Kumohon Kembalilah Kepadaku
Kumohon Kembalilah Kepadaku
"Linda memberitahuku makanan kesukaanmu dan aku mencoba membuatnya," kata Ren. Ia mengambil pasta dan mulai merebus air untuk memasaknya. Lalu mengeluarkan beberapa jenis saus dan daging giling serta sayuran.
Fee tertegun melihatnya. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan Ren akan bersikap seperti ini.
Apakah Ren memang berubah setelah mengalami peristiwa traumatis dan akhirnya sadar bahwa ia tidak mau kehilangan Fee dan anak-anaknya?
Pelan-pelan air mata mengalir turun ke pipi Fee saat ia memperhatikan suaminya memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan makanan kesukaannya.
Ia merasa terharu karena akhirnya Ren berubah...
"Kenapa kau menangis?" tanya Ren tidak mengerti saat ia mengangkat wajah dan melihat Fee meneteskan air mata kembali.
Fee menggeleng dan membuang muka. Ren menghela napas lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Setengah jam kemudian di meja makan telah terhidang hidangan pasta dan steak blackpepper serta caprese salad.
"Biarkan aku menyuapimu," kata Ren cepat saat melihat Fee hendak mengambil pisau dan garpu. "Tanganmu masih sakit."
Fee hendak protes, tetapi Ren telah menyingkirkan peralatan makannya dan dengan sigap mengulurkan caprese salad ke depan bibir gadis itu.
Fee mengerutkan keningnya. "Aku bisa makan sendiri."
"Nanti, kalau kau sudah pulih sepenuhnya. Tetapi sekarang biarkan aku yang merawatmu..." kata Ren tegas.
Ia tetap menunggu hingga Fee membuka mulutnya dan memegang caprese salad di depan bibir gadis itu. Akhirnya Fee menyerah dan memakan tomat yang disuapkan Ren untuknya.
"Aku tahu kau suka steaknya dipotong kecil-kecil," kata Ren lagi. Ia memotong steak di piring Fee menjadi potongan kotak-kotak yang kecil dan rapi lalu menyuapkannya kepada Fee juga.
Saat Fee mengunyah makanannya, barulah Ren juga memotong makanannya dan mengunyah. Ia juga menyuapi Fee pasta dan hidangan lainnya.
"Aku sudah kenyang." Fee menolak makanan berikutnya yang hendak disuapkan Ren.
"Sedikit lagi?" tanya Ren berusaha membujuk.
Fee menggeleng. "Aku tidak mau makan lagi."
Ren menghela napas dan menurunkan garpunya. "Baiklah. Aku juga tidak terlalu selera makan."
Ketika ia hendak menggendong Fee kembali, gadis itu menolaknya. "Aku bisa berjalan sendiri."
"Baiklah. Tapi biarkan aku membantumu berjalan," kata Ren, masih tidak mau menyerah. Ia menahan bahu Fee agar tidak oleng dan memastikan gadis itu dapat berjalan tanpa terjatuh menuju ke kamar perawatannya.
Mereka berjalan perlahan-lahan dan akhirnya tiba di sana. Salju kembali turun dengan deras dari luar jendela dan pemandangan itu membuat Fee terpekur. Sungguh tahun baru yang dingin dan kelabu, pikirnya.
Ren duduk di samping Fee dan ikut mengamati salju yang turun. Sepasang mata madunya tampak dipenuhi kesedihan.
Setiap kali ia berpura-pura tenang dan kalem di depan Fee, hatinya terasa ditusuk sembilu. Kesedihannya sendiri masih belum berlalu dan luka di hatinya belum juga pulih, tetapi ia harus terlihat baik-baik saja di depan Fee, agar istrinya tidak curiga.
"Fee..." keheningan di ruangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Ren yang terdengar serak.
Ia mengulurkan tangannya dan meremas lembut tangan kiri Fee. Gadis itu masih tidak mau menoleh ke arahnya. Ia sibuk memperhatikan butir-butir salju yang turun.
"Aku ingin kita kembali bersama. Aku telah banyak memikirkannya selama dua minggu ini." Kata-kata Ren yang diucapkan dengan tegas ini membuat Fee akhirnya menoleh. Ia menatap pria itu dengan sepasang mata sedih.
"Kita sudah membicarakan ini. Saat kau datang menemuiku di penthouse bosku, aku sudah memberitahumu bahwa aku hamil dan aku menginginkan anak ini, tetapi kau memilih pergi. Itu sudah menunjukkan bahwa kau masih tetap seperti yang dulu," kata Fee akhirnya. Ia menggeleng sedih. "Aku sudah menerima kenyataan itu dan kita sudah membahas apa yang akan kita lakukan sekarang. Kau dan aku menginginkan hal berbeda, dan aku mengerti bahwa dengan situasimu sekarang, kau tidak bisa menerima kami."
"Bukan.. bukan itu. Aku sudah mengatakan kepadamu beberapa hari yang lalu. Aku pergi karena aku perlu waktu berpikir, dan aku sudah berpikir. Sekarang aku sudah mengambil keputusan," Ren meremas tangan Fee lagi. Air matanya mulai mengalir. "Aku SANGAT MENCINTAI anak-anak kita. Peristiwa yang menimpamu telah membuka mataku, bahwa tidak ada yang lebih penting daripada kau dan anak-anak... Sekarang aku tidak peduli lagi kepada apa pun. Moravia, kedudukan putra mahkota, dan semuanya itu tidak penting... Aku hanya ingin kau kembali kepadaku."
Fee tertegun melihat kesungguhan Ren. Apalagi saat air mata suaminya mengalir deras membasahi wajahnya. Ren benar-benar terlihat sangat berduka. Hati Fee yang pada dasarnya sangat lembut menjadi tidak tega.
Pelan-pelan ia mengangkat tangan kanannya dan mengusap wajah Ren. Pria itu memejamkan matanya dan menikmati usapan tangan Fee di wajahnya. Air matanya mengalir semakin deras.
"Oh, Ren..." Fee menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak tega melihat pria dewasa yang dingin itu tampak menangis tersedu-sedu meminta pengampunan darinya.
Bagaimanapun Fee mencintai suaminya. Sejak dari pertama mereka bertemu, ia telah menyimpan kekaguman dan rasa cinta kepada Ren. Hari ketika mereka menikah adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya.
Ren menatap Fee dalam-dalam dengan sepasang mata cokelatnya yang dipenuhi kedukaan. "Kumohon.... kembalilah bersamaku. Aku berjanji akan melupakan semuanya dan hanya mementingkan dirimu dan anak-anak kita."
Fee menggigit bibirnya. Ia tidak sanggup menolak. Ia sangat mencintai pria ini.
Akhirnya ia mengangguk pelan.
Sepasang mata Ren yang tadinya sudah kehilangan cahaya tampak pelan-pelan menjadi berkilauan, dan bibirnya melengkung sedikit, menjadi sebuah senyum kelegaan.
"Aku berjanji akan membahagiakanmu..." bisiknya saat ia merengkuh kepala Fee dan memeluknya erat sekali.
Mereka berpelukan beberapa lama dan kemudian Ren melepaskan pelukannya. Wajahnya tampak mulai sedikit cerah. Air matanya masih mengalir, tetapi Fee tidak melihatnya sesendu sebelumnya. Mungkin Ren memang benar-benar hanya menginginkan Fee kembali.
"Kau benar-benar mau menerima dan membesarkan anak-anak kita?" tanya Fee dengan suara ragu. Ia menatap Ren lekat-lekat.
"Aku hanya hidup untuk anak-anak kita," kata Ren sambil mengangguk. Ia lalu menyentuh dagu Fee dan mencium bibirnya dengan lembut.
Fee membalas ciumannya secara otomatis. Ia tidak ingat kapan terakhir kali bibir mereka bersentuhan seperti ini.
Ah, ya.. benar, bulan lalu, saat ia memberitahukan kehamilannya kepada Ren dan kemudian Ren pergi.
Ia mencoba tidak memikirkan peristiwa buruk yang terjadi setelahnya dan hanya memfokuskan perhatiannya pada kedua bayi dalam kandungannya dan pada Ren yang kini telah berubah.
Ciuman keduanya mesra dan hangat. Ren melepaskan diri sebelum nafsunya bangkit. Ia tidak ingin meniduri Fee dalam kondisi istrinya masih terbaring lemah setelah operasi.
Nanti, begitu Fee pulih sepenuhnya, dan mereka bisa menyepi di tempat yang baru, ia akan mengusahakan agar Fee hamil lagi dan ia akan memperoleh anak-anak pengganti sebelum ia memberi tahu Fee apa yang terjadi sebenarnya ketika Amelia menembak Fee di paviliun istana.