140. Tujuan
140. Tujuan
"Kamu benar-benar hebat, ya?" celetuk Lois, mendatangi Rava sambil meneguk minuman kalengan. Ia baru saja menyelesaikan hukumannya. Kepalanya dihiasi sebuah bandana untuk menutupi tulisan eksibisionis.
Rava langsung mengamati dengan saksama kaleng merah yang dipegang Lois. Lois pun terkekeh dibuatnya.
"Tenang, ini soda, kok." Lois mengangkat kaleng itu, kemudian duduk di dekat Rava.
Lyra yang duduk tak jauh dari situ pun langsung menurunkan ponselnya, memberikan lirikan tajam nan menusuk kepada sang saudari angkat.
Lois segera mengangkat kedua tangannya. "Tenang saja, aku tidak akan menyerang tuanmu ini, Lyra."
Mendengar kata 'menyerang' Rava langsung merinding.
"Tapi, aku benar-benar salut denganmu, Rava. Kamu bisa melalui semua ini dengan begitu cepat," lanjut Lois.
Rava yang sudah akan menyendok buburnya lagi pun mematung. Matanya yang masih terlihat sedikit nanar pun tertuju ke depan, seperti menerawang jauh. "Sesuai saranmu, aku bakal fokus ke tujuanku. Saat ini, tujuanku adalah membasmi monster, sama ngelawan Zita dan Aiden."
"Hooo ...." Mendapati tuannya itu terlihat tak nyaman, Lois mengangkat bahu dan meneguk minuman ringannya kembali, mulai mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah menelepon Robin."
Rava menaruh mangkuk buburnya yang sudah kosong ke meja. "Terus, gimana responnya?"
"Etria benar-benar menghubungi Robin. Dia ingin Robin kembali menjadi tuannya ...." Lois pun menceritakan tentang tujuan Etria, yakni menghapus pemilihan ratu dan menghidupkan korban-korban yang mati.
"Bodoh," decak Lyra, memejamkan mata dan melipat tangan di dada.
"Robin tidak bisa membiarkannya sendirian. Jadi, dia setuju untuk menjadi tuan Etria lagi. Tapi, tujuan Robin hanyalah untuk menjaga pasokan energi kehidupan di tubuh Etria, supaya saat diserang Etria tidak terlalu lemah. Selain itu, Robin juga ingin menyadarkan Etria. Robin berjanji akan sering kontak denganku," terang Lois akhirnya.
Tiba-tiba saja, satu sosok Piv meloncat ke meja ruang tengah. "Ada monster."
Mata Lyra dan Lois langsung tertuju kepada Rava. Pemuda itu mengusap wajahnya yang sedikit pucat, kemudian berkata, "Ayo kita berangkat. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membasmi monster itu?"
"Masih ada Mireon," timpal Lois pelan. "Kalau kamu belum kuat, lebih baik jangan dipaksa. Kamu masih terlihat lemas."
Rava bangkit dari sofa. "Siapa tahu monsternya kuat dan harus dilawan lebih dari satu orang."
"Maka, kita akan baru membantunya kalau dia kewalahan," lanjut Lois.
"Tidak, kita berangkat sekarang." Lyra ikut bangkit dari duduknya. "Kalau Rava sudah berkata sanggup, berarti dia memang sanggup."
***
Rava mati-matian menahan diri untuk tidak muntah saat naik di punggung Lyra. Isi perutnya seperti dikocok-kocok saat dirinya naik-turun.
"Kamu benar-benar tidak apa-apa, Rava?" tanya Lois. Jidatnya masih ditutupi bandana.
Pemuda itu berdehem pelan, berusaha menormalkan kerongkongannya. "Aku nggak apa-apa, kok."
Lois sudah akan bertanya lagi, tetapi karena melihat mata Rava yang begitu fokus ke depan, bidadari itu menahan ucapannya.
"Kita masuk ke bangunan berwarna abu-abu itu," ucap Piv yang sedang naik di pundak Mireon, menunjuk sebuah gedung perkantoran yang lahan parkirnya kosong.
"Untung aja sekarang hari Minggu. Karyawannya pasti pada libur," celetuk Janu yang menaiki punggung Mireon.
Rombongan itu mendarat di halaman depan gedung, langsung mendapati seorang satpam berseragam putih yang tergeletak berlumur darah dengan luka menganga di dada. Perut Rava makin bergejolak, tetapi dia tetap berhasil menahan diri untuk tidak muntah.
Pemuda itu pun turun dari punggung Lyra menarik napas panjang. Dia harus bisa melakukan ini.
"Dia bener-bener nggak beruntung pas dapet giliran jaga." Janu pun meringis melihat mayat sang satpam.
Rava mendekati mayat itu. Perlahan, ia menutup mata sang satpam yang masih terbuka. Setelah itu, dia menutupi wajah mayat tersebut dengan topi satpam yang tergeletak tak jauh dari situ.
"Ayo," ajaknya tegas.
Lyra dan Lois yang sedari tadi mengamati tindak-tanduk tuannya itu pun mengangguk. Kemudian, mereka memasuki gedung kantor lewat pintu depan kaca yang kebetulan sudah terbuka.
"Aku tidak bisa mendeteksi lokasinya secara pasti, tetapi harusnya sih tidak jauh," jelas Piv.
"Kita bagi tim menjadi dua saja," usul Lyra cepat saat mereka baru tiba di lobi. "Aku, Lois, dan Rava, kemudian Mireon."
Entah sudah berapa kali namanya tak disebut, Janu kembali mencibir, mengikuti Mireon yang sudah berjalan tanpa berpamitan terlebih dahulu.
Rava memberi isyarat agar Janu selalu kontak dengannya menggunakan ponsel. Janu pun memberikan acungan jempol.
Tanpa mereka sadari, luka di dada sang satpam di luar gedung mulai mengeluarkan semacam daging berwarna kecokelatan.
***
Waktu berlalu cukup lama, mereka sudah melewati lorong-lorong dengan dinding kaca di kanan-kiri, menaiki beberapa tangga, memeriksa ruangan-ruangan kantor dengan meja-meja komputer, menengok ke ruangan rapat dengan meja besar dan beberapa kursi, sampai mengecek toilet. Akan tetapi, mereka belum juga menemukan monster yang dimaksud Piv.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Lois kepada Rava, yang mulai bernapas berat dan berkeringat dingin.
"Aku masih bisa, kok," jawab Rava, kendati mual di kerongkongannya makin tak tertahankan.
"Kita istirahat dulu saja." Lyra menunjuk sebuah ruangan yang diisi beberapa sofa. Namun, tiba-tiba bidadari itu sedikit tercekat. "Stttt .... Aku mendengar sesuatu."
Lois langsung memandang berkeliling dengan waspada. Dengan posisi saling memunggungi, Lyra dan Lois mengaktifkan senjata masing-masing. Rava yang berada di tengah-tengah mereka pun menelan ludah. Dia juga bisa mendengar langkah kaki di kejauhan dan itu lebih dari satu.
Dua langkah kaki yang bersahut-sahutan itu semakin mendekat. Sampai akhirnya, mereka melihat seorang bidadari yang muncul dari persimpangan lorong.
"Etria?" celetuk Rava saat melihat bidadari itu.
Mendadak, Lois berlari sangat kencang, kemudian melompat. Etria yang baru saja menoleh kepada mereka pun tak bisa berbuat apa-apa ketika tendangan keras Lois mendarat di mukanya. Etria pun langsung terpental dan berguling-guling ke belakang layaknya bola bowling.
Robin sampai meringis dan merinding melihat kejadian itu.
"Dasar Etria bodoh!!!" raung Lois begitu galak. "Kenapa kamu masih berpikiran tidak rasional, hah!? Bisa-bisanya kamu berpikir akan memaksa inti dunia kita untuk menuruti keinginanmu! Memangnya, kamu pikir itu mudah, hah!?"
Etria yang berada dalam posisi aneh dengan pantat di atas pun bangkit, mati-matian menahan air matanya. "Aku serius! Aku akan menghidupkan semuanya!"
Lois merapatkan gigi-giginya. Kedua tangannya terkepal erat. "Inilah yang kubenci dari tuan putri yang dimanja, otaknya benar-benar tidak bisa berlogika!"
"Jangan terlalu keras, kita bisa membuat monster yang kita cari kabur," ujar Lyra.
Lois pun mendengus. Dirinya dan Etria memandang sengit satu sama lain.
Tiba-tiba, Rava merasakan tetesan cairan kental di pipinya. Ia menyentuh cairan itu dengan jari untuk memeriksanya. Cairan itu berwarna bening dan sedikit berbuih. Merasakan tetesan cairan itu lagi, kali ini di dahinya, Rava menoleh ke atas.
Seketika saja, mata pemuda itu membelalak lebar. Satpam yang tadi tergeletak di depan bangunan tampak merayap di langit-langit. Dengan mata yang memancarkan cahaya merah menyala, ia menjulurkan lidahnya yang luar biasa panjang. Tahu-tahu, Rava mendapati lidah sang satpam sudah melilit lehernya. Sedetik kemudian, ia tak bisa bernapas dan kedua kakinya mulai terangkat.
"Ravaaa!" pekik Lyra.