Yang Terbaring di Sana Adalah Ibu dan Ayahku
Yang Terbaring di Sana Adalah Ibu dan Ayahku
Ketika Serafima sedang menimbang kira-kira dia harus bertanya pada siapa lagi mengenai kisah asmara lama Jovano, dia dikejutkan sebuah suara.
"Kenapa tidak bertanya langsung padaku?" Mendadak, ada sebuah suara di belakang Serafima.
Terkejut, gadis itu menoleh hanya untuk menemukan wajah menyeringai Jovano. "Jo!" Betapa kagetnya dia ketika lelaki yang menjadi sumber pusing kepalanya ini justru muncul secara mendadak.
Tawa terkekeh keluar dari Jovano dan menempatkan pantatnya di samping Serafima. Batu itu cukup besar untuk menampung mereka berdua. "Sepertinya seharian ini kamu berlarian sana dan sini ke teman-teman Blanche."
Dengan melihat tatapan Jovano saja, Serafima sudah tahu kalau lelaki ini telah mengetahui semua yang terjadi dari pagi hingga siang ini. "Jangan berlagak bodoh, bocah!" Kesal karena Jovano berlagak tak tahu, ia menampar lengan Jovano.
Sekali lagi Jovano terkekeh dan berkata, "Aku kan ingin mengonfirmasi aja ke kamu, sayank."
"Sayank?" Serafima mengernyitkan dahi. "Enak sekali kau memanggil seperti itu ke aku? Bagaimanapun aku ini senior kamu!"
"Oke, oke, senior sayank ...," goda Jovano sambil tersenyum nakal.
"Kamu!" Serafima sangat berhasrat untuk menampar kepala Jovano.
Namun, pria muda itu mendadak bicara, "Ingin tahu tentang apa dariku? Kisah cintaku masa lalu?"
Terdiam karena ucapan Jovano, Serafima menundukkan kepala, tak tahu harus berkata apa. Sebenarnya ini tidak ada kaitannya dengan dia. Bahkan, ini bukanlah urusan dia mengetahui masa lalu Jovano.
Memangnya Jovano hendak menjadi siapanya dia sampai-sampai dia harus mempertimbangkan atau mengetahui seluk beluk Jovano? Oleh sebab itu, dia terdiam, merasa tidak ada wewenang mengetahui masa lalu Jovano, apalagi mengenai kisah cinta pemuda itu.
Meski begitu, hatinya terasa nyeri dan tak nyaman selama dia belum mengetahui mengenai kisah cinta lalu Jovano. Seperti masih ada yang mengganjal di perasaan dia dan dia kesal karena harus menebak-nebak melulu.
"Ohh, sepertinya tidak ingin tahu, yah? Ya sudah, aku gak jadi ngomong, deh!" Jovano hendak meloncat turun dari batu besar itu.
Krepp!
Lengan Jovano dicekal tangan Serafima. Menoleh ke samping, Jovano mendapati gadis sebelahnya cemberut dengan mulut mengerucut. Sungguh menggemaskan.
"Iya, iya, cepat bicara!" Serafima pun menyentak pegangannya di lengan Jovano.
Terkekeh karena taktiknya berhasil begitu mudah, Jovano pun mulai bercerita. Dia menceritakan mengenai pertama pertemuan dia dengan Nadin, perjuangan dia mendapatkan gadis itu, hingga mengenai tragedi yang sangat meremukkan hatinya.
Selesai bercerita, Serafima menatap termangu Jovano di sebelahnya. Bocah ini ... yang dia kira hanya sebatas ditinggal selingkuh pacar lalunya atau sejenis itu ... ternyata memiliki sejarah cinta setragis itu.
Berbeda dengan Serafima yang termangu dengan mulut membuka, Jovano justru tertawa kecil sambil tersenyum. "Kenapa, Fi? Apakah menurutmu ceritaku membosankan? Atau mungkin terlalu mainstream?"
"I-itu ... aku justru berpikir itu seperti telenovela."
"Hm?"
"E-ehh! Maksudku ... itu sungguh diluar dugaan! Sungguh ... tidak terkira, dan ... menyedihkan." Suara gadis itu melirih di akhir kalimatnya. Ia benar-benar turut berduka untuk hati Jovano. Mungkin, jika dia yang mengalaminya, dia akan memilih untuk menjadi pertapa saja dan meninggalkan dunia daripada merasakan remuk redam seperti Jovano.
Namun, dari sini dia jadi mengerti bahwa hati Jovano begitu tegar dan kuat. Di usia semuda itu, Jovano merasakan kisah cinta yang setragis itu. Pasti butuh waktu dan usaha untuk mengatasinya. Pantas saja teman-teman Jovano di Blanche tidak ada yang berani meremehkan Jovano dan pasti mereka juga tidak berani menceritakan kisah ini kecuali Jovano sendiri.
"Hmhh! Ya sudah, ini udah terlalu lama di sini. Pantatku sudah pegal!" Jovano melompat dan berdiri di atas batu, menoleh ke Serafima yang masih duduk, berkata, "Yuk sayank, balik ke pondok! Jangan kelamaan duduk di batu, nanti pantat montok kamu jadi tipis kurang menggairahkan waktu aku remas, loh!"
"Jo!" Serafima mendelik sebulat piring mendengar omongan sembrono Jovano. Ia meloncat dan ingin memukul bocah tak tahu sopan santun pada seniornya ini, tapi Jovano sudah terlanjur terbang menjauh. "Tunggu, bocah mesum! Aku tampar dulu sini otakmu biar lebih lurus kalau berpikir!"
"Ha ha ha! Senior sayank, coba nanti aku teliti apakah bokongmu masih utuh atau sudah kempis, yah!"
"Jo! Sialan! Brengsek kau!" Serafima terbang mengejar Jovano. Namun, di dalam hatinya, timbul rasa iba dan juga respect pada Jovano. Diam-diam dia tersenyum haru dan berjanji pada hatinya sendiri agar dia bisa memberikan Jovano kebahagiaan, tidak seperti Nadin.
'Jo, aku akan memberimu kebahagiaan. Yah, asalkan kau tidak membuatku emosi, sih! Huh! Bocah tengik itu!' batin Serafima sambil terus mengejar Jovano ke arah pondok.
Semenjak itu, Serafima lebih permisif jika Jovano mengajaknya bermesraan. Meski awalnya akan mendapatkan tamparan atau pukulan dulu darinya, namun ketika kondisi sudah memanas, Serafima tak mau kalah dari Jovano dan bergerak bagai Succubus agresif.
-0-0-0-0-0-
Pagi itu usai sarapan, Zivena datang ke pondok es untuk menjenguk kedua orang tuanya. Ia menghapus genangan air mata yang sempat hadir. "Mami ...." Ia kini ingin memanggil demikian untuk ibunya. "Papi ...." Dan itu untuk memanggil ayahnya.
Shelly dan Kyuna yang kebetulan lewat di sana, mengetahui Zivena sedang di dalam pondok es dan mereka berdua masuk. "Zi ...." Shelly memanggil bocah perempuan itu.
Zivena menoleh ke belakang dan semakin heboh mengusap air matanya. "Aunty ...." Tapi dia masihlah anak kecil, tetaplah seorang bocah cilik. Ia pun menerjang Shelly untuk menangis di pelukan Shelly.
Akhirnya, ketiganya pun sama-sama menangis.
"Sudah, sudah, jangan menangis lagi, oke?" Kyuna menghentikan tangisannya. "Noni putri kan hanya sedang tidur, dia masih hidup, maka dari itu, kita jangan menangis lagi, yah!"
Shelly mengangguk. "Iya, Kyu benar. Ndrea masih hidup, masih ada harapan."
Zivena kembali ke peti ibunya dan memeluk peti itu meski tidak bisa seluruhnya. "Mam, tunggu aku dan kak Jo, yah! Kami pasti akan bangunkan Mami." Lalu dia mengecup peti ibunya, dan kemudian melakukan hal sama di peti ayahnya.
Dikarenakan kekuatan Zivena yang masih sangat kecil saat ini, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk ayah dan ibunya. Inilah kenapa dia menangis sedih, karena merasa tak berdaya melihat kedua orang tuanya bagai mayat.
"Kapan kak Jo akan memulai misi, yah?" Zivena mendadak teringat akan ini.
"Jo bilang dia akan mengumumkannya jika dia sudah siap." Shelly berkata.
"Iya, tentu saja tuan muda sebagai pemimpin tim Blanche sekarang, harus mempersiapkan banyak hal terlebih dahulu karena misi yang akan dijalani bukan hal remeh seperti biasanya. Shelly mengangguk setuju pada ucapan Kyuna. "Noni Muda, Noni Muda juga harus mempersiapkan diri," ucapnya pada Zivena.
Gadis cilik itu mengangguk.
-0-0-0-0-
Pagi berikutnya, Jovano mengumpulkan seluruh anggota tim Blanche. "Guys, besok adalah hari aku dan kelompok yang sudah aku tunjuk untuk menjalankan misi."
"Aku tentunya ikut kan, Kak?" Zivena menatap penuh harap ke kakaknya. "Jangan berani-berani Kakak memakai alasan aku masih kecil sebagai jalan untuk menolakku. Yang terbaring di sana adalah ibu dan ayahku juga, Kak. Aku memiliki tugas dan hak yang sama dengan Kakak."
Jovano memandang adiknya. Kenapa dia begitu berbeda dengan Ivy? Ivy, tidak bisakah kau memiliki sebagian saja rasa cinta Zizi untuk keluarganya? keluh Jovano dalam hati.