Hannah Yang Cerdas
Hannah Yang Cerdas
Yang selalu sangat membekas dalam ingatannya adalah bau wangi masakan pada tubuh ibunya setiap kali beliau menyiapkan makanan-makanan kesukaan Friedrich dan Karl.
Ah, ia sangat merindukan wanita itu.
"Tidak apa-apa," kata Friedrich. Ia mengambil duduk di kursi meja makan dan Hannah segera menaruh piring dan alat makan lainnya di depan pemuda itu. Kepalanya melongok ke arah pintu dapur dan mengerutkan keningnya keheranan, membuat Friedrich bertanya-tanya siapa yang sedang dicari Hannah. "Kau mencari Karl?"
Gadis itu mengangguk. "Benar. Apakah dia tidak turun untuk sarapan?"
"Kami sebenarnya tidak biasa sarapan," kata Friedrich. "Tapi, karena kau sudah memasak sesuatu, aku akan memanggilnya."
Ia berjalan keluar dapur dan kembali tidak lama kemudian dengan Karl yang sudah memakai pakaian seragam sekolahnya dan wajahnya tampak keheranan.
"Ayo sarapan dulu sebelum kalian berangkat agar kalian punya energi untuk menjalani hari ini," kata Hannah sambil tersenyum lebar.
Kedua pemuda itu tampak agak canggung tetapi Hannah tidak mempedulikannya kecanggungan mereka. Dengan sigap ia menaruh beberapa pancake ke piring mereka lalu bacon panggang, telur rebus dan roti bakar. Tak lupa ia menyiapkan jus dan kopi untuk Friedrich serta teh untuk dirinya dan Karl.
"Ini banyak sekali. Terlalu berlebihan. Jangan merepotkan dirimu sendiri," kata Friedrich. "Kau bangun jam berapa untuk menyiapkan ini semua?"
"Ah.. tidak terlalu pagi, dan ini juga sangat mudah disiapkan," kata Hannah. Ia segera berkonsentrasi menikmati makanannya agar Friedrich tidak bicara lagi tentang kerepotannya. Hannah melakukan ini semua dengan senang hati.
Menurutnya, ini hanyalah hal sangat kecil yang dapat ia lakukan untuk membalas budi Friedrich.
Akhirnya mereka bertiga sarapan dalam diam. Friedrich mengakui bahwa masakan Hannah memang enak. Ia tidak menyadari dirinya makan cukup banyak pagi itu. Setelah mereka selesai sarapan, ia dan Karl lalu pamit kepada Hannah untuk pergi ke kantor dan sekolah.
"Kau beristirahat saja di rumah dan tenangkan pikiranmu. Aku pergi bekerja dulu. Nanti di kantor aku akan menanyakan apakah mereka masih membutuhkan pelayan untuk di kafetaria atau tidak," kata Friedrich sebelum beranjak keluar dari dapur. "Kalau mereka sudah tidak membutuhkan tenaga tambahan untukdi kafetaria, aku akan menanyakan kepada kenalanku apakah ada pekerjaan untukmu atau tidak."
"Terima kasih banyak," kata Hannah. "Aku sangat menghargainya. Semoga di perusahaanmu masih ada lowongan pekerjaan untukku."
"Hmm."
Friedrich berjalan ke mobilnya diikuti Karl yang membawa ransel untuk bersekolah. Remaja itu menoleh ke arah Hannah sebelum masuk ke dalam mobil dan melambai kepadanya.
"Sampai jumpa nanti, Kak Hannah."
"Sampai jumpa. Kau belajar yang rajin di sekolah yaaa..."
Setelah keduanya duduk di kursi belakang, supir segera menutupkan pintu mobil dan mengemudikan kendaraan itu keluar dari halaman rumah Friedrich yang luas. Setelah mobil itu menghilang dari pandangan dan gerbang tertutup secara otomatis, Hannah segera kembali ke rumah.
Ia telah membeli ponsel baru, beberapa pakaian, dan perlengkapan lainnya dari marketplace. Sedari kemarin ia masih mengenakan pakaian yang sama dari saat ia meninggalkan mansion bibi Sebastian dan ia mulai merasa tidak nyaman.
Tadi malam Friedrich menawarinya untuk mengenakan pakaiannya, tetapi Hannah terlalu malu untuk menerima. Rasanya terlalu intim baginya untuk mengenakan pakaian seorang laki-laki. Apalagi karena gadis itu memiliki perasaan suka kepada Friedrich sejak pria itu menyelamatkannya.
Friedrich yang keheranan karena tawarannya ditolak hanya bisa menyimpan sendiri keheranannya. Ia tidak mengerti mengapa Hannah lebih memilih mencuci pakaiannya di mesin cuci dan langsung mengeringkannya setelah mandi, lalu kembali mengenakan pakaian yang sama.
Namun, ia sama sekali tidak memikirkannya lebih lanjut dan menganggap wanita memang kadang tidak rasional.
Ketika satu demi satu kiriman barang-barang yang dipesannya tiba, Hannah merasa sangat senang dan lega. Ia membeli pakaian yang berharga murah agar utangnya kepada Friedrich tidak terlalu besar dan ia akan dapat segera membayarnya.
Bagaimanapun, setelah nanti ia bekerja dan menerima gaji, ia harus menyisihkan uangnya untuk menyewa kamar atau apartemen di kota Seattle yang sangat mahal ini. Lalu, ia juga harus memikirkan makanan, transportasi, dan biaya-biaya lainnya.
Itu pun, kalau ia berhasil segera mendapatkan pekerjaan. Kalau tidak.. maka ia akan menyusahkan Friedrich lebih lama. Hannah merasa sangat malu kalau ia terus mengandalkan orang lain dan menyusahkan mereka.
Sebagai seorang putri raja, ia memiliki harga diri yang cukup tinggi dan tidak dapat merendahkan diri dengan bergantung kepada orang lain. Karenanya ia harus dapat segera berdiri dengan kedua kakinya sendiri.
Pukul 2 siang, satu persatu, paket pesanannya pun tiba dan dengan lega Hannah menerimanya. Ia segera mencuci semua pakaian dan pakaian dalam baru yang ia beli dan mengeringkannya. Setelah itu ia mengganti pakaiannya dengan satu setel pakaian baru, sebuah gaun sederhana bermotif bunga-bunga kuning dan sandal rumah.
Rasanya nyaman sekali!
Ia lalu membuka ponsel barunya dan mencoba menghubungi Aurora. Ia masih ingat nomor telepon sahabatnya itu dengan baik. Ia harus tahu perkembangan situasi di luar sana karena hingga kini ia tidak juga berhasil menemukan berita tentang Valentino dan keluarganya dalam menghadapi peristiwa menghilangnya dirinya.
"Hallo, selamat siang Nona Aurora, ini dari butik langganan Anda di Waterfront. Apakah saya bisa mengganggu waktu Anda sebentar?" Hannah sengaja mengubah suaranya dan berpura-pura menjadi orang lain untuk memastikan Aurora tidak sedang bersama Valentino ataupun orang suruhan ayahnya.
"Saya sedang sibuk, tidak bisa bicara lama-lama. Ada apa ini?" Terdengar suara Aurora yang kesal di ujung telepon.
"Oh.. Apakah Nona sedang bersama orang lain? Kalau begitu aku dapat menghubungi Anda lagi nanti kalau Anda sudah tidak sibuk," kata Hannah. "Mohon maaf saya telah menganggu Anda."
Aurora mendesah panjang. Ia tidak sedang sibuk karena sedang bersama orang lain, melainkan karena pikirannya sedang dilanda kegelisahan dan berbagai skenario tentang apa sebenarnya yag terjadi kepada Hannah, dan di mana gadis itu sekarang.
"Hmm... aku tidak sedang bersama orang lain, tetapi aku sedang banyak pikiran. Ini bukan salahmu, jadi tidak perlu minta maaf," kata Aurora akhirnya. Hannah tersenyum legar mendengar kata-kata sahabatnya.
Sungguh senang rasanya mengetahui bahwa sahabatnya terdengar kalut karena memikirkan keberadaannya. Hannah lalu memutuskan untuk menggunakan suara aslinya.
"Aurora... ini aku, kumohon jangan berteriak," kata Hannah cepar. Ia lalu menambahkan, "Aku baik-baik saja. Kau tidak usah menguatirkanku."
Aurora tertegun mendengar suara di ujung telepon berubah menjadi suara yang sangat dikenalnya. Namun, ia dapat cepat menguasai dirinya dan menahan emosinya agar tidak meledak menjadi tangisan.
"Astaga.. Hannah, itu kau? Kau baik-baik saja?" tanya Aurora.
"Aku baik-baik saja," kata Hannah menenangkan sahabatnya.
"Apakah kau bersama Fred?"
"Tidak. Ia kemarin hanya memberiku tumpangan ke pusat kota. Aku tidak mau merepotkannya. Sekarang aku ada di tempat yang aman. Ada beberapa orang yang membantuku. Kurasa, aku akan pergi ke Asia atau Australia. Kau ingat kan, ada teman kita di Melbourne dan Hong Kong?"
"Oh, kau akan mengunjungi Emily atau Eva?" tanya Aurora. "Tapi paspormu ada di sini... Bagaimana bisa kau keluar negeri?"
"Temanku bisa membantuku membuatkan paspor baru. Kau tidak usah kuatir. Pokoknya aku akan mengabarimu lagi begitu aku tiba di Hong Kong," kata Hannah menenangkan.
"Duh.. Hannah. Apakah kau punya uang? Aku bisa mengirim uang kepadamu. Kau hubungi aku kapan saja kau membutuhkan bantuan. Nanti aku akan mengunjungimu begitu kau sudah ada di tempat yang aman," kata Aurora.
"Tenang saja. Aku akan baik-baik saja." Hannah mengusap matanya yang basah.
Sebenarnya ia tidak mau membohongi sahabatnya sendiri, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Kalau sampai Aurora disadap atau nanti ia akan dipaksa untuk memberi tahu keberadaan Hannah, maka ia akan memberi mereka informasi palsu, karena Aurora sendiri tidak tahu bahwa ia dibohongi.
Ia dan keluarga Hannah akan mengira gadis itu telah pergi keluar negeri dengan paspor palsu dan menuju ke Hong Kong atau Melbourne, padahal... Hannah masih tinggal di Amerika.
Setelah menutup panggilan telepon ke Aurora, Hannah mencari Harley dan menanyakan nomor telpon Friedrich kepada pelayan robot tersebut. Setelah ia memperoleh nomornya, Hannah lalu menghubungi pemuda itu.
"Hallo, Fred, ini aku Hannah. Yah, ponselku yang baru sudah datang. Kau bisa menympan nomor ini. Bagaimana kabarnya? Apakah kau sudah makan siang?" tanya Hannah kepada Friedrich.
"Hmm.. sudah," Friedrich belum terbiasa ditanya apakah ia sudah makan siang seperti ini oleh seorang wanita. Karenanya, jawabannya terdengar agak canggung.
Ia memang sering lupa makan karena kesibukannya. Itulah sebabnya Karl dan dirinya bahkan menjadi terbiasa tidak sarapan karena Friedrich memang kurang memperhatikan makanan apa yang mereka konsumsi sehari-hari.
"Uhmm.. aku mau mengatakan bahwa aku telah menelepon sahabatku, Aurora, dan memberinya cerita bahwa aku ikut denganmu hingga ke pusat kota dan kemudian kita berpisah. Aku bilang kepadanya bahwa aku sebentar lagi memperoleh passport baru dan akan dapat menggunakannya untuk bepergian ke luar negeri. ia mengira aku berniat pergi ke Hong Kong," kata Hannah dengan jelas dan tenang.
"Hong Kong?" Friedrich mengerutkan keningnya. "Kau sengaja berbohong kepada sahabatmu?
Hannah mengangguk pelan, walapun ia tahu Friedrich tidak dapat melihatnya.
"Aku yakin mereka akan datang ke tempatmu dan menginterogasimu tentang keberadaanku... Aku ingin cerita kita sama, bahwa kau menolongku dan memberiku tumpangan hingga ke pusat kota, lalu kau tidak pernah melihatku lagi. Aku tak ingin mereka terus-terusan menganggumu kalau mengira bahwa aku bersamamu."
"Hmm... aku mengerti," kata Friedrich akhirnya.