Liburan Ke Bali
Liburan Ke Bali
Walaupun mobil mereka dilengkapi penghangat, sebentar lagi saat mereka keluar dari mobil dan naik ke pesawat, mereka akan merasakan dingin yang menusuk tulang. Fee belum pernah bepergian dengan pesawat lebih jauh dari Monaco... setidaknya, itulah yang diingatnya.
Ia merasa bersemangat karena akan dapat melihat tempat baru yang berbeda dari biasanya. Dan yang paling penting... iklim di tempat tujuan mereka akan hangat dan menyenangkan.
Ia beberapa kali menanyakan kepada Ren kemana tempat tujuan mereka berlibur, tetapi Ren hanya tersenyum dan tidak menjawab.
"Ini kejutan. Kau akan suka," hanya itu kata suaminya. "Yang jelas di sana ada pantai yang sangat indah. Kau bisa bermain air sepuasnya dan berjemur di bawah sinar matahari."
Fee benar-benar sudah tidak sabar. Ia suka musim dingin dan melihat salju, tetapi hanya sekadar melihat. Ia tidak begitu menyukai udara dingin yang menusuk, apalagi jika angin sudah bertiup dengan sangat kencang.
Begitu pesawat lepas landas dan terbang di ketinggian 10 km, Ren mengajak Fee beristirahat di kabin. Perjalanan mereka akan berlangsung selama 13 jam dan ia ingin Fee mendapatkan istirahat yang cukup.
"Tiga belas jam? Rupanya tempat yang kita tuju jauh sekali..." komentar Fee saat Ren membantu melepaskan sepatunya dan kemudian menyelimutinya di tempat tidur.
"Benar. Pesawat kita hanya akan berhenti sebentar di Dubai untuk mengisi bahan bakar dan kemudian langsung melanjutkan perjalanan ke sana. Perjalanannya cukup panjang dan melelahkan, karena itu sebaiknya kita bersantai."
Ren memutar sebuah film untuk mereka tonton sambil berbaring di tempat tidur sambil berpelukan. Staf pesawat datang membawakan makanan dan minuman untuk mereka dan melayani semua kebutuhan pasangan itu. Fee benar-benar merasa sangat dimanjakan.
Setelah makan malam dan menyelesaikan film yang mereka tonton, gadis itu akhirnya menguap karena mengantuk.
"Tidurlah..." kata Ren sambil mematikan layar TV dan menarik selimut Fee hingga ke dadanya. Ia sendiri kemudian menyusup di balik selimut dan memeluk istrinya.
Fee memejamkan mata dan membiarkan Ren memeluknya.
Hmm.. rasanya sangat menenangkan, pikirnya. Ia sangat merindukan dipeluk Ren seperti ini. Bisa dibilang, ini baru pertama kalinya Ren kembali tidur di sampingnya di atas ranjang yang sama setelah mereka berpisah.
"Ren..." Fee membuka matanya dan memutar tubuhnya menghadap ke arah suaminya. "Selama aku tidak ada... apakah kau bisa tidur?"
Ren membuka matanya dan menatap tepat ke mata Fee yang memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Pria itu menggeleng sedih. "Aku tidak bisa tidur. Aku hanya bisa tidur setelah beberapa hari dan itu pun tidak lama."
"Tsk.." Fee menggeleng-geleng. Ia meraba mata Ren dan menyadari sepasang mata cokelat itu hingga kini masih terlihat berduka. "Kalau begitu kau juga harus beristirahat."
Ren mengangguk. Ia menarik tangan Fee yang membelai wajahnya ke bibirnya lalu mencium punggung tangan Fee. "Aku tidur sekarang."
Ia lalu memejamkan matanya. Fee memperhatikan Ren tidur dan memastikan suaminya benar-benar tidak membuka mata lagi, barulah ia pun ikut memejamkan mata.
Satu jam kemudian, setelah napas Fee menjadi teratur dan ia tidur dengan lelap, Ren membuka matanya dan memperhatikan wajah pulas istrinya.
Dulu, ia selalu merasa sangat nyaman berada di samping Fee dan bisa tidur dengan pulas. sesuatu yang menjadi kemewahan baginya sejak ia masih kecil. Namun kini, walaupun ia sudah berbaring di samping Fee dan bisa memeluknya sepuas hati, kepalanya tetap memusing dan ia tidak bisa tidur.
Ia harus berpura-pura memejamkan mata dan menahan diri hingga Fee terlelap, karena kalau Fee tahu Ren tidak bisa beristirahat, gadis itu akan menjadi kuatir.
Di saat seperti ini, Ren sama sekali tidak ingin membuat Fee kuatir.
Ia menarik napas panjang dan mengatakan kepada dirinya sendiri ini adalah hukuman karena ia tidak menghargai kehidupannya bersama Fee sebelum semua musibah itu terjadi.
Seandainya Fee terbuka kepadanya sejak awal bahwa ia mengandung, Ren mungkin akan dapat berpikir dengan lebih cepat dan memutuskan langkah apa yang harus diambilnya.
Ia sama sekali tidak berniat menolak anak-anaknya. Ia hanya kaget dan terguncang karena kehamilan Fee ada di luar rencananya. Namun, ia akan sangat menyayangi anak-anak mereka.
Seandainya ia tahu lebih awal, mungkin ia sudah menjemput Fee dan memohon gadis itu untuk kembali kepadanya dan ia akan memutuskan lebih awal untuk membatalkan semua rencana balas dendamnya.
Sekarang... walaupun ia sudah melupakan semua dendam di masa lalu, tetap saja ia telah kehilangan kedua anak mereka, dan ia tidak dapat membalikkan waktu.
Air matanya kembali mengalir perlahan turun ke pipinya. Fee tidak tahu betapa Ren menangisi anak-anak mereka sendirian saat ia seorang diri. Ia masih belum merelakan mereka dan hatinya sangat terluka, tetapi ia harus bersiap-siap mencari waktu untuk memberi tahu Fee apa yang terjadi sebenarnya...
Dan ketika kebenaran itu nanti sudah terungkap, ia harus ada di sana untuk menghibur dan menguatkan Fee.
Ia tidak tahu bagaimana ia dapat menghibur istrinya di saat ia sendiri masih belum dapat merelakan apa yang terjadi.
Ia memeluk Fee semakin erat.
***
"Akhirnya kita sudah sampai," kata Ren sambil tersenyum. Ia mengeluarkan seperangkat pakaian dari koper mereka dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. "Kau berganti pakaian dulu dengan pakaian yang sesuai untuk iklim tropis. Di luar cuacanya cukup panas."
Fee mengangguk. Ia lalu mengganti pakaiannya dengan celana pendek putih, sandal anyaman berwarna jerami, dan atasan tipis biru. Rambutnya dibiarkan tergerai ke samping tubuhnya, membuatnya terlihat segar dan cantik.
Ren sendiri mengenakan celana di bawah lutut, kemeja lengan pendek dan sandal santai. Ia tampak begitu tampan dan muda. Untuk sesaat Fee terpana melihat penampilan suaminya. Ren terlihat seperti seorang mahasiswa saja...
"Kita sudah siap untuk liburan," komentar Ren. Ia mencium pipi Fee dan berbisik. "Kau cantik sekali..."
Fee tersipu-sipu dan mengangguk. "Terima kasih."
Ia melongok keluar jendela pesawat dan melihat runway serta beberapa pesawat pribadi lainnya yang parkir di area yang sama.
Ah.. tempat ini pasti populer. Ada begitu banyak orang kaya yang berlibur ke sini, pikirnya.
"Apakah aku sudah boleh tahu kita di mana?" tanya Fee sambil menjawil suaminya. Ren akhirnya mengangguk. Ia membentangkan tangannya dan menyambut Fee.
"Selamat datang di Bali."
Fee menekap bibirnya karena kaget. "Sungguh? Kita sekarang di Bali?"
Ren mengangguk. "Aku sudah membeli sebuah villa di sini. Tempatnya sangat privasi dan bahkan asistenku saja tidak mengetahui aku punya tempat tinggal di Bali. Aku ingin menghindar sebentar dari tugas negara dan lain-lain, untuk menghabiskan waktu denganmu... Aku yakin kau akan suka tempat ini."
Fee sudah banyak membaca tentang Bali dan tidak pernah bermimpi suatu hari nanti akan dapat pergi ke sana. Ia mendengar bahwa tempat ini sangat cantik dan ia sudah tidak sabar ingin menjelajahinya.