The Alchemists: Cinta Abadi

Cerita Rose



Cerita Rose

"Kau tadi mengambil kesempatan terus," omel Rose setelah mereka tiba di apartemennya kembali.      

"Kau yang menyuruhku menggunakan segala cara untuk mencegahmu minum sampai mabuk dan mempermalukan dirimu sendiri. Kurasa tadi aku berhasil," kata Rune sambil tersenyum. "Buktinya sekarang kau baik-baik saja, kan?"     

Rose memutar matanya dan memukul dada Rune. "Dasar!"     

Mereka masuk ke dalam apartemen dan pintu terkunci dari dalam secara otomatis. Rose menghempaskan tubuhnya di sofa dan memejamkan mata. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia lalu memijat keningnya, berusaha menghilangkan rasa pusing itu, tetapi tidak terlalu berhasil.     

"Kau pusing?" tanya Rune tiba-tiba, yang duduk di sampingnya. "Coba minum ini."     

Ia menyerahkan secangkir air hangat dan sebuah pil kecil berwarna merah.     

"Apa ini?" tanya Rose.      

"Pil anti hangover buatanku sendiri," jawab Rune.     

"Buatanmu sendiri? Apa ini aman? Kau kan bukan dokter?" tanya Rose keheranan.     

"Aku bukan dokter. Dokter tidak bisa membuat obat," kata Rune. "Aku membuatnya dari berbagai bahan pereda sakit kepala dan nyeri yang sudah terbukti manjur. Ini bisa meredakan segala nyeri."     

Rose mengerutkan keningnya, hendak menolak, tetapi ia melihat mata Rune yang berkilauan cerdas dan entah kenapa gadis itu merasa bahwa Rune memang berkata jujur. Lagipula, mereka kan sudah kenal agak lama di titik ini. Ia sudah tahu bahwa Rune tidak pernah berbuat aneh-aneh kepadanya.     

Rose juga sudah bertemu kakak dan keponakannya dan menganggap bahwa selain keluarga kakak iparnya yang kemungkinan terlibat dengan mafia, Rune ini terlihat berasal dari keluarga baik-baik.     

"Baiklah," kata gadis itu. Ia mengambil pil merah itu dari tangan Rune dan meminumnya dengan air hangat yang disediakan pemuda itu. "Terima kasih."     

"Kau mau teh?" tanya Rune sambil beranjak ke dapur hendak merebus air di poci untuk membuat teh. "Kau bilang tadi mau menceritakan kepadaku tentang Leon. Kurasa paling tepat kalau kita mengobrol sambil minum teh? Aku tak mau kau minum wine lagi."     

Rose tertegun mendengar kata-kata Rune. Ah.. ia hampir lupa. Tadi ia memang berencana untuk memberi tahu Rune semua tentang Leon, dan siapa Rose sebenarnya.     

"Boleh," kata gadis itu akhirnya.     

Rune mengangguk. Ia lalu merebus air dan menyiapkah teh untuk mereka berdua. Sepuluh menit kemudian ia kembali ke ruang tamu dengan membaca nampan berisi sepoci teh dan dua buah cangkir. Ia menuang teh ke cangkir mereka masing-masing lalu menyerahkan satu cangkir kepada Rose.     

"Bagaimana sakit kepalamu?" tanya pria itu.     

Rose mengerjap-kerjapkan matanya dan sesaat kemudian sepasang mata indahnya membulat. "Sakit kepalanya sudah hilang!"     

"Syukurlah," kata Rune sambil tersenyum. "Sudah kubilang obatnya manjur."     

"Iya, tapi ini cepat sekali bekerjanya," kara Rose. "Apa betul kau membuat sendiri obatnya?"     

"Benar."     

"Apa kau tidak mau mematenkannya? Aku yakin akan ada banyak perusahaan farmasi yang bersedia membayar mahal untuk formulanya!" kata Rose dengan antusias.     

Rune menggeleng kuat-kuat. "Uhm... tidak usah. Terima kasih."     

Bagaimana sih, Rose ini.. Kalau Rune menjual paten obat ini kepada perusahaan farmasi, nanti ia akan mendapatkan banyak uang dan menjadi kaya. Bukankah Rose hanya ingin menikah dengan laki-laki miskin?     

Tidak, terima kasih. Rune tidak mau menjadi lelaki kaya, kalau itu berarti Rose tidak membutuhkannya lagi.     

"Tidak bisa, bahan bakunya sudah hampir punah," kata Rune mencari alasan. "Bahan utama pereda nyerinya adalah sebuah tanaman endemik dari Amazon. Tanaman ini tidak tumbuh di tempat lain, dan populasinya sendiri sekarang sudah sangat langka. Aku hanya mengambil sedikit dan membuatnya untukmu. Aku harus berhemat dengan bahan bakunya. Jadi kau jangan sering-sering hangover, agar obatnya tidak cepat habis."     

"Oh.. begitu ya?" Rose yang tadi antusias menjadi agak kecewa. Uff.. tadinya ia berharap pemuda nyentrik di depannya ini bisa menjadi orang yang sukses, agar hidupnya menjadi lebih baik. Tapi ternyata Rose berharap terlalu banyak.     

"Benar," kata Rune. "Ah.. aku tidak berbakat bisnis dan menjadi orang kaya. Aku hanya bisa meneliti dan mengerjakan hal-hal yang tidak menghasilkan uang. Kurasa aku akan tetap miskin seumur hidupku."     

Rose mengerutkan keningnya melihat ekspresi pemuda di depannya yang tampak sangat ringan dan menyebut bahwa ia akan tetap miskin seumur hidup dengan sikap gembira. Aneh sekali. Ia baru bertemu orang yang tampak begitu senang menjadi miskin.     

"Kau ini aneh." Hanya itu yang dapat diucapkan Rose. Ia menyesap tehnya dan tidak lagi membahas bagaimana Rune bisa menjadi kaya dari obat pereda sakit kepala buatannya.     

"Baiklah.. tadi sampai di mana?" tanya Rune sambil meletakkan cangkirnya di meja. Ia duduk melipat tangannya di pangkuan dan menatap Rose lekat-lekat. Ia sangat ingin tahu apa sebenarnya rahasia di antara Rose dan Leon.     

Ia menduga bahkan rahasia itu belum diungkapkan Rose kepada teman-temannya. Karena dari apa yang ia perhatikan tadi, Helene dan yang lainnya hanya membahas bahwa Rose dan Leon dulu adalah pasangan kekasih yang kini berubah hubungan menjadi saudara.     

"Hmm.. baiklah. Kurasa, sudah waktunya," kata Rose setelah menghela napas panjang. Ia balas menatap Rune dan memulai ceritanya.     

"Namaku adalah Rose Fournier, putri Duke dan Duchess Fournier," kata gadis itu. "Keluargaku adalah bangsawan tinggi dari kerajaan Medion. Ayahku bersepupu dengan raja Medion. Raja Henry Camille. Bisa dibilang, kami adalah keluarga terdekat baginda raja."     

DEG!     

Tiba-tiba dada Rune berdebar keras. Ia ingat nama Fournier. Ia baru-baru ini membacanya di berbagai berita.     

Ah...     

Rupanya Leon yang itu.     

Rune menatap bibir Rose lekat-lekat, seolah tidak ingin melewatkan satu kata pun dari bibir indahnya. Pelan-pelan ia bisa menebak apa yang terjadi sebenarnya. Namun demikian, ia menunggu hingga Rose menceritakan semuanya.     

"Kau sudah tahu bahwa aku memiliki teman masa kecil bernama Leon... ia juga merupakan kekasihku yang pertama," kata Rose dengan suara pelan. Terlihat jelas bahwa ia merasa sangat sedih saat harus menyebut nama Leon, tetapi gadis itu menguatkan diri.      

Rune menyentuh tangan Rose dan meremasnya lembut. Ia sama sekali tidak mendesak Rose. Ia tahu gadis itu akan menceritakan semuanya, karena ia telah berjanji.     

"Aku tahu itu," kata Rune.     

"Aku dan Leon saling mencintai, tetapi hubungan kami tidak direstui orang tuaku. Ibuku menganggap ia tidak pantas bagiku karena ia bukan seorang bangsawan. Ia juga adalah seorang anak haram yang tidak mengetahui siapa ayahnya. Lagipula ibunya hanya seorang pelayan di rumah kami."     

"Oh..." Rune mendengarkan baik-baik. Ia merasa ada sesuatu yang lebih berat di balik itu semua. Ia sudah mendengar dari Helene bahwa dua tahun yang lalu, ayah Rose, Duke Fournier mengaku bahwa Leon sebenarnya adalah anak haramnya.     

Hal itulah yang membuat hubungan cinta antara Rose dan Leon menjadi tidak mungkin. Rose tidak mungkin menikah dengan kakak tirinya sendiri bukan?     

Tapi.. apa hubungannya dengan status dan kekuasaan yang disebut-sebut Rose saat ia mabuk dulu?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.