The Alchemists: Cinta Abadi

Duka Ren



Duka Ren

Ren seketika merasakan jantungnya berdebar sangat keras. Ia sedang menyampaikan sambutannya kepada para tamu yang hadir dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka.     

Kertas di tangannya masih berisi berbagai nama orang penting dan institusi yang harus ia sebut dan berikan penghargaan atas kontribusi mereka kepada Moravia di tahun 2061...     

Tetapi rasanya ia tidak sanggup lagi membaca. Wajahnya memucat dan ia mengangkat tangannya.     

"Sekali lagi terima kasih. Aku mohon maaf, tidak bisa menemani kalian semua sampai akhir acara..." Ia memandang ke sekeliling aula dan memaksakan senyum. "Selamat menikmati acara ini hingga akhir. Selamat tahun baru!"     

Ia membungkuk sedikit dan kemudian turun dari atas panggung, diikuti gemuruh tepuk tangan para tamu. Ren menghampiri Raja Gustav dan Ratu Elena dan membisikkan sesuatu kepada mereka dan memeluk mereka bergantian.     

Ia mengaku kembali merasakan sakit kepala hebat yang sedari dulu mengganggunya dari waktu ke waktu dan meminta izin untuk pulang duluan dan beristirahat.     

Ratu Elena mengusap kepalanya dan mengangguk penuh pengertian.     

"Kau beristirahat saja. Kesehatanmu lebih penting," kata wanita tua anggun itu.     

"Terima kasih, Yang Mulia," Ren memeluk neneknya sekali lagi kemudian mengambil mantelnya dan bergegas pergi meninggalkan aula.      

Mischa yang melihat peristiwa itu berusaha mengejarnya, tetapi lagi-lagi para pengawal istana menghalangi langkahnya.     

"Tuan adalah tamu di sini, saya mohon Anda menghormati peraturan istana," kata pengawal tersebut dengan ekspresi tegas.      

"Aku ingin bicara kepada Pangeran Renald. Ia tadi membawa pergi asistenku.." tukas Mischa.     

"Pangeran sedang sakit dan ingin beristirahat. Mohon jangan menganggu beliau. Asisten tuan pasti sedang dirawat dokter istana dan Anda bisa menemuinya nanti."     

"Ugh..." Mischa mengepalkan tangannya sambil menatap ke arah pintu aula. Ren baru saja menghilang di baliknya.     

Hmm.. tadi ia melihat Ren memerintahkan seorang wanita untuk memanggil dokter dan wanita itu tadi langsung berjalan mengikutinya keluar aula ketika Ren membopong Fee. Pasti wanita itu tahu di mana Fee sekarang berada.     

Mischa memutuskan untuk mencari Amelia.     

***     

Ren berjalan dengan langkah-langkah cepat melintasi lorong istana menuju kamar tamu. Ia merasakan perasaan tidak enak di dadanya dan detak jantungnya berdegup begitu kencang. Ia membuka pintu kamar dan melangkah masuk dengan langkah-langkah panjang.     

"Pangeran..."      

Ia melihat Dokter Henry sedang bersimpuh di lantai dengan wajah putus asa dan tangan berlumuran darah, sementara di sampingnya terbaring seorang wanita cantik dengan perut bersimbah darah.     

"Fee!!!" Ren merasakan seolah jantungnya berhenti berdetak saat ia melihat Fee berlumuran darah seperti itu. Ia segera berlari ke arah gadis itu, mendorong Dokter Henry ke samping dan kemudian bersimpuh memeriksa keadaan Fee. Wajah Ren menjadi sangat pucat dan terlihat dipenuhi kepanikan. "Fee.. bangunlah, Fee... Fee!!"     

Ia lalu menoleh para Dokter Henry dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.     

"SIAPA YANG MELAKUKAN INI?!!!" teriaknya dengan suara menggelegar.     

"Lady... Lady Amelia..." kata Dokter Henry dengan tubuh gemetaran. "Dia.. dia tadi meracau dan menembak Nyonya dua kali, lalu pergi keluar."     

Seketika wajah Ren dipenuhi kemurkaan yang tak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Sepasang mata cokelatnya tampak dipenuhi aura membunuh. Ia hendak bangkit mengejar Amelia, tetapi Dokter Henry menahan tangannya.     

"Tuan.. keselamatan nyonya harus menjadi priroritas kita. Aku barusan sudah menelepon rumah sakit, tetapi mereka masih perlu waktu untuk sampai di sini..." kata Dokter Henry dengan nada memohon. "Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang... kondisi Nyonya sedang kritis."     

Saat itu, seolah diguyur air yang sangat dingin, kemurkaan di wajah Ren hilang, berganti dengan kepanikan dan rasa sedih yang sangat dalam. Ia memeluk Fee dan mencium rambutnya. Ia tidak berani melihat ke arah perut Fee yang berlumuran darah. Kepalanya memusing dan ia tidak dapat berpikir jernih.     

Kalau tidak ada Dokter Henry di situ.. mungkin ia akan terpaku seperti orang bodoh, tidak dapat berbuat apa-apa. Padahal ia adalah seorang genius yang selalu dapat berpikir dengan cepat dan akurat.     

Kini, ia benar-benar merasa tidak berdaya. Oh, Tuhan... tolong selamatkan Fee dan anak kami,... Ren memohon dalam hati.     

Dengan tangan gemetar ia mengambil ponselnya dan menelepon John. "Siapkan mobil di samping pavilion tamu. Kita harus berangkat ke rumah sakit sekarang. CEPAT!"     

Ia tidak mendengarkan jawaban John segera membanting ponselnya ke lantai dan buru-buru memeriksa keadaan Fee. Untuk pertama kalinya ia berani menyentuh perut Fee yang berlumuran darah dan seketika dadanya terasa seolah dipukuli palu godam yang sangat besar dan berat.     

Tanpa terasa air mata membanjir ke pipinya. Dengan ekspresi putus asa ia menoleh ke arah Dokter Henry yang tampak merapatkan kedua tangannya untuk berdoa.     

"Bagaimana kondisinya, Dokter.. Tadi kau sudah memeriksanya, bukan? Apakah dia bisa diselamatkan?"     

Dokter Henry tidak pernah menjanjikan bahwa pasiennya akan selamat, karena sejago apa pun seorang dokter, mereka tidak dapat menjamin bahwa pasien yang mereka tangani akan dapat sembuh, sebab nyawa ada di tangan sang pencipta.     

Kalau mereka menjanjikan bahwa pasien akan selamat, tetapi kemudian ternyata pasien itu meninggal, maka keluarganya akan menyalahkan sang dokter dan menuduhnya berbohong. Karena itulah rata-rata dokter hanya akan menenangkan keluarga pasien dengan mengatakan bahwa mereka akan melakukan yang terbaik.     

Namun kali ini, Dokter Henry tidak berani mengatakan hal tersebut. Pria di depannya sangat menakutkan dan berkuasa, dan saat ini pikirannya sedang tidak jernih. Dokter Henry takut kalau ia tidak menjanjikan keselamatan, maka ia akan terkena akibatnya.     

Karena itulah ia buru-buru mengangguk dan berusaha tersenyum untuk menenangkan Ren. "Nyonya baik-baik saja... beliau pingsan karena kaget. Tekanan darahnya barusan cukup baik dan detak jantungnya juga normal..."     

Berhasil!     

Kata-katanya barusan berhasil mengembalikan sedikit warna ke wajah Ren yang pucat pias. Pria itu mengangguk berkali-kali tanda mengerti. Ia memeluk Fee dan mencium keningnya. Air mata masih mengaliri pipinya.     

Ia takut setengah mati kalau Fee dan anaknya tidak selamat. Tetapi kata-kata Dokter Henry barusan membuatnya merasa sedikit lebih baik.     

Tampak sinar lampu mobil menyala di luar jendela yang menandakan John telah tiba dengan mobilnya. Ren segera bangkit menggendong Fee dengan kedua lengannya dan berjalan keluar. Dokter Henry buru-buru berjalan mendahuluinya dengan membawa tasnya lalu membukakan pintu untuk Ren.     

Beberapa staf yang melihat Ren membopong seorang wanita yang berlumuran darah segera datang menghampiri sang pangeran tetapi ia segera mengusir mereka.     

"JANGAN MENGHALANGI JALANKU!" bentaknya,     

Mereka semua segera mengkeret ketakutan dan mundur. John tampak sangat terkejut melihat Ren menggendong Fee yang terluka tetapi ia tidak mengatakan apa-apa dan segera membukakan pintu dan membantu Ren memasukkan tubuh Fee ke bangku belakang mobil.     

Ren duduk di samping Fee dan memangku kepalanya sementara Dokter Henry duduk di samping pengemudi. John dengan cepat segera menghubungi patroli pengawalan dan meminta mereka membuka jalan bagi rombongan pangeran yang akan segera ke rumah sakit.     

Lima menit kemudian mereka telah melaju di jalan raya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.