A Song of the Angels' Souls

131. Keheningan



131. Keheningan

"Sebentar lagi kita akan sampai," ucap Piv.     

Degup jantung Rava makin kencang. Di saat kondisinya dan para bidadari fit saja, mereka kewalahan, bagaimana dengan sekarang?     

"Itu monsternya!" Etria menunjuk ke area perumahan yang masih dibangun. Di jalanannya yang masih berupa tanah, siluet ular raksasa berkulit kecokelatan memang terlihat. Tergeletak begitu saja dan hanya diterangi oleh cahaya oranye temaram dari para Piv lain.     

"Dia sudah semakin besar saja ...." Lois tercekat.     

Lyra menyipitkan matanya. "Sepertinya kamu juga menyadarinya, Lois. Ada yang tidak beres."     

Monster itu teronggok kaku, sama sekali tidak seperti makhluk hidup. Api di kepalanya juga sudah padam.     

Begitu mendarat di sana, mereka menemukan banyak luka sabetan dan tusukan di tubuh sang monster. Kemudian, beberapa detik setelahnya, monster itu pun menguap menjadi asap hitam.     

"Siapa yang ngalahin dia?" tanya Rava yang baru turun dari tangan Lyra, bisa mencium bau hangus, mungkin hasil dari semburan sang monster.     

"Paling nggak, kita nggak perlu bertarung lagi." Janu menarik napas lega.     

Lois menelan ludah. "Barangkali Ione yang melakukan ini?"     

Semua pandangan tertuju kepada Lois.     

"Kita saja harus mati-matian mengalahkannya. Apa dia sanggup melakukannya seorang diri?" Lyra bersedekap, mengedarkan pandangan, mencari-cari apakah orang yang mengalahkan monster itu masih ada di sana. Sesekali, dia melihat legam dari tanah dan bangunan yang sepertinya hasil dari semburan api.     

"Kalau dari cerita Varya, luka yang ditimbulkan memang seperti ini, sesuai senjatanya," timpal Lois pelan. "Dia benar-benar serius."     

"Lalu, mengapa dia malah menghilang dan tidak menyerang kita?" tanya Lyra lagi.     

Lois hanya menjawab dengan mengangkat bahu.     

Rava sedikit merinding. Kalau ucapan Lois itu benar, Rava tidak bisa membayangkan seberapa besar kekuatan Ione. Padahal ukuran monster itu tampak lebih besar dari sebelumnya.     

Kacia pun maju, ikut mengedarkan pandangan. "Ioooneee!!! Apakah benar kamu yang mengalahkan monster ini!? Kalau benar, apakah kamu masih ada di sini!? Aku cuma mau bilang, kami masih menerimamu dengan tangan terbuka! Kita akan kembali mengabulkan cita-citamu dan Stefan! Kita akan menghentikan pemilihan ratu ini! Aku mohon, keluarlah Ione!"     

Beberapa menit berlalu, yang terdengar hanyalah bunyi jangkrik yang bersahut-sahutan.     

"Lebih baik kita pulang saja." Lois menarik napas panjang. "Rava harus istirahat, kita juga harus istirahat. Kita sudah terlalu lelah."     

Tak ada yang menanggapi, tetapi Lois tahu mereka semua setuju.     

Janu yang namanya tidak disebut Lois pun menghadap Mireon, mencibir dan mengangkat bahu. Mireon tentu saja tak memberikan respon yang berarti.     

***     

"Kamu nggak mau ngedatengin mereka?" tanya Marcel, berdiri di atap sebuah rumah bersama Ione, mengamati Rava dan kawan-kawannya dari jarak yang cukup jauh.     

"Aku baru saja bertarung mati-matian melawan monster itu," jawab Ione dengan nada dingin. "Kalau ke sana, aku tidak akan sanggup melawan mereka. Tubuhku sudah terlalu lelah. Lagipula, aku lebih memilih untuk melawan mereka satu-persatu. Menurutku, itu lebih efisien."     

Penampilan bidadari itu agak berbeda dari sebelumnya. Tak ada lagi sanggul di kepalanya. Rambut merahnya kini dibiarkan tergerai sampai leher. Warna ungu di busana tempurnya juga sekarang lebih gelap dari sebelumnya, bahkan nyaris hitam.     

Marcel sedikit tertawa getir. "Atau kamu masih menaruh perhatian kepada teman-temanmu itu?"     

Ione sedikit melirik tuan barunya itu. "Mereka sudah bukan temanku lagi. Tenang saja, aku akan melakukan apa yang harus dilakukan bila saatnya sudah tiba."     

"Kuharap juga begitu," timpal Marcel dengan nada sinis. "Ingat, tujuan kita itu sama. Ini demi Stefan juga."     

"Aku tahu." Ione berbalik, mulai berjalan. "Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini."     

***     

Rava dan kawan-kawannya kembali ke ruang pasien. Setelah mendengar kabar tentang Medora dari Rava, para bidadari membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.     

"Aku benar-benar tidak percaya bahwa seorang bidadari bisa sampai dibegitukan oleh manusia biasa," decak Lois, terdengar khawatir.     

Bahkan Etria sampai gemetaran dan menangis setelah mendengar cerita Rava. Dia harus ditenangkan oleh pelukan Kacia.     

"Yang menjadi pemicunya adalah Gilang yang diculik. Inilah yang terjadi kalau hati seorang bidadari sudah begitu terikat dengan tuannya," ucap Lyra datar.     

"Apa kamu ingin mengatakan kita tidak boleh memiliki ikatan seperti itu," timpal Kacia dengan nada dingin, sesuatu yang nyaris tak pernah dilakukannya.     

Jantung Rava sedikit terhentak setelah mendengar hal itu. Dia tahu, hubungan emosional Kacia dengan dirinya sudah cukup erat. Kalau sampai dirinya diculik, mungkin Kacia akan mendapatkan nasib seperti Medora.     

Dan itu adalah hal yang sangat buruk.     

Lyra memejamkan matanya sambil bersedekap. "Aku tidak bilang begitu. Aku cuma mau mengusulkan untuk menjaga Rava dua puluh empat jam nonstop. Kita akan bergantian melakukannya. Aiden bisa menemukan rumah persembunyian Dini dan tempat tinggal Medora. Bukan tidak mungkin dia bisa menemukan markas kita dan mengambil Rava tanpa kita ketahui."     

Suasana pun hening kembali. Tak ada yang membantah sama sekali. Usul Lyra memang sangat masuk akal.     

"Kalau mas Janu gimana?" Rava menoleh kepada tuan Mireon itu. "Bagaimana kalau mas Janu ikut kita biar lebih aman?"     

Janu tercenung sejenak, tampak sedang berpikir, sebelum akhirnya berkata, "Gue sih mau aja. Nggak tahu deh neng Mir ini."     

"Untuk sementara, aku bergabung dengan kalian," timpal Mireon.     

Lagi-lagi semuanya terdiam, menunggu lanjutan jawaban dari Mireon. Namun, karena Mireon tetap menutup rapat mulutnya, Lois pun terpaksa melanjutkan. "Mungkin dia berpikir, saat ini lebih baik bergabung dengan kita untuk melawan Zita .... Dan mungkin Ione. Setelah yang kuat-kuat sudah dibasmi dengan kerja tim kita, dia mungkin akan menjadi musuh kita lagi."     

"Memangnya, dia tidak akan mengkhianati kita?" celetuk Lyra agak sengit.     

Pandangan tajam Lyra pun bertemu dengan tatapan kosong Mireon. Rava bisa merasakan kalau suasana menjadi tidak nyaman.     

"Tenang aja, gue bakal ngelepasin kontrak kalau neng Mir ini berkhianat," jawab Janu, menguap lebar. Waktu memang sudah sangat jauh melewati jam tidur yang wajar. "Terus, gue juga megang rahasia dia. Gue bakal bocorin kalau dia ngejahatin kalian."     

"Rahasia bahwa kamu hampir menyetubuhiku yang tidak melawan?" ceplos Mireon.     

"Woi! Jangan bikin semuanya kedengeran kayak gue mau m*rk*sa elu! Elu sendiri yang nawarin! Elu yang tiba-tiba duduk di paha gue terus mulai ngelepas baju! Mau nggak mau, gue kan jadi ng*c*ng!"     

Wajah Etria, Kacia, dan Rava pun langsung memerah.     

"Sudah, sudah." Lois pun terkikik geli. "Jadi, keputusannya sudah bulat, Mireon akan bergabung dengan kita untuk melindungi Rava."     

Janu sedikit mencibir karena namanya tidak disebut lagi.     

"Oh ya, elu sadar kita nggak bisa terus-terusan ngandelin bidadari kan, Rav?" celetuk Janu, menghela napas. "Kalau elu udah sembuh, gue bakal gembleng elu biar bisa berantem. Biar paling nggak kalau ketemu lawan manusia, elu bisa ngelawan."     

Rava sebenarnya ingin protes, tetapi apa daya, itu juga demi kebaikan dirinya. Padahal, dari dulu dia sangat membenci aktivitas fisik yang berat. Dia lebih memilih duduk di hadapan komputer.     

Lois manggut-manggut. "Aku setuju, sih."     

"Stamina elu juga kayaknya kudu ditingkatin, Rav. Yah, gue juga perlu sih. Gue juga udah lama nggak olahraga," lanjut Janu.     

Rava menggaruk rambutnya. Cara paling umum meningkatkan stamina adalah lari. Itu adalah olahraga yang bertengger di posisi atas dalam daftar aktivitas yang tidak disukai Rava.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.