A Song of the Angels' Souls

139. Pesan



139. Pesan

Dari kasur yang digelar begitu saja di lantai itu, Lois bangun pagi dengan bertelanjang bulat, seperti kebiasaan tidurnya selama ini. Menggaruk-garuk rambutnya yang luar biasa berantakan, ia menoleh ke sisi kirinya. Mireon masih tidur dengan posisi telentang, kedua kaki lurus yang merapat, jari-jemari yang saling menaut, serta kedua telapak tangan yang ditaruh di atas dada.     

Saat menoleh ke kanan, ia sudah tak melihat Etria. Di tempat muridnya itu seharusnya berada, ada sebuah lipatan kertas bertuliskan, 'Untuk Lois,' dengan huruf-huruf yang kelewat indah. Menguap luar biasa lebar, Lois mengambil kertas itu dan membukanya, membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana.     

Mata Lois yang tadinya sayu karena kantuk, perlahan-lahan mulai membelalak. Puncaknya, ia pun berlari keluar kamar. "Etriaaaa!!!"     

Rava yang sedang menyantap semangkuk bubur di sofa ruang tengah pun berjengit kaget mendengar teriakan menggelegar itu. Saat memergoki tubuh indah Lois yang tak tertutupi apa pun, ia berjengit kembali, kali ini lebih hebat sampai nyaris menjatuhkan mangkuk di tangannya.     

"Eh, Rava? Kamu sudah keluar?" tanya Lois yang secara ajaib jadi tidak histeris, mengangkat sebelah alis begitu melihat Rava. "Kamu melihat Etria, tidak?"     

"Kamu pakai baju dulu sana!" gerutu Rava. Tentu saja dengan wajah yang seperti dihinggapi hawa panas, ia mengangkat kedua kakinya ke kursi dan membelakangi Lois. "Kamu udah baca surat dari Etria, kan?"     

"Dia benar-benar pergi?" Lois mendatangi Rava, yang langsung menjauh. "Katanya dia sudah melepas kontrak denganmu? Kenapa kamu menyetujuinya?"     

"Kamu pakai baju dulu! Baru kujawab!" Rava sampai menutupi matanya dengan sebelah tangan.     

Janu yang baru terbangun karena ada ribut-ribut berjalan dari sofa depan tempatnya tidur menuju ruang tengah. Awalnya dia tampak begitu mengantuk, tetapi begitu melihat Lois yang tak berbusana sama sekali, matanya membuka begitu lebar. Pandangannya otomatis tertuju kepada lekuk tubuh Lois yang begitu menggoda.     

"Hei, jawab aku dulu ...." Lois sudah akan meraih tuannya itu ketika dirinya merasakan hawa membunuh dari balik punggungnya. Begitu menoleh ke belakang, ia memergoki Lyra yang tatapannya lebih tajam dari biasanya, didampingi ibu Rava yang tersenyum aneh. Ibu Rava tampak menggenggam erat sebuah spidol permanen. Plop! Ibu Rava melepas tutup spidol di tangannya itu.     

Lois sudah membuka mulut, tetapi kerongkongannya seolah tersumbat.     

***     

Eksibisionis. Itu kata yang tertulis di jidat Lois. Kali ini dia berdiri di pojok ruangan dengan satu kaki diangkat, sementara kedua tangannya mempertahankan gelas raksasa berisi jus neraka buatan Lyra yang bertengger di kepalanya.     

"Huhu .... Kali ini aku kan tidak sengaja. Aku tidak bermaksud meledeknya." Nada bicara Lois terdengar begitu penuh permohonan.     

Lyra dan ibunda Rava yang baru menyelesaikan sarapannya di ruang tengah tampak tak peduli. Keduanya sama-sama menyeruput teh hangat tanpa melihat Lois sama sekali. Mireon masih makan dengan begitu perlahan, sementara tuannya melongo dengan mata menerawang ke atas, seperti membayangkan sesuatu.     

Melihat hukuman Lois yang lagi-lagi sungguh kejam, Rava cuma bisa meringis. Ia tak berani meminta agar Lyra atau ibunya untuk membatalkan hukuman itu.     

Lois menghela napas panjang. "Jadi, tadi kamu belum menjawab pertanyaanku Rava. Kenapa kamu melepaskan kontrak Etria? Kamu tahu sendiri, kan? Dia tidak bisa bertarung. Dia akan kesulitan bertahan sendirian di luar sana."     

"Aku yang meminta Rava untuk menyetujui permintaannya," timpal Lyra, menyeruput tehnya kembali. "Dia sampai mengancam akan terus memegangi kaki Rava kalau tidak mau melepaskan kontraknya.     

Rava sedikit menggeleng-gelengkan kepala. "Dia memohon sampai bersujud dan nangis-nangis. Aku jadi nggak tega buat nolak permintaannya."     

"Dia kenapa, sih?" Lois kembali menarik napas, kali ini lebih panjang. "Dia juga tidak memberitahu alasannya pergi .... Ah, aku akan menelepon Robin. Barangkali Etria akan mendatanginya."     

"Tetap di situ!" hardik Lyra, melirik dingin saudari angkatnya itu. Lois yang nyaris menurunkan gelas dari kepala langsung kembali ke posisinya. Lyra pun beranjak dari sofa ruang tengah. "Aku akan ambil hapemu. Kamu tetap di posisi itu, sementara aku menempelkan hape ke telingamu."     

Mulut Lois mengeluarkan erangan memohon, tetapi Lyra tak menggubrisnya.     

***     

Etria menunggu di meja luar sebuah kafe. Susu kocok stroberi yang sudah terhidang di hadapannya tak kunjung disentuhnya.     

"Sori, nunggu lama, ya?" sapa Robin yang baru datang.     

Etria sudah akan menimpali, tetapi langsung tercekat gara-gara penampilan Robin. Pria itu memakai wig jambul super tinggi, kacamata hitam dengan bingkai putih, kaos cokelat bergambar kerangka manusia yang sedang bermain karambol, serta wajahnya ditumbuhi jenggot yang sangat lebat.     

Bidadari itu sedikit menghela napas. "Iya, aku di sini dari pagi."     

"Eh?" Robin yang baru duduk di hadapan Etria pun mengerutkan kening. "Tapi, kafe ini kan bukanya jam sepuluh, Et?"     

Serta-merta, Etria menarik bagian bawah bibirnya ke dalam. Matanya mulai sedikit berkaca. "Aku kan tidak tahu, jadi aku menunggu di sini dari jam enam pagi."     

Robin mati-matian menahan tawanya. Sekarang, mereka akan membahas hal yang serius. "Jadi apa benar kamu ingin kontrak sama aku lagi?"     

Etria hanya mengangguk. Seorang pelayan pun mendatangi Robin sambil membawa buku menu. Robin cuma meminta untuk dibawakan kopi apa saja.     

"Aku nggak bisa nerima begitu aja, Et. Harus ada alasan jelas. Kenapa kamu mau balik sama aku?" tanya Robin hati-hati.     

Perlahan, Etria menundukkan kepala. Dengan nada berat dan lirih, bidadari itu mulai berucap, "Aku ingin menghidupkan semua yang mati di pertarungan ini. Aku juga ingin menghentikan pemilihan ratu ini dengan kedudukanku sebagai ratu nantinya."     

Robin menyandarkan punggungnya ke kursi. "Memangnya, semua itu bisa?"     

"Yang mempunyai kekuatan untuk mengabulkan permintaan adalah inti dari dunia kami. Secara teori, dia hanya bisa menghidupkan satu atau dua orang bila diminta oleh manusia yang mendampingi sang pemenang dari pemilihan ratu ...." Etria menelan ludah.     

"Yang mati karena pertempuran ini banyak banget, Et. Nggak cuma tuan sama bidadari. Tapi, katamu barusan, yang bisa dihidupkan cuma satu dua."     

"Kalau sudah menjadi ratu, aku akan bisa berhubungan dengan inti dunia kami itu. Aku akan memaksanya untuk menghidupkan semua orang yang mati." Air mata Etria sudah mulai menetes. "Aku juga akan berusaha sekeras mungkin untuk menghentikan pemilihan ratu ini di masa depan. Pemilihan ratu ini cuma mendatangkan penderitaan, Rob. Aku .... Aku .... "     

Etria menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya terus menitik dari sela-sela jarinya. Robin hanya bisa memandangi bidadari itu. Robin tak yakin Etria memikirkan ini matang-matang. Tujuan akhir Etria saja terdengar masih abstrak, belum bisa dilaksanakan dengan pasti.     

"Terus .... Maaf kalau aku nanya ini .... Apa kamu yakin bisa ngalahin yang lain?" lanjut Robin, makin hati-hati dalam bicara.     

Sang bidadari menurunkan tangannya, membuat wajahnya yang memerah itu terlihat jelas. "Aku akan melakukan sesuatu .... Entah bagaimana caranya ...."     

Robin sedikit menepok jidatnya. Etria benar-benar tidak memikirkan semua ini dengan baik.     

"Aku nggak bisa langsung mutusin, Et. Ini harus dipikirin dulu." Robin pun bangkit, tidak memedulikan secangkir kopi pesanannya yang baru datang. "Aku pulang dulu. Nanti kuhubungi lagi. Biar aku yang bayar semuanya."     

Cepat-cepat menghapusi air mata di wajahnya, Etria ikut bangkit. "Aku sudah berpamitan kepada yang lain dan melepas kontrak dengan Rava, Aku tidak tahu harus pergi ke mana dulu."     

Robin yang sudah akan melangkah pergi pun langsung tercenung. Menghela napas, dia menggaruk rambutnya. Sebenarnya, dia sama sekali tak berniat untuk menjadi tuan Etria. Ucapannya tadi hanyalah caranya menolak dengan halus. Namun, kalau begini, pria itu merasa tak bisa membiarkan Etria. Tanpa tuan, posisi Etria akan semakin rapuh.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.