Rose Of Medion (3)
Rose Of Medion (3)
"Terima kasih, Pak.." jawab Rose dengan penuh hormat.
Hari pertamanya di sekolah, Rose tidak menemukan kesulitan apa pun. Sepanjang pelajaran ia sibuk memikirkan kekacauan apa yang akan dibuatnya di sekolah ini agar ia dikeluarkan.
"Hallo, Rose…" sapa beberapa orang gadis saat pelajaran usai. Tampang mereka seperti gadis–gadis kalangan atas yang sering dilihatnya di pesta-pesta istana.
"Hallo, juga.."
"Perkenalkan aku Joan Salisbury…" kata si rambut pirang indah dengan manis. "Ini Diana Grant, dan Lucia Spencer.."
"Hai, aku Rose Fournier.."
"Kalau tidak salah, Duke Fournier adalah sepupu raja kerajaan Medion, bukan? Apakah kau anaknya?"
"Ya." jawab Rose ringan. "Memang kenapa?"
Mereka bertiga saling pandang lalu tersenyum kepadanya dengan sangat manis.
"Kita sama-sama bangsawan di sini. Kita bisa jadi teman baik, bukan begitu?" tanya Joan dengan tingkah dibuat-buat. Rose jadi sebal melihatnya.
"Maaf, aku tidak tertarik." sahutnya dingin sambil berjalan melewati mereka. Ia memanggil Helene yang keluar duluan dan berjalan pergi bersamanya.
"Huh, dasar sok.." gerutu gadis-gadis itu.
"Mau-maunya bergaul dengan orang biasa…"
"Dia akan menyesal..."
Rose dan Helene berjalan menuju gedung asrama untuk makan siang. Di depan pintu besar, Peter Wellington telah berdiri menunggu bersama beberapa orang temannya.
"Kau tidak bilang kalau kau ini perempuan..." omel Peter.
Rose tersenyum sedikit. "Kata siapa aku perempuan? Aku cuma menuruti saranmu tadi pagi, kau bilang aku pasti cantik kalau menyamar jadi perempuan.."
Peter tercengang, "Wah...penyamaranmu bagus sekali… Aku sampai tertipu."
"Aku cuma bercanda, bodoh!" Rose tertawa sambil menepuk bahu Peter. "Aku perempuan sejati."
"Aku tahu." bantah Peter. Ia mengikuti Rose dan duduk di sampingnya.
"Peter, meja makan anak laki-laki ada di sana…" tegur Helene lembut. "Kalau Pak Steward melihatmu bertengger di sini, kau bisa dimarahi…"
Peter tertawa acuh.
"Paling-paling aku dihukum." Namun demikian, ia beranjak juga kembali ke mejanya setelah Rose menggeleng. "Baiklah… aku tidak mau dianggap pengganggu."
Rose dan Helene makan dengan tenang, walaupun di ujung meja Joan dan kawan-kawannya memasang wajah masam. Apalagi ketika Peter duduk di sebelah Rose tadi.
"Mereka itu bangsawan…" kata Hellen sambil menuang air minum. "Aku baru bersekolah di sini setahun dan selama ini sikap mereka padaku juga tidak ramah, maklum saja mereka sudah bersama-sama dari tahun pertama, pasti sulit menerima orang baru..."
"Itu bodoh sekali," komentar Rose, "Kalau mereka tidak membuka diri jadinya akan seperti kodok dalam tempurung. Lagipula aku pribadi tidak tertarik bergaul dengan mereka."
Hellen tersenyum. "Peter menyukaimu. Kalian kenal di mana?"
"Tadi pagi kami bertemu di istal. Dipikirnya aku ini laki-laki karena mampu mengalahkannya menunggang kuda."
"Kau hebat sekali…Setahuku Peter adalah atlet penunggang kuda terbaik di sekolah. Dia sudah memenangkan banyak penghargaan…" Helene terheran-heran mendengarnya. "Kau belajar berkuda sejak kapan?"
"Entahlah, sejak kecil aku sudah akrab dengan kuda. Biasanya kalau hari cerah seperti ini aku dan Leon akan pergi melintasi bukit Medion. Kami akan balapan turun dan…" Rose terdiam dan sendoknya tanpa sengaja terlepas dari tangannya. "Aku benci sekolah ini…"
"Jangan berkata begitu… Kau baru sehari tinggal di sini. Cobalah untuk menyukainya." Helene menepuk bahu Rose lembut, "Kami juga memiliki sebuah bukit yang sangat indah. Kalau mau, setelah makan siang kita berkuda ke sana."
"Rose melengos, "Maafkan aku…"
"Tidak apa-apa..."
Helene memegang kata-katanya. Setelah makan siang, ia dan Rose berkuda ke bukit di belakang sekolah.
Rose ingat ke bukit inilah ia tadi pagi berpacu dengan Peter, tetapi tadi ia tidak sempat memperhatikan betapa indahnya bukit itu. Tempat ini terlihat sangat indah dan teduh karena dipenuhi pohon-pohon berbatang besar yang rimbun dan rumpun bunga yang memikat.
"Ini.." Rose terharu sekali hingga hampir kehilangan kata-kata, "..indah sekali.."
"Aku senang berada di sini tapi terlalu merepotkan kalau harus selalu pergi dengan kuda," kata Helene.
"Aku tak keberatan," balas Rose.
Mereka kembali ke sekolah untuk mengikuti pelajaran tata krama dan etiket. Anak laki-laki dipisahkan dengan perempuan dan Peter mengeluhkan hal ini keras-keras.
Rose mendapat kesan Peter adalah seorang pelanggar peraturan sejati. Ketika ia mengungkapkan pendapatnya pada Hellen, Rose terkejut mengetahui bahwa ia salah.
"Peter itu hanya bercanda dengan semua ucapannya, dia itu anak baik. Dia murid yang pintar dan seorang prefek sekolah."
Rose benci mengakui ia salah tapi ia telah melihat lencana P tersemat di dada pakaian Peter.
***
Rose memutuskan hendak membuat sedikit kekacauan malam itu. Ia memanjat turun dari kamarnya melewati sebuah pohon besar. Setelah tiba di tanah, ia berjalan mengendap-endap menuju istal. Rose hendak melepaskan semua kuda yang ada di sana agar terjadi keributan.
Suasana di dalam istal sunyi sekali. Rose merasa tenang karena dapat melakukan pekerjaannya dengan mudah. Sebelum membuka semua pintu kandang ia pergi mengunjungi Zii dan memberi gula padanya.
"Hallo, Zii.. Apakah kau menjadi kuda yang baik hari ini? Bagus… Aku punya gula untukmu."
Ia mengelus-elus Zii dengan sayang.
Tiba-tiba terdengar suara kaki mendekat. Lebih dari satu orang.
Gawat! Rose tidak boleh tertangkap konyol sebelum melakukan apa pun… Apa nanti tuduhan yang akan mereka berikan padanya?!
Menyelinap malam-malam dan memberi gula pada kuda?
Huh! Menghina sekali… Itu tidak cukup untuk membuatnya dikeluarkan.
"Ayo cepat masuk… Catnya tadi pagi kusembunyikan di sini. Aku tahu Pak Steward akan menggeledah kamar siang-siang…" kata sebuah suara yang sepertinya dikenal Rose.
"Haha.. rasakan pembalasanku, Bu Ferguson.." kata suara lainnya.
Rose mengintip dari persembunyiannya dan melihat tiga remaja laki-laki sedang mengerumuni beberapa kaleng cat. Mereka tampak sangat bersemangat hendak melakukan suatu perbuatan melanggar peraturan.
Aha! Rose mengenali salah satunya sebagai teman sekelasnya. Anak berambut keriting berkacamata itu setahunya bernama Jack.
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Rose keluar tiba-tiba membuat mereka bertiga terlonjak kaget. "Kalian penjahat, ya?"
"Hah.. si murid baru..?! Mau apa kau di sini?" tegur Jack.
"Itu bukan urusan kalian. Jawab dulu pertanyaanku. Apakah kalian mau membuat keributan?"
"Tentu saja tidak." Jawab seorang yang rambutnya hitam acak-acakan. "Kami tidak ingin ribut-ribut, cuma akan mencat rambut patung kepala sekolah yang baru—diam-diam tanpa bunyi—"
Rose tersenyum senang. "Aku ikut. Kalau kalian mengusirku, aku akan berteriak biar semua orang tahu…"
"Apa maksudmu?" tanya Jack cemas.
"Aku tak perlu mengulang ucapanku, kalian pasti mengerti, kalian punya otak, kan..?!"
"Entahlah kami bisa mempercayaimu atau tidak.."
"Kalian tidak punya pilihan." Rose memberi isyarat agar mereka mengikutinya. "Ayolah… Aku sudah ingin sekali melakukannya.."
Ia berjalan keluar mengendap-endap diikuti oleh ketiga remaja laki-laki itu dengan langkah terpaksa. Mereka berjalan hati-hati menyeberangi lapangan menuju halaman di mana patung kepala sekolah berada. Bulan bersembunyi di balik awan hingga suasana benar-benar gelap menyeramkan.
Sesampainya di sana Rose kaget sekali karena melihat Peter berdiri menghadang di situ, dengan senyuman tipis tersungging di bibirnya.