135. Di Pemberhentian Kereta 2
135. Di Pemberhentian Kereta 2
Rava cuma bisa mengamati bidadarinya itu. Dia sendiri tak terlalu menikmati tempat itu. Bahkan ia justru salah tingkah karena terkadang diperhatikan petugas-petugas yang lewat. Mungkin mereka curiga mengapa dirinya dan Kacia tak kunjung naik kereta. Belum lagi, dirinya dan Kacia tak membawa tas barang sama sekali.
Yang Rava nikmati sekarang adalah kebersamaannya dengan Kacia. Melihat senyum lebar dan tingkah polah bidadarinya itu, Rava merasa dadanya dipenuhi kehangatan. Dia merasa bahagia kalau bidadarinya itu senang.
Kembali duduk di kursi panjang, Kacia meneguk es teh botolannya. Kedua kakinya mengayun ke depan dan ke belakang. Dengan tingkah seperti itu, kalau Kacia memakai baju yang lebih cerah dan bergambar kartun, mungkin orang-orang akan mengira dirinya benar-benar anak kecil.
"Sebenernya, apa sih yang menarik dari kereta, Kacia?" tanya Rava, mengunyah keripik kentang yang tadi dibelinya di minimarket.
Masih tersenyum sumringah, Kacia sedikit menerawang ke langit-langit stasiun. "Aku tidak tahu! Di duniaku tidak ada yang seperti ini!"
Rava nyaris tersedak. Kacia langsung memeriksanya, tetapi pemuda itu malah tertawa.
"Yah, pokoknya kamu senang, deh," timpal Rava, balas tersenyum. Cukup lama hidup satu atap, dia baru tahu sisi bidadarinya yang seperti itu.
"Aah, itu keretanya mau datang lagi, Rav!" seru Kacia begitu mendengar pengumuman dari speaker.
Dari kejauhan, suara kereta yang melaju pun mulai menggema. Kacia pun berdiri, sedikit melongok-longokkan kepalanya. Saat akhirnya kereta itu berhenti, senyum sumringahnya pun makin melebar.
"Aah, aku benar-benar ingin menaiki benda besi ini," desah Kacia, melemparkan tubuhnya ke kursi kembali, memandangi orang-orang yang berkerumun untuk masuk lewat pintu-pintu gerbong.
Rava terkekeh pelan. "Yah, bisa aja sih kalau kamu mau tinggal di sini ...."
Pemuda itu tercekat, langsung menyadari kesalahannya. Kacia pun langsung membuang muka, terlihat salah tingkah. Namun, hanya dalam hitungan detik, bidadari itu kembali menghadap Rava dan mengembalikan senyumnya.
Rava langsung bisa mendeteksi ada yang tidak beres di senyum Kacia, agak terkesan dipaksakan. Bidadari itu juga tidak berbicara, membuat Rava makin merasa bersalah.
"Maaf, aku keceplosan, jadi ngerusak suasana," ucap Rava akhirnya.
Kacia menggeleng pelan. "Tidak masalah kok, Rava."
Akan tetapi, setelah itu, keduanya melalui waktu dalam kesunyian. Rava mengutuk dirinya sendiri yang sampai bisa kelepasan seperti itu. Sekarang, dia jadi kebingungan untuk membuka pembicaraan kembali.
"Aah, keretanya mau berangkat lagi," ucap Kacia saat mendengar pengumuman, kemudian berdiri kembali. Kali ini, bidadari itu terdengar agak canggung. "Agak aneh mungkin ya kalau aku melambaikan tangan kepada mereka."
Rava sedikit tertawa, agak lega karena senyum sumringah Kacia sudah benar-benar kembali. "Yah, nggak masalah, sih. Orang lain juga nggak tahu kamu melambaikan tangan ke siapa."
Akhirnya, Kacia benar-benar melambaikan tangan ketika kereta itu mulai melaju. Ketika melihat anak kecil balas melambaikan tangan, Kacia pun makin bersemangat, bahkan sedikit melompat-lompat dalam melambaikan tangannya. Rava cuma bisa tersenyum melihat bidadarinya itu.
Andai hal seperti ini bisa terus dilakukan.
Kacia bersenandung saat kereta itu akhirnya menghilang dari pandangan. Saat akan duduk, dia tercekat hebat. Di sisi yang berlawanan dari tempatnya berada, terpisah oleh rel, bidadari itu melihat seorang wanita yang tak asing, berambut merah digerai dan berkulit cokelat terang. Itu Ione, sedang duduk di kursi panjang lain, ditemani Marcel, menatap kacia dengan pandangan tajam namun kosong.
"Itu ...." Rava tak bisa berkata-kata saat melihat mantan rekannya itu. Mengapa di saat seperti ini? Bagaimana Ione bisa tahu lokasi dirinya dan Kacia? Apa yang akan dilakukan Ione? Benarkah bidadari itu ingin membunuh bidadari lain seperti kata Herman?
Cahaya ungu menyelimuti tubuh Ione, sebelum akhirnya bermaterialisasi menjadi baju tempurnya. Baju tempur yang lebih gelap dan mengilat dari sebelumnya.
Orang-orang di stasiun itu pun langsung membeku. Kacia ikut mengaktifkan baju tempur dan senjatanya.
"Ione, tolong dengarkan kami dulu!" seru Kacia dengan nada penuh permohonan.
Ione tak peduli. Ia bangkit dari kursi, mengaktifkan serulingnya. Saat akan meniup alat musik itu, Kacia melepaskan satu anak panah. Dengan sangat mudah, Ione menangkis panah itu menggunakan senjatanya.
Rava mundur beberapa langkah, mengeluarkan ponsel, hendak menghubungi rekan-rekannya.
Ctasss!!!
Dari ujung seruling Ione, keluar sebuah sulur cahaya ungu yang memanjang. Layaknya cambuk, sulur itu memecut ponsel Rava sampai terlempar jauh. Rava yang sama sekali tak menduga serangan itu pun cuma bisa melihat ponselnya mendarat keras di lantai, hancur menjadi dua.
Kacia melompat ke samping, melesatkan anak panahnya lagi. Ione pun dengan sigapnya menghindar, menyerang dengan cambuk cahayanya kembali. Kacia pun memutar tubuhnya di udara untuk mengelak.
Pertarungan jarak jauh itu terus berlanjut. Keduanya berlari dan melompat-lompat di dua sisi peron yang berlawanan. Cambukan dan tembakan panah terus dilancarkan dari berbagai sudut, tetapi belum ada yang berhasil mengenai lawan.
Hebatnya, tidak ada satu serangan pun yang mengenai manusia-manusia yang masih membeku.
"Stefan tidak menginginkan ini, Ione!" pekik Kacia, melompat dan melepaskan panahnya untuk yang kesekian kali. "Kembalilah kepada kami! Wujudkan cita-cita kekasihmu itu!"
"Setelah aku melakukan itu, lalu apa!? Stefan tetap akan mati!" Ione balas memekik, akhirnya berhasil menjerat kaki kiri Kacia dengan cambuk cahayanya.
Tubuh mungil bidadari itu pun terbanting keras di lantai peron. Cambuk cahaya Ione memendek, menarik Kacia hingga tubuhnya terbentur rel. Kacia tidak tinggal diam dan melepaskan anak panahnya secara beruntun. Ione pun terpaksa melepas jeratan cambuknya dari kaki Kacia agar dirinya bisa menghindar.
Kacia melompat bangkit. Sekarang jaraknya dengan Ione tinggal beberapa meter saja.
"Kamu sebenarnya bisa menyerang dari belakang sesuai dengan keahlianmu yang sebenarnya, kan? Tapi, kamu memilih untuk menyerangku dari depan." Perlahan, Kacia mendekati Ione sembari menodongkan anak panahnya. "Artinya, kamu masih menghormati diriku. Barangkali kamu masih mengganggapku sebagai teman. Ingat waktu kita bersama-, Ione. Ingat saat-saat kita membasmi monster ...."
"Berisiiik!!!" raung Ione, wajahnya mulai bertambah bengis. "Kita bukan teman lagi! Kamu itu musuhku!"
Ione pun melompat ke arah Kacia sambil mengayunkan serulingnya. Kacia berhasil menangkis serangan Ione menggunakan busurnya.
"Kalau begini, aku terpaksa harus serius," ucap Kacia dengan nada sedih, melompat mundur dan memberikan isyarat tangan kepada Rava yang masih ada di peron seberang.
Ione menyipitkan matanya. Ia tak pernah melihat isyarat itu. Ia jadi tidak tahu jenis panah apa yang akan dilepaskan Kacia. Ione pun memilih mundur, melompat ke tembok, menjejaknya dengan kedua lutut menekuk, membuatnya kakinya menjadi layaknya per, mendorongnya ke arah lain. Ia pun terus melakukannya ke berbagai bagian bangunan, dari atap, lantai, sampai kursi-kursi besi. Tubuhnya terus bergerak ke sana dan ke mari layaknya bola yang memantul-mantul. Kacia hanya bisa mengarahkan panahnya menyesuaikan pergerakan Ione tersebut.
Sampai akhirnya, Kacia melepaskan anak panahnya itu.