129. Kegilaan di Antara Mereka 4
129. Kegilaan di Antara Mereka 4
"Jangan bangun dulu," celetuk Lyra yang duduk di dekat Rava.
Rava mengamati tangan kirinya yang terasa mengganjal. Ada jarum infus di sana, tersambung dengan tabungnya yang berisi cairan bening.
"Kamu di rumah sakit," sambung Lois, berdiri di sebelah Lyra sambil bersedekap. "Yah, Herman memang memegang banyak uang. Tapi, setelah Stefan tiada, kita harus bijak menggunakannya. Jadi, kamu tidak dapat kamar VIP."
Ibu Rava mendesah, mengusap kepala putranya itu pelan. Matanya sedikit berkaca. "Kamu sudah masuk rumah sakit dua kali. Kalau ibu larang, kamu masih akan nolak, ya?"
Semua yang ada di situ terdiam. Rava bahkan tidak mampu melihat mata orangtuanya itu.
Perlahan, ibu Rava memandang para bidadari satu-persatu. Kacia, Etria, Lois, dan Lyra semuanya menunduk dalam-dalam.
"Ibu harap, ini yang terakhir," ucap ibu Rava dengan nada dingin dan bibir bergetar. Ia jelas sedang menahan amarahnya. "Melihat Rava yang seperti ini, Ibu benar-benar tersiksa. Untung saja lukanya tidak terlalu parah."
Rava merasakan atmosfer di ruang rawat yang sempit itu makin memberat.
"Ibu mau ambil baju ganti buat Rava dulu. Tadi, ibu terburu-buru jadi nggak sempat," desah ibu Rava sambil memijati keningnya.
Kacia pun mendekati ibu dari tuannya itu. "Biar saya temani, Bu. Buat sekedar jaga-jaga saja."
Sempat tercenung, ibu Rava pun mengangguk pelan. Ia lalu pergi bersama bidadari bertubuh mungil itu. Rava mengela napas pelan. Sekuat apa pun keinginannya berada di sisi Kacia, Rava tahu itu nyaris tidak mungkin. Tidak kalau hubungan mereka sangat jauh seperti ini.
"Jadi, gimana Gilang sama Medora?" tanya Rava, memerhatikan para bidadari yang memakai baju panjang, jelas untuk menyembunyikan luka mereka. Wajah mereka juga terlihat begitu lelah.
Lois menggeleng pelan. "Kita tidak tahu di mana mereka. Kita tidak punya petunjuk apa pun."
Rava memegangi keningnya yang dibebat perban. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan dua orang itu.
Etria sedikit terisak. Menghapus tetesan cairan bening di matanya. Lois pun menepuk pundak rekannya itu.
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Etria. Kamu melawan perisai itu juga karena demi melindungi mereka, kan?" ujar Lois, tetapi wajahnya sendiri terlihat murung.
Tubuh Etria pun bergetar. Air matanya semakin banyak menetes, tetapi dia mati-matian menahan isakannya.
"Terus, monsternya gimana?" tanya Rava lagi.
Para bidadari kembali membisu. Mereka semua tak memandang tuannya. Perlahan, mata Rava pun membelalak. Ia kembali memegangi keningnya.
"Dengan kondisi yang sudah terlalu lelah, kita tidak akan mampu melawan monster yang kedua," terang Lyra akhirnya, dengan nada sedingin es.
Rava merasa isi perutnya dibetot keluar. Monster kedua? Barangkali dia tak sadar waktu itu, sehingga tidak mengetahuinya.
Mungkin, kalau sekarang mencari info di internet, dia akan menemui berita kebakaran besar yang dibuat oleh monster kedua. Monster pertama yang dilawan para bidadari saja bisa membuat kerusakan sebesar itu. Bagaimana dengan monster kedua yang dibiarkan lepas?
Gigi-gigi Rava bergemeretak. Lagi-lagi dia merasa tak berdaya. Dan kali ini, dia tidak bisa meminta bantuan para bidadari.
Berapa banyak korban yang harus jatuh lagi?
"Tapi, kita tidak akan tinggal diam, Rav," tegas Lois, kali ini denga nada bicara penuh tekad. "Kita akan melawan monster kedua itu. Sayangnya, kita butuh waktu sampai paling tidak kita semua bisa menggunakan kemampuan kita. Untung saja cedera kita tidak terlalu parah seperti ketika kita melawan gerombolan monster bertangan sabit itu."
"Dan itu artinya, kami harus memaksamu ikut walaupun dengan cedera seperti itu," desis Lyra.
"Aku kasihan dengan ibu Rava, tapi kita tidak punya pilihan lain," imbuh Lois
"Gue juga siap." Suara seorang pria terdengar dari ranjang pasien lain di kamar itu. Tirai yang membatasi Rava dan pasien lain tesebut pun dibukakan oleh Mireon dari sisi yang berlawanan. Ternyata, Janu juga dirawat. Ia mengangkat sebelah tangannya sambil menyapa, "Yo."
"Hmmm .... Padahal, kamu awalnya tidak mau ikut pertarungan ini. Kamu menolak mentah-mentah untuk menjadi tuan Mireon," ucap Lois dengan tangan dilipat di dada. Walaupun nada bicaranya tidak sengit, namun tetap bernada menyindir.
Janu tertawa getir. "Gila juga kalau gue ngebiarin kebakaran yang kayak begitu jadi tambah gede."
***
Diterangi cahaya lampu portabel, Medora masih terbaring di lantai tanah bekas kandang besar yang sudah kosong. Dia seharusnya sudah bangun sedari tadi, tetapi Aiden terus menidurkannya dengan sebuah zat kimia berdosis super tinggi. Dosis biasa tak akan mempan. Aiden tahu itu, karena dia sendiri pernah mencobanya kepada Zita.
"Hei, kapan kamu akan melakukannya!?" dengus ZIta yang sudah tidak sabar, berjongkok di sudut lain dari kandang dengan dinding kayu tersebut.
Aiden tersenyum miring. Duduk di sebuah kursi kayu reyot, dia memandang langit malam lewat jendela besar yang biasa digunakan oleh hewan untuk menongolkan kepalanya. Ia menghirup udara malam yang segar. Untungnya, bekas kandang itu sudah tidak bau kotoran.
"Sabar, Zita. Aku masih menunggu inspirasi seniku berada di kondisi puncak," ucap Aiden, malah bersenandung, memicu Zita mendengus lagi, kali ini semakin keras.
Keduanya tentu tak memedulikan Gilang yang tergeletak di lantai tanah kandang itu, gemetaran dengan tangan dan kaki diikat, memandangi Medora dengan mata yang terus mengalirkan air mata.
Urat-urat di leher Zita sudah begitu menonjol. Tak tahan lagi, dia pun bangkit sambil menyeringai ganas. "Hei! Mau sampai kapan kamu ...."
"Oke, sekaranglah saatnya." Aiden pun bangkit, sedikit memijat-mijat pundaknya. "Zita, lakukan tugasmu sesuai dengan apa yang telah kita bicarakan."
Zita pun melompat-lompat kegirangan. Ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia pun menyahut kursi dan menaruhnya di hadapan Medora. Kemudian, ia mengambil Gilang dari lantai. Gilang berontak, tetapi itu tidak berarti apa-apa. Dia cuma bisa pasrah saat Zita duduk dan memangkunya.
Aiden mengambil satu ember berisi air dan menyiramkannya kepada Medora. Medora pun langsung terhentak hebat, bangkit dengan mata tidak fokus, celingukan seperti orang dungu.
"Bangunlah, atau akan terjadi sesuatu kepada tuanmu ini," ucap Aiden, tersenyum lebar.
Medora langsung membelalakkan matanya, menyeringai bengis kepada Zita.
"Ah, aku lupa bilang. Gilang ini sudah melepas kontraknya. Jadi, Zita bisa membunuhnya langsung kalau mau," lanjut Aiden.
Medora yang sudah akan menerjang segera mengurungkan niatnya. Ia mengalihkan pandangan bengisnya kepada Aiden.
"Sekarang, berdirilah," pinta Aiden, memberi isyarat dengan tangannya. "Dan buka bajumu, aku ingin melihat keindahanmu terlebih dahulu."
Medora menelan ludah, tak tahu apa yang akan terjadi. Pilihannya cuma ada dua, bertahan atau kabur saja.
"Gilang, tutup mata kamu," ucap Medora, akhirnya memilih bertahan di tempat itu. "Pokoknya, apa pun yang terjadi, jangan buka matamu."
Awalnya Gilang cuma melongo kebingungan. Begitu Medora mengangguk kepadanya, bocah cilik itu pun akhirnya menutup matanya.
Zita pun langsung membuka paksa mata anak itu. "Hei, kamu harus melihat ...."
"Biar saja, Zita. Aku ingin tahu, apakah efek melihat dan hanya mendengar itu akan sama?" potong Aiden.
Zita melepaskan tangannya dari muka si bocah cilik. Pandangan bidadari sinting itu bertemu dengan mata Medora. Melihat tatapan tajam Medora, Zita pun memajang senyum penuh arti.
"Tunggu apa lagi? Buka bajumu semuanya." Aiden bersedekap. Sebelah kakinya mengetuk-ngetuk tanda tak sabar.
Medora menelan ludah kembali. Karena masih menggunakan atribut tempurnya, dia pun harus mengubah penampilannya ke busana normal terlebih dahulu. Satu-persatu, dia menanggalkan busananya, mulai dari sepatu, kemeja, celana jeans, bra, bahkan sampai celana dalam.
Aiden terus mengamati tubuh mulus Medora. Bentuknya begitu indah, buah dada dan bagian bawah tubuhnya seperti diukir oleh pemahat terbaik, melengkapi pinggangnya yang ramping dengan lekukan menggoda.
Merasakan dinginnya angin malam di kulit mulusnya yang tak terlindungi apa pun, Medora menutupi dada dan bagian kewanitaannya dengan tangan. Namun, Aiden memberi isyarat agar Medora memperlihatkan semuanya. Medora pun pasrah dan menurunkan kedua tangannya, membuat bagian-bagian tertentunya terpampang jelas di mata Aiden.
"Ah, sayang sekali masih ada lebam," keluh Aiden, memperhatikan bekas lebam tipis di tubuh Medora, hasil dari serangan Zita.
Lagi-lagi Zita mendengus. "Cuma sedikit, kok! Kalau tidak dibegitukan, mana bisa aku melumpuhkannya! Lagipula, apa yang kamu lakukan akan lebih menyakitkan daripada itu!"
Mendengar kalimat terakhir Zita, Medora merasakan jantungnya seperti baru saja dihentak hebat.
"Iya, iya." Aiden kembali tersenyum miring, membuka tas besarnya di lantai. Mencari-cari sebentar, dia mengeluarkan sebuah bor listrik tanpa kabel.
Zzzz ....
Medora berjengit saat mendengar dengungan dari mata bor yang berputar itu. Aiden melebarkan senyumnya, menghampiri Medora. Kemudian, Aiden menempelkan ujung mata bornya itu ke bagian tengah buah dada Medora bagian kiri.
Medora cuma sedikit menggigit bibirnya saat merasakan dinginnya logam itu menekan putingnya. Ia tak mau memperlihatkan ketakutannya. Dia yakin, yang diharapkan Aiden adalah melihat raut kesakitan dan air matanya, juga mendengar jeritan penuh derita dan permohonannya.