A Song of the Angels' Souls

138. Jauh dari Hiruk-Pikuk



138. Jauh dari Hiruk-Pikuk

Sebentar lagi, matahari sudah akan sampai di atas kepala. Sambil menenteng satu ember yang penuh dengan ikan berbagai ukuran, Robin berjalan santai melewati tepian jalan desa yang aspalnya berlubang di sana-sini. Dengan sandal jepit pasaran, kaos oblong hadiah dari produk cat, celana pendek bergambar karakter kartun hewan warna kuning, jenggot yang sengaja dipanjangkan, pria itu sama sekali tidak menunjukkan keartisannya.     

Mata Robin terus saja memandangi hamparan sawah hijau yang begitu asri. Ia tak pernah bosan melihat pemandangan itu. Ia bersyukur telah memutuskan untuk pulang.     

"Kamu emang pembawa rezeki, Rob," kekeh ayah Robin. Pria dengan rambut putih panjang yang dikucir, tubuh kekar seperti Robin, wajah yang mulai dihiasi keriput, serta memakai topi fedora lusuh itu memanggul dua alat pancing di pundaknya. Wajahnya tampak begitu sumringah. "Dari dulu, kalau Bapak ngajak kamu buat mancing, Bapak pasti dapat ikan banyak!"     

"Tapi, aku sendiri malah nggak dapet sama sekali," gerutu Robin.     

"Kan, yang penting hasilnya!" Ayah Robin tertawa renyah. "Yuk, cepetan. Bapak udah lapar sekali, nih."     

Begitu sampai di rumah yang besar tetapi sederhana itu—rumah yang dulu dibeli Robin—mereka disambut ibu Robin, seorang wanita yang betubuh agak gemuk dan wajahnya lebih seperti orang lokal. Wanita dengan rambut hitam yang masih lebat itu tampak begitu kegirangan melihat hasil tangkapan ikan yang dibawa Robin.     

Sementara sang ibunda dan adik-adiknya membersihkan ikan dan memasak, Robin dan ayahnya beristirahat di balai bambu di halaman rumah mereka yang luas. Robin sangat menyukai balai itu. Karena dekat dengan pohon mangga yang rimbun, suasananya jadi sejuk. Selama liburannya di kampung, dia jadi sering tidur di sana.     

"Nih." Ayah Robin melemparkan sebungkus rokok ke dekat Robin.     

Robin mendesah lelah. "Kan, aku udah berkali-kali-kali-kali-kali ngomong, aku ini nggak ngerokok, Pak."     

"Oh." Ayah Robin menyesap rokoknya yang sudah menyala. Sebelah kakinya diangkat ke balai.     

"Wah, lagi santai nih, Pak Rukhan, Mas Robin!" sapa seorang bapak-bapak penghuni kampung yang lewat.     

Robin dan ayahnya pun melambaikan tangan dan membalas sapaan itu. Rukhan bukan nama asli ayah Robin. Beliau dipanggil seperti itu karena wajahnya yang kental dengan nuansa india, walaupun sama sekali tidak mirip Shah Rukh Khan, artis Bollywood yang terkenal itu.     

Robin tidak tahu mengapa punya bapak seperti orang India. Jawaban beliau selalu berbeda-beda saat ditanya. Dari mulai yang normal seperti kakek dan neneknya yang berasal dari India, sampai yang absurd seperti klaim bahwa orangtuanya adalah orang jawa tulen, tetapi saat lahir wajahnya tiba-tiba jadi India. Setelah ditelusuri, ibunya tidak berselingkuh. Maka dari itu, waktu kecil ayah Robin dianggap sebagai anak ajaib, bahkan ada yang menyebutnya keturunan dewa.     

Dan satu fakta menarik lain, Robin tadinya mau diberi nama Gobind seperti orang India. Namun, terjadi kesalahan dalam penulisan di akta kelahiran. Ayahnya tidak mau repot-repot mengurusnya di kantor desa. Jadilah dia, dikenal sebagai Robin Hanggara.     

"Jadi, kamu pulang, tapi beneran nggak bawa calon istri, Rob?" tanya ayah Robin penuh selidik.     

Robin kembali mendesah lelah, kali ini jauh lebih panjang. "Nggak, Pak. Ini juga udah berkali-kali-kali-kali-kali kubilang, aku pulang ke kampung ini emang gara-gara udah ngerasa butek aja sama ibukota."     

"Oh." Ayah Robin menyesap rokoknya lagi. "Kalau gitu, mau nggak sama Lastri, anaknya pak Samingun itu?"     

Robin mengingat-ngingat sejenak. Kalau tidak salah, Lastri adalah kembang desa dengan kecantikan alami, tanpa perawatan ini-itu seperti perempuan-perempuan sosialita di ibukota. "Bukannya dia mau nikah sama Jarwo, Pak?"     

"Jarwo kepergok lagi begituan sama kambing. Dia udah nggak tahan gara-gara Lastri nggak mau dibegituin sama dia. Tahu calon suaminya begitu, Lastrinya jadi ilfil. Dia nggak mau dimasukin sama bekas kambing katanya," jawab ayah Robin santai.     

Robin tertawa keras. Ia pun sedikit mencondongkan kepalanya kepada sang ayah. "Boleh, nih. Daripada cewek kota, lebih baik gadis desa."     

Perbincangan mereka pun terus berlanjut, sesekali diselingi dengan gelak tawa. Tak hanya tentang Lastri, tetapi ngalor-ngidul entah ke mana. Robin lebih banyak bercerita tentang pengalamannya sebagai pemain film televisi, hal yang dulu ditutupnya rapat-rapat. Menjadi aktor di dunia televisi negeri ini termasuk pekerjaan yang berat. Robin tadinya tidak mau bercerita agar keluarganya tidak khawatir. Namun, karena ayah dan ibunya terus mendesak mengenai calon istri dari kalangan artis, akhirnya dia mengalihkan pembicaraan ke hal tersebut. Nyatanya, mereka justru kagum karena kerja kerasnya demi menghidupi keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya.     

Sementara itu, ayah Robin lebih suka bercerita tentang alien.     

Cukup lama mengobrol, akhirnya sang ibunda, bersama dua adiknya pun datang sambil membawa makanan. Sang ibunda membawa sepiring besar ikan goreng dan semangkuk sambal, adik perempuan Robin yang masih remaja membawa bakul nasi, sementara anak terakir, lelaki dan masih SD, membawa sepiring tumis pepaya muda dan sekaleng kerupuk. Adik perempuan Robin yang satu lagi, si anak kedua, sedang kuliah di luar kota.     

Robin dan ayahnya bergegas mengambil makanan. Saat baru memasukkan makanan mereka ke mulut menggunakan tangan, keduanya—bersama si bungsu—turun dari balai. Masing-masing berpose aneh. Sang ayahanda merentangkan kedua tangan sambil mendongak ke atas, layak orang yang mendapatkan anugerah dari langit. Si bungsu melakukan gerakan rumit dengan tangannya, seperti ninja di sebuah film kartun.     

Dan Robin berpose seperti orang kesurupan hantu harimau. Lengkap dengan posisi tangan siap mencakar dan mulut mengaum.     

"Enak sekali!" seru mereka bersamaan.     

Tukang sol keliling yang sedang lewat di jalanan depan rumah pun langsung kehilangan keseimbangan sepedanya saat melihat keabsurdan keluarga itu. Untungnya, dia tak sampai jatuh.     

Sang ibunda dan anak perempuan melanjutkan makannya, sama sekali tak peduli.     

"Masak terus dong, Mak," celetuk Robin, kembali ke balai bersama ayah dan adiknya. "Masakan Mamak kan enak banget, tapi kenapa malah seringnya beli?"     

"Males, soalnya kelakuan kalian begitu. Malu-maluin," timpal ibu Robin dengan mulut penuh.     

Ponsel Robin berdering. Ia mengernyit. Dia menggunakan nomor baru. Hanya sedikit yang tahu, termasuk Rava dan Etria. Etria sudah diwanti-wanti agar tidak menghubunginya kalau tidak penting. Robin benar-benar ingin rileks.     

"Bentar." Robin mengeluarkan ponselnya dari saku. Kernyitan di keningnya makin kentara. Etria menghubunginya. "Ah, aku harus angkat ini."     

"Cewek ya, Rob?" tanya ibu dan ayah Robin bersamaan.     

Robin mencibir, lalu pergi menjauh agar yang lain tidak mendengarkan. "Halo, Etria."     

Tanpa basa-basi, Etria langsung bercerita banyak, sesekali bidadari itu terisak. Namun, kali ini isakan itu bukan karena kerewelan yang mengganggu. Etria benar-benar terdengar sangat tertekan.     

Setelah selesai, Robin menurunkan ponselnya, memandang keluarganya yang masih menyantap makanan. Sangat disayangkan, tetapi sepertinya dia harus pergi segera.     

***     

Etria sengaja menunggu sampai malam saat semuanya sudah terlelap. Setelah mengetuk berkali-kali dan tidak digubris, Etria berlutut di depan pintu kamar Rava.     

Bidadari itu mengatur napasnya, mengumpulkan tekad. Menelan ludah, ia pun berkata lirih, "Bisa dibilang, aku ini salah satu penyebab Kacia mendapat musibah seperti itu. Aku yang mendorongnya memasuki ruang pasien saat kamu masih dirawat .... Aku terus mendukungnya untuk pergi denganmu .... Aku yang memilihkan baju untuknya .... Aku juga yang mendandaninya ...."     

Rava yang ada di dalam kamar sama sekali tak memberikan tanggapan.     

"Aku tidak pantas menjadi bidadarimu, Rava." Etria menghapus setitik cairan bening di ujung matanya. "Aku mohon dengan sangat, lepas kontrakku sekarang juga."     

Tak berapa lama kemudian, pintu kamar itu berderit membuka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.