapa manusia yang berhak hidup dan siapa yang harus mati.
Sementara Nicolae hidup dalam keluarga bahagia dan menghabiskan puluhan tahun umurnya bekerja sebagai dokter yang penuh kasih dan menyelamatkan banyak manusia. Kepribadian mereka pun bisa dibilang bertolak belakang.
Namun demikian, Vega menyayangi keduanya dengan sama besar. Ia tak dapat membayangkan jika sampai sekarang Alaric masih seperti yang dulu, pasti akan sangat sulit bagi keluarganya untuk hidup bersama Alaric.
"Kakak tidak takut kepada ayahku?" tanya Vega lagi. Ia merasa sangat tertarik membicarakan tentang ayahnya dengan Mischa. Bagaimanapun Mischa adalah salah satu orang yang paling lama mengenal Alaric. Lebih dari 30 tahun Mischa telah bersama Alaric dan sangat mengenal kepribadian dan kehidupannya.
"Tidak. Tetapi aku menghormati Tuan. Aku juga berhutang nyawa kepadanya," jawab Mischa. "Kenapa kau bertanya begitu? Apakah kau takut kepada Tuan?"
Vega menggeleng. "Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya penasaran."
"Hmm."
"Oh ya..." Tiba-tiba Vega teringat sesuatu. "Ayahku dulu pasti punya banyak musuh. Apakah pernah ada musuh ayah yang datang mengejar kalian?"
Ia menyadari bahwa seumur hidupnya, ia dan saudara-saudaranya selalu dikelilingi oleh pengawal-pengawal tangguh. Bahkan ayahnya mengirim tiga pengawal untuk mengawasinya dan Altair saat tinggal bersama Nicolae.
Kini, dalam perjalanannya ke Prancis, Alaric juga mengirim beberapa pengawal lain untuk menjaga keselamatan mereka diam-diam.
"Semua musuh Tuan sudah berhasil kami musnahkan, tetapi Tuan tidak akan mengambil risiko dengan keselamatan keluarganya. Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya Mischa keheranan.
"Uhm.. entahlah. Rasanya aneh saja menjadi satu-satunya murid di sekolah yang selalu dikelilingi penjagaan. Tidak ada satu pun temanku yang dikawal seperti aku dan Altair. Kalau sampai mereka tahu, pasti teman-temanku akan heboh," jawab Vega.
"Mereka tidak perlu tahu," komentar Mischa. "Ayahmu sangat menyayangimu dan ingin melindungimu, tetapi ia tahu kau ingin hidup seperti anak normal, dan bersekolah di sekolah biasa... memiliki banyak teman, karena itulah ia berkompromi dan merelakanmu bersekolah di sana dengan memberikan perlindungan dari jauh."
Vega terkesan mendengar kata-kata Mischa. Sekarang ia percaya ayahnya memang sering menceritakan tentang mereka kepada pria itu. Mischa terlihat sangat mengenal mereka.
"Nah, kita sudah sampai," kata Mischa tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya di depan pintu gerbang penginapan Vega. "Aku tidak perlu mengantarmu sampai ke dalam kan?"
Vega buru-buru melompat turun. Ia mengebas-kebaskan tepi pakaiannya dan membungkuk sedikit kepada Mischa. "Terima kasih sudah mengantarku sampai di sini."
"Lain kali hati-hati," kata Mischa sambil berlalu pergi dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.
Ahh.. Kak Mischa keren sekali, pikir Vega sambil tersenyum lebar, memperhatikan pria itu berjalan menjauh.